• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 23 April 2024

Keislaman

Hukum Menepuk Pundak Makmum agar Menjadi Imam di Pertengahan Shalat

Hukum Menepuk Pundak Makmum agar Menjadi Imam di Pertengahan Shalat
Shalat berjamaah yang dilaksanakan oleh santri (Foto:NOJ/ppdarulhikmahsby)
Shalat berjamaah yang dilaksanakan oleh santri (Foto:NOJ/ppdarulhikmahsby)

Mengerjakan shalat fardhu berjamaah keutamaannya lebih besar daripada shalat sendirian. Tentu syarat mutlak menjadi imam dan makmum harus terpenuhi, sebab bila tidak terpenuhi, maka keutamaan berjamaah tersebut bisa gugur.


Menjadi makmum dalam shalat berjamaah harus memperhatikan aturan yang telah disepakati para ulama, di antaranya adalah niat makmum kepada imam dan mengikuti semua gerak-gerik imam hingga selesai.


Lantas bagaimana hukum makmum (biasanya masbuk) di pertengahan shalatnya (setelah membaca surat al-fatihah) ditepuk untuk dijadikan imam? Apakah bacaaan surat al-fatihahnya diulangi mulai awal?


Dalam kitab Fath al-Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari memberikan penjelasan sebagai berikut: 


فإذا اقتدى في الاثناء لزمه موافقة الامام


Artinya: Apabila seseorang niat bermakmum di tengah pelaksanaan shalat, ia harus menyesuaikan dengan imam.


Dari rujukan ini sangat jelas bahwa seharusnya makmum yang menyesuaikan shalatnya dengan shalat imam bukan sebaliknya. Salah satu hal yang biasa dilakukan dalam proses shalat jamaah adalah menjadikan seseorang sebagai imam di pertengahan shalat dengan cara menepuk pundaknya.


Secara fikih hal ini dibolehkan (mubah), bahkan disunnahkan jika tepukan itu memberi isyarat bahwa yang bersangkutan telah dijadikan imam shalat supaya ia paham statusnya, dan disunahkan niat menjadi imam di pertengahan itu. Sebagaimana diterangkan dalam Fathul Mu’in


وَنِيَّةُ إِمَامَةٍ أَوْ جَمَاعَةٍ (سُنَّةٌ لِإِمَامٍ فِيْ غَيْرِ جُمُعَةٍ) لِيَنَالَ فَضْلَ جَمَاعَةِ. وَإِنْ نَوَاهُ فِيْ الأَثْنَاءِ حَصَلَ لَهُ الفَضْلُ مِنْ حِيْنَئِدٍ, أَمَّا فِيْ الجُمُعَةِ فَتَلْزَمُهُ مَعَ التَحَرُّمِ


Artinya : Niat menjadi imam atau berjamaah bagi imam adalah sunah di luar shalat Jumat, karena untuk mendapatkan keutamaan berjamaah. Seandainya ia niat berjamaah di tengah mengerjakan shalat maka ia mendapatkan keutamaan itu. Adapun dalam shalat jumat wajib baginya niat berjama’ah saat takbiratul ihram


Akan tetapi jika sekiranya tepukan di pundak itu terlalu keras hingga mengagetkan imam dan membatalkan shalatnya, maka hukumnya menjadi haram. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Mauhibah Dzil Fadl: 


(وَيَحْرُمُ) عَلَى كُلِّ أَحَدٍ (اَلْجَهْرُ) فِي الصَّلاَةِ وَخَارِجِهَا (إِنْ شَوَّشَ عَلَى غَيْرِهِ) مِنْ نَحْوِ مُضِلٍّ أَوْ قَارِئٍ أَوْ نَائِمٍ لِلضَّرَرِ وَيَرْجِعُ لِقَوْلِ الْمُتَشَوِّشِ وَلَوْ فَاسِقًا ِلأَنَّهُ لاَ يَعْرِفُ إِلاَّ مِنْهُ. وَمَا ذَكَرَهُ مِنَ الْحُرْمَةِ ظَاهِرٌ لَكِنْ يُنَافِيْهِ كَلاَمُ الْمَجْمُوْعِ وَغَيْرِهِ. فَإِنَّهُ كَالصَّرِيْحِ فِي عَدَمِهَا إِلاَّ أَنْ يَجْمَعَ بِحَمْلِهِ عَلَى مَا إِذَا خَفَّ التَّشْوِيْشُ. (قَوْلُهُ عَلَى مَا إِذَا خَفَّ التَّشْوِيْشُ) أَيْ وَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مِنَ الْحُرْمَةِ عَلَى مَا إِذَا اشْتَدَّ. وَعِبَارَةُ الإِيْعَابِ يَنْبَغِي حَمْلُ قَوْلِ الْمَجْمُوْعِ وَإِنْ آذَى جَارَهُ عَلَى إِيْذَاءٍ خَفِيْفٍ لاَ يُتَسَامَحُ بِهِ بِخِلاَفِ جَهْرٍ يُعَطِّلُهُ عَنِ الْقِرَاءَةِ بِالْكُلِّيَّةِ فَيَنْبَغِي حُرْمَتُهُ


Artinya : Haram bagi siapa pun bersuara keras jika mengganggu jamaah yang lain, baik di dalam shalat maupun di luar shalat karena membahayakan, seperti (memperingatkan) orang yang sesat, orang yang membaca atau orang yang tidur. Tidak boleh mengganggu walaupun terhadap orang yang fasik karena kefasikan itu tidak ada yang tahu kecuali dirinya. Pendapat yang mengharamkan tersebut itu jelas, namun bertentangan dengan pendapat dalam kitab al-Majmu’ dan sesamanya.Tidak diharamkannya jika kesemuanya tidak terlalu mengganggu. (Pengertian tidak haram jika gangguannya ringan), yakni yang dimaksud oleh mushannif (pengarang) adalah haram jika sangat mengganggu.


Dalam ungkapan kitab al-I’ab bahwa keterangan dalam kitab al-Majmu’ (yang tidak mengharamkan) adalah jika tidak terlalu mengganggu kepada orang lain sehingga dapat ditoleransi, berbeda jika suara keras tersebut sampai membatalkan bacaan (shalat) secara keseluruhan, maka hukumnya haram.


Dari penjelasan redaksi ini dapat dipahami bahwa shalat berjamaah sangatlah istimewa hingga orang yang menjadi makmum bisa menjadi imam di pertengahan shalat yakni memberikan isyarat menepuk pundak dengan catatan tidak mengagetkan imamnya, namun apabila tidak memberikan isyarat dikarenakan takut mengagetkan, maka cukup dengan niat menjadi makmum.


Bagi imam tidak perlu mengulang bacaan shalatnya namun bisa dilanjutkan dengan mengeraskan suara takbirnya dan bacaan Al-Fatihah kalau posisi shalat subuh, maghrib dan isya agar makmum bisa mendengarnya.


Keislaman Terbaru