Keislaman

Hukum Menggunakan Artificial Intelligence untuk Rujukan Agama

Jumat, 18 April 2025 | 09:00 WIB

Hukum Menggunakan Artificial Intelligence untuk Rujukan Agama

Artificial Intelligence. (Foto: NOJ/freepik)

Artificial Intelligence (AI) atau biasa disebut kecerdasan buatan adalah teknologi yang memungkinkan mesin atau perangkat komputer meniru kecerdasan manusia, seperti berpikir, belajar, dan mengambil keputusan. Fungsinya meliputi otomatisasi tugas, analisis data, interaksi manusia-mesin, serta mendukung inovasi seperti mobil otonom.

 

Perkembangannya sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir. Semua itu berkat kemajuan komputasi dan data, menjadikannya kunci di berbagai bidang seperti kesehatan, industri, dan teknologi sehari-hari. Sebagai contoh produk dari AI yaitu Chat GPT dari Amerika dan Deepseek dari China.

 

Lantas bagaimana hukum mengembangkan teknologi AI dan menggunakannya sebagai sumber rujukan dalam beberapa persoalan khususnya masalah agama? Sebelum membahasnya, Islam sangat mendukung perkembangan teknologi itu sendiri dikarenakan umat muslim harus memiliki sifat-sifat ilmuwan, yakni kritis sebagaimana dalam firman Allah Swt:

 

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

 

Artinya: "Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra/ 17:36).

 

Ataupun senantiasa menggunakan akal pikiran untuk berpikir secara kritis seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 44:

 

اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

 

Artinya: "Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri kewajibanmu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (Al-Baqarah: 44).

 

Inilah yang mengantarkan pada sebuah keharusan bagi setiap umat muslim agar mampu unggul dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) sebagai sarana kehidupan yang harus diutamakan untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.

 

Maka dari itu, sesuai dengan keputusan Munas Alim Ulama NU 2023, Komisi Waqi’iyah yang memutuskan bahwa menanyakan persoalan keagamaan kepada AI dan menjadikannya pedoman tidak diperbolehkan, alasannya ada 3, yaitu:   

  1. Tidak dapat dipastikan kebenaran output-nya karena faktor randomness (sifat tidak berstruktur atau tidak teratur, atau tidak dapat diprediksi) dan hallucination (pengalaman sensori palsu yang terjadi tanpa rangsangan eksternal).
  2. AI NLP tidak memiliki kreativitas dan empati untuk mengetahui kondisi riil penanya. 
  3. Bias dari data yang dimasukkan (atau dilatihkan ke AI).
 

Dikarenakan permasalahan agama itu wajib merujuk kepada pakar atau sumber referensi agama yang otoritatif dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya (mautsuq bih). Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhazdzab berkata:  

 

 وَلَا يَأْخُذُ الْعِلْمَ إلَّا مِمَّنْ كَمُلَتْ أَهْلِيَّتُهُ وَظَهَرَتْ دِيَانَتُهُ وَتَحَقَّقَتْ مَعْرِفَتُهُ وَاشْتَهَرَتْ صِيَانَتُهُ وَسِيَادَتُهُ: فَقَدْ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَمَالِكٌ وَخَلَائِقُ مِنْ السَّلَفِ هَذَا الْعِلْمُ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

 

Artinya: “Janganlah orang mengambil ilmu kecuali dari orang yang sempurna keahliannya, terlihat jelas keteguhan agamanya, luas pengetahuannya dan masyhur kredibilitasnya. Ibnu Sirin, Imam Malik, dan ulama salaf berkata: “Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.’’ (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr, T.th], jilid I, hlm. 36).

 

Selain itu, dalil yang dijadikan sebagai acuan dalam menetapkan hukum ini adalah Al-Qur'an Surat al-Anbiya ayat 7 yang berbunyi:

 

 ‎فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

 

Artinya: “Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Anbiya’: 7).

 

Dalam Durrul Mantsur, Imam As-Suyuthi menafsirkan ayat tersebut dan mengaitkannya dengan sabda Nabi SAW di bawah ini:

 

 ‎لَا يَنْبَغِي لِلْعَالِمِ أَن يَسْكُتَ عَنْ عِلْمِهِ وَلَا يَنْبَغِي لِلْجَاهِلِ أَنْ يَسْكُتَ عَنْ جَهْلِهِ

 

Artinya: “Tidak sepatutnya seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya, dan seorang yang bodoh menyembunyikan kebodohannya.” 

 

Berdasarkan firman Allah SWT dan sabda Nabi SAW di atas, ia kemudian menjelaskan:

 

 ‎وَقد قَالَ الله: فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُم لَا تَعْلَمُونَ، فَيَنْبَغِي لِلْمُؤمنِ أَن يَعْرِفَ عَمَلَهُ عَلَى هُدًى أَمْ عَلَى خِلَافِهِ

 

Artinya, “Dan sungguh Allah Swt. telah berfirman “Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” Maka sepatutnya bagi seorang mukmin untuk mengetahui setiap tindakan yang dilakukannya apakah telah sesuai dengan petunjuk (syariat) atau justru sebaliknya.”

 

Meskipun begitu, keputusan Munas Alim Ulama NU memperbolehkan masyarakat untuk ikut serta dalam menyempurnakan perkembangan kecerdasan buatan, seperti ChatGPT. Bahkan, hukumnya adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Dengan catatan, tujuannya adalah menyajikan konten rujukan keislaman yang otoritatif kepada masyarakat melalui media digital.

 

Oleh karena itu, penggunaan dalil-dalil tersebut dalam konteks ini dapat dipahami sebagai tuntutan kepada orang yang berilmu agar berani tampil dengan hujjah dan akhlak yang baik, sementara orang yang tidak berilmu dituntut untuk tampil dengan menghilangkan kebodohannya, yakni dengan cara mencari ilmu dan bertanya perihal isu keagamaan kepada orang yang berilmu (ulama). Wallahu A'lam.