• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Keislaman

Hukum Menjual Daging Kurban untuk Ongkos Petugas Penyembelihan

Hukum Menjual Daging Kurban untuk Ongkos Petugas Penyembelihan
Petugas memastikan jumlah daging kurban yang akan dibagi. (Foto: NOJ/NHi)
Petugas memastikan jumlah daging kurban yang akan dibagi. (Foto: NOJ/NHi)

Pada dasarnya ibadah kurban dianjurkan kepada orang yang mampu melaksanaknnya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan yakni para fakir dan orang-orang yang sengsara. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam firman Allah SWT dalam surat al-Hajj ayat 28;

 

  فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

 

Artinya: Maka makanlah sebagian darinya (hewan kurban) dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan oleh orang-orang yang sengsara dan fakir.

 

Artikel diambil dariBolehkan Menjual Daging Kurban?

 

Dari ayat ini kemudian para ulama terutama madzhab Syafiiyah membuat rambu-rambu bahwa seorang yang berkurban (selain kurban nadzar) dianjurkan untuk memakan sebagian daging kurban yang telah disembelih sekadarnya saja, dan yang lain dibagikan kepada yang membutuhkan.

 

Di samping itu orang yang berkurban tidak diperkenankan untuk menjual daging maupun kulit hewan yang disembelihnya meskipun untuk biaya penyembelihan (ongkos tukang jagal dan sebagainya).

 

Mengingat panitia kurban yang dibentuk selama ini merupakan kepanjangan tangan dari pihak yang berkurban (wakil), maka hukum yang sama juga diberlakukan kepadanya. Artinya daging kurban boleh dipergunakan untuk makan siang dan panitia tidak diperbolehkan menjual daging sembelihan meskipun hanya untuk membeli bumbu.

  

Oleh karena itu, guna menyiasati masalah seperti ini, banyak kepanitiaan yang membuat kebijakan untuk menerima hewan kurban disertai biaya yang dibebankan kepada orang yang berkurban mulai dari perawatan serta biaya-biaya operasional lainnya. Hal ini guna menghindari terjadinya penjualan daging kurban serta pembagian daging yang lebih meluas. Inisiatif seperti ini tentu dibenarkan dalam kacamata fiqih madzhab Syafii.

 

Solusi yang lain adalah di antara panitia, selain ada yang menjadi wakil, disiapkan pula panitia yang menyediakan dirinya untuk menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima) daging kurban agar ia mempunyai keleluasaan untuk memanfaatkannya. Dia boleh memasaknya dan juga boleh menjualnya.

 

Alternatif berikutnya adalah dengan mengikuti madzhab Hanafi yang memperbolehkan penjualan daging kurban oleh pelakunya (orang yang berkurban) sesuai dengan manfaat yang diperlukan baik dalam penyelenggaraan penyembelihan maupun pembagiannya kepada masyarakat. Rujukan yang digunakan adalah kitab Kifayatul-Akhyar karya Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini:

 

  وَاعْلَم أَن مَوضِع الْأُضْحِية الِانْتِفَاع فَلَا يجوز بيعهَا بل وَلَا بيع جلدهَا وَلَا يجوز جعله أُجْرَة للجزار وَإِن كَانَت تَطَوّعا ...وَعند أبي حنيفَة رَحمَه الله أَنه يجوز بَيْعه وَيتَصَدَّق بِثمنِهِ

 

Artinya: Dan ketahuilah bahwa fungsi hewan kurban adalah untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu tidak diperbolehkan menjualnya, tidak diperbolehkan pula menjual kulitnya dan juga tidak boleh menjadikan hasil penjualan untuk upah tukang jagal meskipun kurban sunnat (bukan kurban nadzar) dst… Menurut Abi Hanifah, menjual daging kurban dan menyedekahkan uang hasil penjualannya hukumnya boleh.

 

Seperti telah disampaikan di atas, disarankan panitia kurban menyiapkan biaya khusus yang dibebankan kepada orang yang berkurban atau keluarganya untuk biaya perawatan serta biaya-biaya operasional lain. Itu pun jika diperlukan biaya, agar tidak perlu menjual daging kurban.

 

Wallahu a’lam.


Editor:

Keislaman Terbaru