M Rufait Balya B
Penulis
Viral di media sosial pelaksanaan shalat Idul Adha dengan jamaah yang membeludak dan posisi makmum yang terlihat lebih maju atau lebih depan daripada imam shalat. Apakah hal seperti ini diperbolehkan dalam Islam? Bagaimana hukumnya menurut pandangan para ulama?
Jarang diketahui, pelaksanaan shalat Idul Adha hukumnya adalah sunnah muakkadah. Biasanya shalat Idul Adha dilaksanakan di masjid atau lapangan terbuka sebagai bentuk syi'ar Islam. Tapi dalam kasus di atas muncul situasi di mana sebagian posisi makmum berada di depan imam, entah secara sengaja ataupun tidak.
Menyoal hal ini, mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali secara tegas menyatakan bahwa posisi makmum tidak boleh lebih depan dari imam. Hal ini dianggap sebagai syarat sahnya shalat berjamaah, baik shalat fardhu ataupun sunnah.
Dalam pandangan ini, jika makmum berada di depan imam, maka shalatnya dianggap tidak sah. Imam As-Syarbini dari mazhab Syafi’i menjelaskan dalam kitab Mughnil Muhtaj:
فَصْلٌ: لَا يَتَقَدَّمُ عَلَىٰ إِمَامِهِ فِي ٱلْمَوْقِفِ، فَإِنْ تَقَدَّمَ بَطَلَتْ فِي ٱلْجَدِيدِ، وَلَا تَضُرُّ مُسَاوَاتُهُ، وَيُنْدَبُ تَخَلُّفُهُ قَلِيلًا، وَٱلِٱعْتِبَارُ بِٱلْعَقِبِ.
Artinya: Fasal: Tidak boleh seseorang mendahului imamnya dalam posisi berdiri (saat shalat). Jika ia mendahului (imam) dalam posisi (shalat), maka shalatnya batal menurut pendapat al-jadid (pendapat baru Imam Syafi‘i). Namun, kesetaraan posisi dengan imam tidak membatalkan, dan disunnahkan sedikit mundur dari imam. Yang menjadi ukuran adalah tumit (bagian belakang telapak kaki). (Imam As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, [Maktabah Syamilah, tt], juz 1, halaman 490)
Senada dengan pendapat di atas, Ibnu Rif'ah dalam kitab Kifayatun Nabih Syarh At-Tanbih, juga menjelaskan:
قَالَ: وَإِنْ تَقَدَّمَ ٱلْمَأْمُومُ عَلَى ٱلْإِمَامِ، أَيْ: فِي ٱلْمَسْجِدِ، أَوْ فِي غَيْرِهِ – لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ فِي أَصَحِّ ٱلْقَوْلَيْنِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: «إِنَّمَا جُعِلَ ٱلْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ»، وَٱلِٱئْتِمَامُ: ٱتِّبَاعٌ، وَٱلْمُقَدَّمُ عَلَى ٱلْإِمَامِ لَا يَكُونُ تَابِعًا، بَلْ يَكُونُ مَتْبُوعًا؛ وَلِأَنَّ عَلَى ٱلْمَأْمُومِ ٱتِّبَاعَ إِمَامِهِ فِي مَوْقِفِهِ وَأَفْعَالِهِ؛ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ لَهُ ٱلتَّقَدُّمُ عَلَيْهِ فِي إِحْرَامِهِ، وَأَفْعَالِ صَلَاتِهِ – لَمْ يَجُزْ لَهُ ٱلتَّقَدُّمُ عَلَيْهِ فِي مَوْضِعِ صَلَاتِهِ أَوْلَى؛ لِأَنَّ ٱلْمُخَالَفَةَ فِيهِ أَفْحَشُ وَأَظْهَرُ، وَهَذَا هُوَ ٱلْجَدِيدُ.
Artinya: Jika makmum berada lebih depan dari imam, baik di dalam masjid atau di luar masjid, maka shalatnya tidak sah menurut pendapat yang paling kuat di antara dua pendapat, karena sabda Nabi ﷺ: Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, dan 'mengikuti' berarti berada di belakang atau tunduk kepada yang diikuti. Maka orang yang lebih maju dari imam tidak termasuk dalam kategori mengikuti, tetapi justru menjadi yang diikuti. Karena makmum wajib mengikuti imam dalam posisi berdiri dan gerakan-gerakannya, maka sebagaimana tidak diperbolehkan baginya mendahului imam dalam takbiratul ihram dan gerakan shalat lainnya, lebih-lebih tidak diperbolehkan baginya mendahului imam dalam posisi tempat shalatnya; sebab pelanggaran dalam posisi ini lebih jelas dan lebih buruk. Dan inilah pendapat al-jadid (pendapat baru Imam Syafi‘i). (Ibnu Rif'ah, Kifayatun Nabih Syarh At-Tanbih, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2009 M], juz 4, halaman 68)
Namun, Islam tidak pernah kaku dalam hal-hal yang memang menuntut kelonggaran. Ada pandangan yang lebih longgar dalam hal ini, salah satunya adalah pendapat lama (qaul qadim) dari Imam Syafi’i. Dalam qaul qadim, posisi makmum yang lebih depan dari imam tidak membatalkan shalat, meskipun tetap dianggap makruh. Di dalam kitab Majmu' Syarh Muhadzab, Imam An-Nawawi berpendapat:
قَالَ ٱلْمُصَنِّفُ - رَحِمَهُ ٱللّٰهُ تَعَالَى - :
(فَإِنْ تَقَدَّمَ ٱلْمَأْمُومُ عَلَى ٱلْإِمَامِ فَفِيهِ قَوْلَانِ، قَالَ فِي ٱلْقَدِيمِ: لَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُ، كَمَا لَوْ وَقَفَ خَلْفَ ٱلْإِمَامِ وَحْدَهُ، وَقَالَ فِي ٱلْجَدِيدِ: تَبْطُلُ، لِأَنَّهُ وَقَفَ فِي مَوْضِعٍ لَيْسَ مَوْقِفَ مُؤْتَمٍّ بِحَالٍ، فَأَشْبَهَ إِذَا وَقَفَ فِي مَوْضِعٍ نَجِسٍ).
Artinya: Jika makmum berdiri lebih maju dari imam, maka terdapat dua pendapat (qaul): dalam pendapat qadim (lama), shalatnya tidak batal, sebagaimana jika dia berdiri di belakang imam sendirian. Sedangkan dalam qaul jadid (baru): shalatnya batal, karena ia berdiri di tempat yang tidak mungkin menjadi tempat seorang makmum dalam keadaan apa pun, maka diqiyaskan seperti orang yang berdiri di tempat najis (yang juga membatalkan shalat). (Imam An-Nawawi, Majmu' Syarh Muhadzab, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad, tt], juz 2, halaman 190)
Mazhab Maliki bahkan memperbolehkan posisi makmum yang lebih depan dari imam selama ada uzur seperti sempitnya tempat. Jika memang karena kondisi darurat seperti kepadatan jamaah, maka hal itu diperbolehkan dan tidak makruh.
Syekh An-Nafrawi Al-Maliki dalam Al-Fawakih Ad-Dawani menjelaskan:
وَمَحَلُّ كَرَاهَةِ ٱلتَّقَدُّمِ عَلَى ٱلْإِمَامِ وَمُحَاذَاتِهِ حَيْثُ لَا ضَرُورَةَ.
Artinya: Makruh hukumnya makmum berada di depan atau sejajar imam selama tidak dalam keadaan darurat.
Bahkan, dalam kitab Kifayatut Thalib, Ali bin Khalaf Al-Manufi menyatakan:
وإن تَقَدَّمَ المأْمُومُ لعُذرٍ كضِيقِ المَسجِدِ جازَ مِن غيرِ كَراهةٍ
Artinya: Jika makmum berada di depan imam karena uzur seperti sempitnya masjid, maka hal itu boleh tanpa kemakruhan.
Dalam kalangan mazhab Hanbali pun terdapat perbedaan pendapat. Mayoritas berpendapat bahwa makmum di depan imam membuat shalat tidak sah. Tapi ada juga yang menyatakan sah secara mutlak, asal makmum masih bisa mengikuti gerakan imam. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibn An-Najjar al-Futuhi dalam kitab Syarah Muntaha Al-Iradah:
وَقِيلَ: تَصِحُّ فِي ٱلْجُمُعَةِ وَٱلْعِيدَيْنِ وَٱلْجِنَازَةِ لِعُذْرٍ.
[وَعَلَى ٱلْمَذْهَبِ: لَوْ شَكَّ هَلْ تَقَدَّمَ عَلَىٰ إِمَامِهِ أَوْ لَا؛ صَحَّتْ؛ لِأَنَّ ٱلْأَصْلَ عَدَمُ ٱلْمُفْسِدِ].
Artinya: Dan ada pendapat yang mengatakan: shalat makmum di depan imam adalah sah dalam shalat Jumat, dua hari raya (‘Id), dan shalat jenazah, jika ada uzur. (Ibn An-Najjar, Syarah Muntaha Al-Iradah, [Maktabah Syamilah, tt], juz 2, halaman 389)
Kesimpulannya, meskipun ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalatnya makmum yang berada di depan imam itu sah (dengan kemakruhan), akan tetapi tidak lantas dapat menggampangkan urusan ibadah, terlebih shalat. Sebaiknya mengikuti pendapat yang kuat dan disepakati (mu'tamad), yang mengatakan bahwa shalatnya makmum yang demikian adalah tidak sah.
Sebagai umat Islam hendaknya berhati-hati dan tidak ceroboh dalam melaksanakan ibadah. Jangan sampai hanya demi mengejar keindahan semata mengabaikan keabsahan ibadah itu sendiri. Wallahu a'lam.
Terpopuler
1
Innalillahi, KH M Syafi’ Misbah Pengasuh Pesantren Al Hidayah Tanggulangin Sidoarjo Wafat di Makkah
2
Khutbah Jumat: Ibadah Kurban dan Ikhtiar Meneguhkan Silaturahim
3
Makna Idul Adha: dari Ritual Agama menuju Revolusi Kepedulian
4
3 Amalan Sunnah Istimewa di Hari Tasyrik
5
Khutbah Idul Adha: 3 Hikmah Hari Raya Kurban
6
Grand Final Duta Kampus Unisma 2025, Representasi Menuju WCU
Terkini
Lihat Semua