• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Keislaman

Mengonsumsi Daging Kurban yang masih Berdarah, Bagaimana Hukumnya?

Mengonsumsi Daging Kurban yang masih Berdarah, Bagaimana Hukumnya?
Bagaimana hukum mengonsumsi daging kurban yang masih menyisakan darah? (Foto: NOJ/NU Network)
Bagaimana hukum mengonsumsi daging kurban yang masih menyisakan darah? (Foto: NOJ/NU Network)

Hari ini, Selasa (12/07/2022) masih masuk Hari Tasyrik dan ada sejumlah pihak yang melakukan penyembelihan hewan kurban. Nuansa Idul Adha dengan penyembelihan heewan kurban masih terasa. Masalahnya, bagaimana hukum mengonsumsi daging kurban, sedangkan masih menyisakan darah?


Terkait masalah ini, sebenarnya tidak semata berhubungan dengan hari raya kurban, juga penyembelihan secara umum. Yakni saat mengolah daging hewan lain di kesempatan berbeda.


Sebagian orang yang setiap harinya memiliki aktivitas memasak secara rutin sering kali mengalami problem dalam hal memasak daging hewan, baik itu daging ayam, sapi, kambing serta berbagai daging halal lainnya, yaitu darah yang melekat tersisa di daging. 


Darah tersisa pada daging ketika daging sudah dibasuh dengan air. Bahkan tak jarang sisa darah ini tetap ada meskipun daging sudah dimasak dan siap untuk dijadikan sebagai lauk-pauk. Melihat realita di atas, apakah sisa darah yang melekat pada daging dihukumi sebagai najis yang tidak dima’fu sehingga tidak boleh untuk dikonsumsi? 


Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an bahwa salah satu  makanan yang haram untuk dimakan adalah makanan yang masih mengandung darah yang mengalir. 


 قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَآ أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً على طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ الله بِهِ  


Artinya: Katakanlah: Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi– karena semua itu kotor– atau  hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. (Surat Al-An’am ayat 145). 


Namun, ayat di atas tidak berlaku pada permasalahan darah yang melekat pada daging yang memang sulit untuk dibersihkan seperti dalam kasus yang sering terjadi di atas. Sebab makanan yang diharamkan dalam Al-Qur’an adalah makanan yang mengandung darah yang mengalir. Sedangkan darah yang biasa melekat dalam daging yang sudah dibersihkan, sama sekali tidak mengalir, maka darah tersebut dihukumi najis yang dima’fu atau dimaafkan. 


Salah satu ulama Syafiiyah yang menegaskan tentang kema’fuan darah yang melekat pada daging adalah Imam Abu Ishaq at-Tsa’labi dan Al-Hulaimi. Alasan mendasar yang dijadikan dalil tentang kema’fuan darah ini adalah dikarenakan wujudnya sisa darah yang melekat pada daging adalah hal yang sulit untuk dihindari sehingga najisnya darah dalam daging adalah hal yang dimaafkan (dima’fu). 


Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzdzab sebagai berikut: 


 قوله (فرع) مما تعم به البلوى الدم الباقي على اللحم وعظامه وقل من تعرض له من اصحابنا فقد ذكره أبو إسحق الثعلبي المفسر من اصحابنا ونقل عن جماعة كثيرة من التابعين انه لا بأس به ودليله المشقة في الاحتراز منه وصرح احمد واصحابه بان ما يبقى من الدم في اللحم معفو عنه ولو غلبت حمرة الدم في القدر لعسر الاحتراز منه وحكوه عن عائشة وعكرمة والثوري وابن عيينة وأبى يوسف واحمد واسحق وغيرهم واحتجت عائشة والمذكورون بقوله تعالي (الا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا) قالوا فلم ينه عن كل دم بل عن المسفوح خاصة وهو السائل 


Artinya: Cabang permasalahan. Sebagian hal yang umum terjadi adalah darah yang tersisa pada daging dan tulang hewan. Sedikit sekali ulama yang menjelaskan tentang hal ini dari para ashab. Permasalahan ini dijelaskan oleh Abu Ishaq Ats-Tsa’labi, pakar tafsir dari golongan ashabus Syafii, dan dinukil dari segolongan ulama tabiin bahwa darah tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Adapun dalilnya adalah sulitnya menghindari darah ini. Imam Ahmad dan para ashab Ahmad menjelaskan bahwa darah yang menetap pada daging dihukumi ma’fu (dimaafkan), meskipun warna merah dari darah mendominasi pada cawan (untuk mewadahi daging). Ketentuan tersebut juga diceritakan dari Sayyidah A’isyah, ‘Ikrimah, Ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Abu Yusuf, Imam Ahmad, Ishaq dan ulama-ulama yang lain. Sayyidah A’isyah RA dan para ulama tersebut mendalilkan kema’fuan darah yang ada pada daging ini dengan ayat ‘Kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir’ para ulama berkata: Allah tidak mencegah (mengonsumsi) semua jenis darah, tapi pada darah yang mengalir saja. (Lihat: An-Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzdzab, juz II, halaman: 557). 

 


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sisa darah yang biasa melekat pada daging tergolong najis yang dima’fu atau dimaafkan. Sehingga ketika daging sudah dibersihkan dengan sungguh-sungguh namun tetap melekat dalam daging, maka darah tersebut bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan dan daging tetap dapat dikonsumsi. Wallahu a’lam.


Editor:

Keislaman Terbaru