• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Metropolis

MUSKERWIL NU JATIM

3 Topik Bahasan Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muskerwil NU Jatim

3 Topik Bahasan Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muskerwil NU Jatim
3 Topik Bahasan Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muskerwil NU Jatim. (Foto: NOJ/ISi)
3 Topik Bahasan Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muskerwil NU Jatim. (Foto: NOJ/ISi)

Surabaya, NU Online Jatim
Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah bakal membahas tiga masalah pada Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) NU Jawa Timur yang digelar pada Sabtu-Ahad (24-25/12/2022) besok. Agenda tersebut akan dipusatkan di Pondok Pesantren Mojosari, Ngepeh, Kecamatan Loceret, Nganjuk.


Ketiga masalah tersebut meliputi, Dualisme Hukum (Terkait dengan Perceraian) di Indonesia, Undang-Undang PKDRT dalam Tinjauan, dan Batasan Masa Jabatan Anggota DPR. Masalah tersebut merupakan usulan sejumlah lembaga atau instansi di Jawa Timur.


Dualisme Hukum (Terkait dengan Perceraian) di Indonesia
Pembukaan UUD 1945 mengakui bahwa setiap individu atau warga negara adalah manusia merdeka dan tidak boleh mendapatkan diskriminasi berdasarkan apapun termasuk berdasarkan perbedaan jenis kelamin.


Upaya menjaga asas persamaan hak hukum tanpa melihat faktor kelamin, kesukuan, agama terkadang tidak selaras dengan tujuan dan maksud umumnya yang ada dalam kutub turats terutama yang berkait dengan perceraian.


Karenanya dalam pasal 39 KHI disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dalam praktiknya, hakim juga dapat menolak memutus talak yang sudah dijatuhkan suami.


Kondisi ini menimbulkan sejumlah persoalan. Di antaranya, mungkinkah upaya perlindungan rakyat yang dilakukan negara dengan prinsip kesamaan hak atas rakyat dapat dibenarkan sebagai “ijtihad negara” yang bisa sepenuhnya dipatuhi dengan mengabaikan ijtihad ulama yang selama ini ada? Dualisme hukum ini menciptakan “kegaduhan” dan “keresahan” di kalangan masyarakat. Mungkinkah dilakukan legitimasi fikih atas kebijakan negara ini mengingat kebijakan negara sulit dilawan sebagaimana dalam masalah KHI selama ini?


Selain itu, dalam hal cerai gugat yang disamakan dengan gugat secara umum yang keputusannya tidak lagi ada pada suami tetapi diambil alih oleh hakim sehingga memungkinkan dijatuhkan tanpa persetujuan dan sepengetahuan suami, dapatkah pendapat hakim ini diakui secara syar’i hingga perceraian tetap dianggap terjadi atas dasar putusan pengadilan?


UU PKDRT dalam Tinjauan
Ramai diberitakan di media-media tentang kasus KDRT yang dialami oleh artis Lesty Kejora. Sehingga akibat apa yang dialaminya tersebut, Lesty melaporkan suaminya (Rizky Billar) ke pihak kepolisian dengan tuduhan melakukan KDRT. Namun selang beberapa waktu Lesty berdamai dengan suaminya dan mencabut laporannya.


Dalam UU sudah diatur mengenai larangan melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Seperti yang diatur dalam UU PKDRT. Dalam Pasal 5-8 UU No. 23 Tahun 2004 UU PKDRT disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya.


Untuk itu, tiga pertanyaan atas kasus tersebut penting diketahui oleh Nahdliyin. Yaitu, apakah UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) sudah sesuai dengan aturan fiqih? Apakah diperbolehkan istri melaporkan suami ke pihak kepolisian atas tindakan melakukan KDRT? Terakhir, apakah ada aturan dalam fiqih mengenai pencabutan laporan sehingga terdakwa bebas dari jeratan hukum? Dan apakah diperbolehkan?


Batasan Masa Jabatan Anggota DPR
Permasalahan ini merupakan usulan Fakultas Syariah UIN Khas Jember. Disebutkan, dalam ketatanegaraan Indonesia, masa jabatan pejabat mulai dari presiden hingga kepala desa dibatasi maksimal periode tertentu. Setelah melewati batas maksimal periode tersebut, maka yang bersangkutan dilarang untuk menjabat kembali pada jabatan yang sama.


Pembatasan ini bertujuan untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalisir tindakan kesewenang-wenangan ataupun tindakan korup dalam menjalankan jabatan. Namun demikian, pembatasan masa jabatan tersebut tidak diatur bagi Anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


Lantas, ada dua pertanyaan atas persoalan tersebut. Yakni, apakah pembatasan masa jabatan pejabat politik dikenal dalam konsep fikih? Dan, perlukah masa jabatan Anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dibatasi seperti jabatan-jabatan lainnya?


Metropolis Terbaru