• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Metropolis

Alissa Wahid Tegaskan Mencintai Indonesia Harus Ikhlas

Alissa Wahid Tegaskan Mencintai Indonesia Harus Ikhlas
Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian. (Foto: NOJ/ tmP)
Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian. (Foto: NOJ/ tmP)

Surabaya, NU Online Jatim

Jaringan Gusdurian menggelar Upacara 17-an Refleksi Kemerdekaan secara virtual dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia, Kamis (17/08/2023) sore. Dalam agenda itu, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid berpesan bahwa mencintai Indonesia harus ikhlas.

 

Ia mengungkapkan berbagai cara masyarakat untuk mencintai Indonesia pada momentum hari kemerdekaan ini. Di antaranya dimulai dari mencintai lingkungan, mengasah diri sendiri agar menjadi orang yang sukses, bisa menolong sesamanya, bertoleransi kepada semua warga, bergotong-royong, mempersiapkan perayaan 17-an.

 

“Serta mendidik anak dengan baik agar tidak mudah menjadi orang yang dibodohi,” ujar putri Gus Dur ini dilansir dari NU Online, Jumat (18/08/2023).

 

Kemudian Alissa mengutip puisi Sapardi Djoko Damono berjudul ‘Aku Ingin’ dan memaknainya sebagai cara yang selaras untuk mencintai Indonesia. Dari dua bait puisi yang dibaca, Alissa menyimpulkan bahwa mencintai Indonesia harus Ikhlas.

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

 

“Ikhlas. Mencintai Indonesia berarti bersiap menjadi kayu yang berubah menjadi abu atau seperti awan yang hilang bersama hujan,” ucap Alissa yang juga Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.

 

Keikhlasan mencintai Indonesia juga diteladankan oleh para guru dari almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yakni kakeknya, KH M Hasyim Asy’ari, dan ayahnya, KH Wahid Hasyim.

 

Kiai Hasyim Asy’ari ikhlas mengirimkan para santri untuk membela republik yang bukan sebuah negara Islam ini. Begitu pula Kiai Wahid Hasyim yang menjadi salah satu pendiri negara ini tetapi Ikhlas menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang khas untuk orang Islam agar Indonesia tetap Bhinneka Tunggal Ika.

 

Lebih lanjut, Alissa mengatakan bahwa mencintai Indonesia juga harus bisa merasakan patah hati, bahkan patah arang saat melihat berbagai ketidakadilan yang menimpa negeri ini. Bahkan saat berkali-kali kalah dalam upaya mendampingi rakyat tertindas.

 

“Sungguh, mencintai Indonesia kadang berarti harus merasakan patah hati, bahkan patah arang. Berulang kali mendampingi mereka yang terancam penghidupannya atas nama pembangunan, dan kalah. Berulang kali mendampingi mereka yang hanya ingin beribadah dengan tenang di tempat ibadahnya, dan gagal. Berulang kali mengingatkan negara untuk tidak melemahkan upaya memberantas korupsi, dan kalah lagi,” ucap Alissa.

 

Lalu mencintai Indonesia, kata Alissa, terkadang seperti menempuh perjalanan panjang di jalur sunyi yang terjal dan penuh belukar duri. Hal ini dialami oleh para Gusdurian yang selalu bergerak hingga ke akar rumput tanpa mendapat keutungan materi sedikit pun.

 

“Para Gusdurian tahu, menjadi Gusdurian tidak akan mendatangkan keuntungan finansial, jabatan, atau lampu sorot popularitas, sepertinya lebih mudah jadi calon bupati atau calon anggota parlemen daripada menjadi Gusdurian yang berdiri bersama rakyat,” ucap Alissa.

 

Ia juga menuturkan bahwa mencintai Indonesia terkadang terasa seperti memanggul karung berat di punggung, sehingga membuat perjalanan harus ditempuh dengan tertatih-tatih. Terkadang pula harus menepis semua batu yang mengganggu perjalanan, menyingkirkan kerikil yang masuk ke alas kaki, harus menepi untuk menyeka keringat deras, dan menyemangati diri sendiri saat di depan tampak bukit tinggi menjulang.

 

“Tapi itulah sejatinya mencintai. Cinta sejati teruji oleh tantangan, tumbuh berkembang tak peduli apa pun situasinya. Cinta sejati akan terus mekar walau dalam situasi yang tidak nyaman. Sebab mencintai adalah kata kerja, mencintai adalah tindakan, mencintai adalah komitmen, mencintai tak mengenal balasan,” tuturnya.


Metropolis Terbaru