• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Metropolis

Awal Mula Pendudukan Israel di Palestina menurut Quraish Shihab

Awal Mula Pendudukan Israel di Palestina menurut Quraish Shihab
Cendekiawan Muslim, Prof M Quraish Shihab. (Foto: NU Online)
Cendekiawan Muslim, Prof M Quraish Shihab. (Foto: NU Online)

Surabaya, NU Online Jatim

Cendekiawan Muslim Prof M Quraish Shihab menjelaskan secara rinci awal mula pendudukan Israel di tanah Palestina. Ia menyebutkan, jauh sebelum menguasai tanah di Palestina, orang Yahudi sangat dibenci.

 

“Bahkan kebencian tersebut sangat popular,” ujarnya dalam tayangan di akun Youtube Bayt Al-Qur'an dikutip NU Online Jatim dari NU Online, Sabtu (18/11/2023).

 

Ia pun mencontohkan, misalnya ketika zaman Adolf Hitler, orang-orang Yahudi banyak dibunuh (seperti peristiwa Holocaust), sehingga mereka terpencar-pencar ke berbagai negara. Ada yang ke Yunani, Perancis, Inggris, Rusia, Eropa secara umum, dan seterusnya. “Karena terpencar-pencar itulah, mereka ingin bersatu dan memiliki negara sendiri,” ucapnya.

 

Pada Perang Dunia I (1914-1918), terjadi peperangan antara Inggris, Amerika, dan sekutunya, melawan Kesultanan Utsmaniyah. Ketika itu, Menteri Luar Negeri Inggris berjanji bahwa pihaknya akan memberikan orang-orang Yahudi suatu negara, agar mereka membina negara ini, dan orang-orang Yahudi terpencar-pencar di mana-mana itu menyatu di sana.

 

Diusulkanlah tiga tempat, ada yang berkata empat tempat. Yang pertama Argentina, yang kedua Uganda, yang ketiga Palestina. Ada yang berkata juga Afrika Selatan. Orang-orang Yahudi memilih Palestina. Lalu mereka mencari dalih keagamaan. Ditemukanlah di dalam Perjanjian Lama, bahwa 'Tuhan menjanjikan untuk orang Yahudi itu negeri leluhur mereka: Palestina,' di mana di sana dulu pernah berkuasa Nabi Sulaiman dan Nabi Daud.

 

Tetapi, lanjut Prof Quraish, kalau kita membaca Perjanjian Lama, maka kita menemukan janji Tuhan itu kepada Nabi Ibrahim, bahwa 'keturunanmu itu diberi janji negeri di Al-Ardlil Muqaddasah, Negeri yang Suci.'

 

"Kalau memang kita berkata itu janji kepada Nabi Ibrahim dan anak cucunya, otomatis orang Arab juga dong punya hak di sana. Iya, kan?" tanya Prof Quraish.

 

Tetapi, mereka tidak mau mengakui orang Arab sebagai anak Nabi Ibrahim. Ini terjadi karena Nabi Ibrahim menikah dengan perempuan budak. Anak keturunan itu, menurut mereka, bukan ditentukan oleh bapak, tetapi oleh ibu. Ibunya budak, berarti bukan anak Nabi Ibrahim.

 

"Itu alasan mereka. Tapi kalau kita tidak, itu anak Nabi Ibrahim mestinya, betapa pun," imbuh ulama kelahiran 16 Februari 1944 itu.

 

Dalam Perang Dunia I itu, lanjutnya, Inggris-Sekutu menang melawan Kesultanan Utsmaniyah. Hal itu, menurut Prof Quraish, memunculkan ambisi negeri-negeri Islam dan Arab. Yordania punya ambisi tanah yang luas. Mesir punya ambisi memimpin negeri-negeri Islam.

 

Tetapi, sambung Prof Quraish, dalam janji Inggris itu memberi pesan bahwa mereka harus hidup berdampingan, antara orang Arab dan orang Yahudi. Tetapi kemudian kacau, karena Inggris keluar meninggalkan Palestina, dan membiarkan keduanya berkelahi hingga perang.

 

Prof Quraish melanjutkan, orang Arab pun kalah dalam perang dan diusir dari Palestina pada tahun 1948. Padahal, kata Prof Quraish, ketika itu mayoritas penduduk Palestina orang Arab, di mana orang Yahudi baru sekitar 5 persen dari penduduknya. Ketika itu belum ada Israel. Adapun sekarang penduduk Israel sekitar 10 juta, tetapi kuat karena mereka dibantu Amerika dan Inggris, jelas Prof Quraish.

 

Lalu Prof Quraish bercerita, ketika tahun 1973 terjadi perang Oktober, perang Ramadan di Mesir, pertahanan Israel sudah hancur. Lalu pimpinan Angkatan Darat Mesir bilang, "Ini kesempatan, kita serbu, kita kuasai Yerusalem". Namun, Anwar Sadat tidak mau, "Jangan!" Kenapa tidak mau? "Saya tidak sanggup menghadapi Amerika Serikat".

 

"Jadi di belakang dia itu ada yang menjadikan dia kuat, bukan Israelnya, bukan Yahudinya, yang 10 juta itu. Sekarang aja semua ragu-ragu, kan?" tanyanya.

 

Dalam kesempatan itu, Prof Quraish mengatakan bahwa tidak semua orang Yahudi jahat. Orang Yahudi sekarang, secara garis besar, terbagi atau bisa dibagi menjadi dua, ada yang baik, ada yang buruk.

 

"Yang buruk itu namanya Zionis, itu yang berkuasa sekarang. Di Israel ada orang-orang Yahudi yang mengecam itu, di Amerika ada protes-protes dari orang-orang Yahudi yang tidak setuju, ini bertentangan dengan kemanusiaan, ini masa anak kecil dibunuh, masa rumah sakit dibom. Jadi dorongan kemanusiaan itu ada, ada yang begitu. Yang jahat itu Zionis, yang berkuasa sekarang di Israel itu Zionis, ini shuhyun, shuhyuniyin, kita berhadapan dengan mereka," urainya.

 

Israel Tak Mau Two-State Solution
Prof Quraish menjelaskan, bahwa organisasi di Palestina itu banyak. Tahun 1964 ada organisasi yang terhimpun dalam apa yang dinamai PLO, Organisasi Pembebasan Palestina. PLO ini sudah bersedia untuk berdamai dan menyetujui keputusan PBB, ada dua negara, ada Israel ada Palestina.

 

"Israel enggak mau, malah dia terus mau mengambil. Dia mengambil dataran tinggi Golan, iya toh?" ujar ulama tafsir Al-Qur’an itu.

 

Ada lagi organisasi Palestina, yang tidak mau masuk PLO, yaitu Hamas. "Hamas itu dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin. Ini yang perang sekarang. Kalau PLO agak lunak karena mau berdamai dalam solusi dua negara, maka Israel tidak mau, dan bahkan punya cita-cita menguasai seluruh Arab," kata Prof Quraish.

 

Ketika PBB mengusulkan dua negara dan ada perdamaian, Hamas tidak mau. Hamas bilang, "Saya tidak mau dua negara, masa saya punya keluarga diusir, ke mana?" kata Prof Quraish, menirukan. Lalu Israel berkata, "Sudahlah, orang Palestina tinggal saja di negeri-negeri Arab."

 

"Kemarin ini waktu duduki Gaza, Israel berkata, 'Ayolah mengungsi ke Mesir, ke Rafah.' Mesir tolak, tidak mau. Kenapa? Karena kalau dia terima orang-orang Palestina, menjadilah mereka pengungsi-pengungsi, makin senang Israel. Tidak ada yang ganggu dia. Itu persoalannya," pungkasnya.


Metropolis Terbaru