• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 2 Mei 2024

Metropolis

Ngaji Interaktif di Unusida, Kiai Makki Jelaskan Pentingnya Menjaga Sanad Keilmuan

Ngaji Interaktif di Unusida, Kiai Makki Jelaskan Pentingnya Menjaga Sanad Keilmuan
KH Makki Nasir saat menyampaikan tausiyah. (Foto: NOJ/Maschan Yusuf)
KH Makki Nasir saat menyampaikan tausiyah. (Foto: NOJ/Maschan Yusuf)

Sidoarjo, NU Online Jatim
Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo (Unusida) menggelar Ngaji Interaktif dalam rangka memperingati Hari Lahir (Harlah) ke-101 Nahdlatul Ulama (NU) yang dipusatkan di Masjid KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Rabu (31/01/2024). Kegiatan tersebut mendatangkan narasumber yang merupakan Dzurriyyah Syaikhona Cholil Bangkalan, KH Makki Nasir yang juga sebagai ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Bangkalan.

 

Dalam kesempatan tersebut, Kiai Makki menjelaskan dalam literasi Syaikhona Cholil, tentang pentingnya menjaga sanad keilmuan. Sebab, ketika seorang santri hanya membaca literatur atau buku sebagai acuan, tanpa memahami literasi. Maka akan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami informasi atau ilmu di dalamnya.

 

“Oleh karena itu, literasi sangat diperlukan sebagai rujukan untuk memahami isi dan pesan dalam sebuah kitab karya ulama terdahulu agar tidak terjadi kesalahpahaman dan bertolak belakang dengan apa yang diciptakan oleh Allah,” jelasnya.

 

Kiai Makki mengatakan bahwa selama ini Syaikhona Cholil lebih dikenal karena karomahnya. Jarang sekali muncul karena kehebatan ilmunya. Padahal santri-santrinya menjadi ulama besar di Indonesia, salah satunya yaitu pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama, KH Muhammad Hasyim Asy’ari.

 

Hal tersebut karena beliau tidak pernah memikirkan dirinya maupun pesantrennya sendiri. Yang dipikirkan hanya santri-santrinya agar membuat pesantren yang besar di daerah masing-masing nantinya.

 

“Cerita kekeramatan Syaikhona Cholil merupakan bukti dari kewaliannya, Sedangkan beliau juga seorang kiai yang selalu haus akan ilmu dan senang tolong menolong,” ungkapnya.

 

Banyak karya para ulama yang menggunakan istilah atau simbol kedaerahan tempatnya berdakwah. Sedangkan orang-orang yang membaca simbol atau lafadz dalam buku atau kitab tersebut belum tentu mengerti dengan apa yang disampaikan. Maka hal tersebut menjadi tugas guru dalam mengemasnya sesuai adat di setiap daerah, tanpa mengubah makna yang tersirat di dalamnya.

 

“Orang yang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan, kenapa? karena dia hanya membaca simbol (kata), tidak membaca pemikiran pengarangnya. Sehingga menafsirkan sesuai dengan apa yang dibaca, tanpa mengenal pengarangnya,” tuturnya.

 

Ia menyampaikan dalam memahami bahwa tulisan para ulama terdahulu seperti Syaikhona Kholil yang tersebar ke seluruh santri-santrinya dulu merupakan sebuah warisan ulama yang perlu dijaga, dicari dan dilestarikan. Sehingga pentingnya dalam melakukan digitalisasi sesuai perkembangan zaman agar dapat dinikmati dan pelajaran bagi generasi penerus.

 

“Kita harus menyadari yang sekarang ini dibutuhkan adalah literasi, tidak hanya literatur. Melalui literasi ini kita memahami apa yang kita baca, informasi apa yang kita baca dan apa yang kita tulis,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, Kiai Makki menyadari bahwa ini di era global saat ini, di mana mudahnya mengakses konten pengetahuan terkadang membuat bingung karena terlalu banyak simbol (kata) serta juga penulisnya yang belum jelas asal usulnya.

 

Kiai Makki menekankan bahwa akademisi NU untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Pentingnya dalam memastikan kebenaran informasi dan memahami asal-usulnya terlebih dahulu.

 

“Jika pikirannya sudah diisi dengan hal yang tidak dipahami, maka juga akan sulit dalam memahami tindakannya. Hal tersebut juga yang harus diperhatikan dalam berdakwah dengan membuat konten,” terangnya.

 

Hal penting lain dalam menjaga sanad keilmuan adalah ketika memilih guru dan lingkungan belajarnya. Oleh karena itu, akademisi NU harus juga harus dapat menciptakan sistem belajar baru dengan memperhatikan rujukan dari para ulama.

 

“Perguruan tinggi tidak hanya mencetak akademisi, tapi juga mampu mencetak seorang ilmuwan. Jadi pemikirannya tidak hanya berkutat sekitar akademik, tetapi dapat mengembangkan ilmunya agar bermanfaat untuk masyarakat,” pungkasnya.

 

Tampak hadir, Sekretaris PCNU Sidoarjo H Agus Mahbub Ubaidillah, Wakil Katib PCNU Sidoarjo Gus Arisy Karomy, Wakil Rektor 2 Unusida Lukman Hakim, Wakil Rektor 3 Unusida Ali Masykuri, serta seluruh Civitas Akademika Unusida.


Metropolis Terbaru