• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Opini

1 Abad NU yang Dibalut Kepedulian Sosial dan Rasa Persaudaraan

1 Abad NU yang Dibalut Kepedulian Sosial dan Rasa Persaudaraan
Besarnya rasa persaudaraan dan kepedulian sosial membuat NU terus bertahan hingga saat ini. (Foto: NOJ/Pan)
Besarnya rasa persaudaraan dan kepedulian sosial membuat NU terus bertahan hingga saat ini. (Foto: NOJ/Pan)

Oleh: M Bahrul Marzuki

 

Sepekan ke depan, warga Nahdlatul Ulama atau Nahdliyin akan menyaksikan teatrikal panggung resepsi 1 abad. Tepatnya pada Selasa (7/2/2023) di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo. Kegiatan ini dipastikan bukanlah sebuah acara biasa saja karena akan dihadiri jutaan manusia. Peserta undangan maupun non-undangan yang ingin menjadi saksi secara langsung bagian dari sejarah bahwa jamiyah telah memasuki usia 1 abad.


Untuk hiburan, panitia siap menghadirkan beberapa artis maupun seniman ibu kota. Mereka antara lain Addie MS, yang siap hadir lengkap dengan pasukan orchestranya. Termasuk juga musisi legendaris lain seperti H Rhoma Irama.


NU secara kalender hijriah berdiri pada 16 Rajjab 1344. Didirikan oleh beberapa tokoh ulama yang memiliki keilmuan tinggi setelah menimba ilmu agama Islam secara langsung di Makkah. Mereka antara lain Syaikhona Kholil asal Bangkalan, Hadratussyeh KH M Masyim Asy'ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah dari Jombang.


Sementara secara kalender masehi, NU yang lahir pada  31 Januari 1926 sudah banyak mewarnai sejarah Indonesia. Mulai dari zaman pra kemerdekaan, awal kemerdekaan, pra reformasi, pasca reformasi hingga era sekarang. Sudah banyak juga catatan sejarah tentang peran penting NU dalam membangun Indonesia. Meskipun pada setiap zamannya mendapatkan tantangan tersendiri dan bahkan juga ada upaya pengerdilan terhadap NU itu juga. Karena itu untuk 1 abad ini, cukup pantas jika jamiyah disebut mencengangkan. Karena sudah mampu melewati 100 tahun usia dengan berbagai dinamika yang melingkupi.


Pada era sebelum kemerdekaan, Hadratussyekh Hasyim Asya'ri menyuarakan perlawanan terhadap penjajahan Jepang. Dirinya menolak bukan hanya untuk tunduk pada pemerintahan Jepang, tapi juga secara tegas mengharamkan untuk sekadar sujud menghadap kepada pihak kekaisaran Jepang. Sehingga Kiai Hasyim sempat mengalami penyiksaan fisik oleh tentara Jepang.

 

Berlalu beberapa tahun kemudian pada awal kemerdekaan, NU kembali memberikan peran. Pada peristiwa perang akbar 10 November di Surabaya, Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad. Dengan demikian, warga muslim dari sekitar Surabaya diwajibkan untuk ikut berperang. Meskipun hanya sekadar memegang senjata seadanya dengan bambu runcing. Pada peristiwa tersebut Surabaya sampai hancur lebur akibat tidak mau menyerah pada pasukan NICA. Puluhan ribu nyawa pun melayang akibat bombardir pasukan sekutu dari darat, laut maupun udara.

 

Usai Kemerdekaan, NU lagi-lagi memiliki peran vitalnya melalui tokoh KH A Wahid Hasyim, yang pernah menjadi Ketua PBNU era 1951-1954. Di tengah perdebatan boleh tidaknya Pancasila ditaati sebagai ideologi negara, dirinya memberikan backup penuh kepada Presiden Soekarno hingga ikut merumuskan Pancasila sebagai ideologi resmi negara.

 

Selanjutnya, pada masa Orde Baru era kepemimpinan Presiden Soeharto. NU dianggap sebagai salah satu ancaman karena memiliki massa tradisional yang cukup banyak utamanya di pedesaan. Dengan tokohnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat itu dianggap sebagai tandingan oleh Soeharto yang sudah menjabat sebagai presiden selama puluhan tahun dan seakan takut akan digulingkan. Beberapa kali Gus Dur coba untuk dikudeta dari posisi sebagai Ketua Umum PBNU. Selain itu juga sempat mengalami ancaman pembunuhan ketika awal era reformasi, saat lengsernya Soeharto sebagai presiden.

 

Tapi sebagaimana dikisahkan dalam buku profil Abdurrahman Wahid yang ditulis oleh Greg Barton, Gus Dur saat itu tetap tenang menghadapi ancaman pembunuhan. Tapi Gus Dur meyakini jika belum seizin Allah, manusia mana pun tak akan mampu mencabut nyawa seseorang. Dan kini, NU sebagai organisasi umat muslim terbesar di Indonesia juga beberapa kali hadir di tengah kacau balaunya kondisi sosial akibat beberapa kali panasnya suhu perpolitikan di Indonesia. NU hadir menjadi penengah merespons munculnya paham ujaran kebencian di tengah masyarakat, termasuk isu radikalisme, terorisme, transnasional, politik identitas dan juga hoaks.

 

Besarnya rasa persaudaraan dan kepedulian sosial yang tinggi sejak awal dibangun oleh masyaikh pendiri, membuat NU terus bertahan hingga saat ini. Bagaimanapun juga gempuran yang datang. Selain itu NU juga masih kokoh terhadap adanya perselisihan di internal organisasi. Para kadernya memiliki prinsip, boleh tidak sejalan dengan sang imam, tapi sebagai makmum harus tetap berada di barisan shaf. Tidak elok untuk keluar, apalagi sampai mendirikan masjid sendiri. Sebagai contoh, biasa ditemui perseberangan pendapat antara tokoh NU. Mulai dari perbedaan fatwa hingga perbedaan pilihan politik tidak pernah sampai berdampak serius. Kata orang Jawa Timur, kalangan NU pintar membalikkan suasana dari gegeran (berselisih) menjadi ger-geran atau akur dan bercanda kembali.

 

Itu sebagaimana juga yang pernah disampaikan oleh Gus Dur. Bahwa, mereka yang bukan saudara seiman adalah saudara kemanusiaan. Nah, apalagi di dalamnya sudah diikat oleh persaudaraan seiman dan termasuk juga persaudaraan satu organisasi, termasuk satu majelis Yasin dan tahlil juga. Karena ada cara unik orang NU untuk mendamaikan perselisihan, yakni dengan prinsip tabayyun. Tabayyun ini dari bahasa Arab yang berarti melakukan konfirmasi. Tentu pendekatan ini bukan hanya konfirmasi belaka lewat saluran telpon, tapi juga lebih afdhal lewat sebuah forum pertemuan.

 

M Bahrul Marzuki, Penulis adalah Panitia Resepsi Satu Abad NU Bidang Media


Editor:

Opini Terbaru