• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Opini

Dari Surabaya, Pesantren, Madrasah hingga Perguruan Tinggi: Refleksi 1 Abad NU

Dari Surabaya, Pesantren, Madrasah hingga Perguruan Tinggi: Refleksi 1 Abad NU
Kantor Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) atau kantor pertama PBNU, Jalan Bubutan VI/2 Surabaya. (Foto: NOJ)
Kantor Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) atau kantor pertama PBNU, Jalan Bubutan VI/2 Surabaya. (Foto: NOJ)

Oleh: Rangga Sa’adillah SAP *)


“Menjaga hal-hal yang lama masih baik, dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Tidak boleh ada sikap a priori, selalu menerima yang lama dan menolak yang baru atau sebaliknya…” (KH. Muchit Muzadi)


NU didirikan tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. Surabaya menjadi tempat bersejarah berdirinya organisasi yang sangat fenomenal ini. Tiga muassis yang popular sebagai tritunggal pendiri NU tersebut Hadratussyeikh KH M Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri. Tiga muasis tersebut sangat termasyhur sebagai pendiri NU, mereka berasal dari Jombang. Sedangkan dari Kota Surabaya sendiri terdapat beberapa ulama pendiri NU di antaranya KH Ahmad Dahlan Achyad, KH Ridlwan Abdullah, KH Mas Alwi Abdul Aziz, dan banyak Kiai-kiai lainnya.


Relasi NU dengan Surabaya
Sebuah pertanyaan yang belum mampu saya jawab adalah mengapa NU didirikan di Surabaya? Bukan di Jombang yang merupakan kota ikonik dari tiga muasis NU (Mbah Hasyim, Mbah Wahab, dan Mbah Bisri? Atau bukan Jakarta yang saat itu berkedudukan sebagai sentra administrasi kolonialisme Belanda? Tetapi nyatanya NU didirikan di Surabaya.


Berdirinya NU pada tanggal 16 Rajab 1344 H di Surabaya adalah sebuah puncak dari perjuangan kiai-kiai dalam melestarikan akidah Ahlussunnah wal Jamaah sekaligus sebagai wadah perjuangan dalam memerdekakan bangsa ini dari cengkraman kolonialisme. Nahdlatut Tujar, Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar adalah embrio-embrio perjuangan ideologis untuk mewujudkan milestone kebangkitan ulama –Nahdlatul Ulama.


Tiga simpul embrio NU yang berawal dari titik tolak Surabaya cukup membuktikan bahwa Kota Surabaya adalah kawasan yang memang memiliki magnet tersendiri. Berdirinya NU di Kota Surabaya adalah sebuah perlawanan nyata terhadap cengkraman penjajahan yang nyata-nyata merenggut kebebasan warga pribumi. Berdirinya NU di Kota Surabaya adalah sebagai respons tandingan pergolakan diabolisme pemikiran wahabi yang era tersebut sedang melesat bagai busur panah kemudian dilawan oleh akidah najiyah dalam organisasi Nahdlatul Ulama.


Selain itu Kota Surabaya dengan kosmopolitannya dihuni oleh arek-arek yang ideologis “berani” berjuang mempertaruhkan jiwa raga untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan –puncaknya ialah pertempuran heroik 10 Nopember, Bung Tomo santri dari KH M Hasyim Asy’ari sangat berjasa dalam membangkitkan semangat pertempuran.


Dengan demikian, pendirian NU di Kota Surabaya bukanlah sebuah kebetulan. Justru sebuah ikhtiar dhahir dan batin kiai-kiai dalam melawan kedzaliman dan merespons pergolakan pemikiran global. Premis perlawanan dan merawat adalah spirit dari berdirinya NU, tentu saja diiringi dengan kekuatan spiritualisme kiai-kiai yang mastur di Surabaya untuk melestarikan akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Pola perlawanan dan merawat juga sebenarnya sudah dicontohkan dari pendirian pondok pesantren yang berdekatan dengan pabrik gula di era kolonial.


Ambil contoh seperti Pesantren Tebuireng kokoh berdiri menantang Pabrik Gula Tjoekir, Pesantren Denanyar tak jauh dari PG Djombang Baru, Pesantren Lirboyo tak jauh dari PG Pesantren Baru, Pesantren Zainul Hasan Genggong tak jauh dari PG Padjarakan. Kemudian Pesantren Salafiyah Syafiiyah berdekatan dengan PG Asembagoes, Pesantren Assuniyah Kencong Jember berdekatan dengan PG Gunungsari, dan Pesantren Annur Bululawang Malang juga tak jauh dari PG Krebet. Dan tidak ketinggalan Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo yang tidak jauh dari PG Candi. Tentu keberadaan pesantren-pesantren tersebut tidak diinisiasi tanpa pertimbangan dan alasan khusus. Tentu saja pertimbangan dan alasannya ialah melawan kedzaliman dan menjaga akidah.


Belajar dari Perlawanan Pesantren
Bentuk perlawanan pesantren yang berdekatan dengan pabrik gula ialah bukan dengan kekerasan melainkan dengan dakwah yang hikmah. Hadirnya pabrik gula berarti memicu lahirnya dua kelas yakni kelas borjuis dan proletary (kaum buruh dan kaum majikan).


Wilayah sekitar pabrik gula yang masih mustad’afin bersedia menjadi kuli di pabrik gula yang dikelola secara sporadis oleh pemerintah Kolonial. Pengelolaan seperti ini menjadikan kuli pribumi sebagai mesin untuk terus memproduksi gula yang mampu memberikan nilai ekonomi pada kaum majikan (borjuis). Celakanya ialah area yang berdekatan dengan pabrik gula menjadi bisnis gelap seperti prostitusi, judi, dan mabuk-mabukan. Belum lagi dampak eksploitasi tebu yang dijarah secara besar-besaran untuk memenuhi target produksi dan perut kaum borjuis.


Hadirnya pesantren yang bersanding dengan pabrik gula memberikan perlawanan dengan cara yang penuh hikmah. Seperti Pesantren Tebuireng yang sangat berdekatan dengan PG Tjoekir. Kawasan Pabrik Gula Tjoekir sekitar tahun 1853 adalah “sarang maksiat”. Dan Pesantren Tebuireng yang didirikan pada tahun 1899 mampu menjadi equalizer moralitas penduduk sekitar Kawasan PG Tjoekir tersebut.


Awalnya memang kehadiran dari Pesantren Tebuireng sangat tidak diharapkan oleh penduduk sekitar PG Tjoekir. Pesantren yang sangat sederhana ini didirikan dari anyaman bambu dengan ukuran 6 x 8 meter. Bangunan sederhana ini disekat menjadi dua. Bagian belakang digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan bagian depan digunakan sebagai langgar alias mushala. Saat itu santrinya hanya 8 orang. Tiga bulan kemudian santrinya menjadi 28 orang.


Kehadiran Mbah Hasyim di perkampungan perambah ini tentu saja mendapatkan pertentangan. Fitnah datang bertubi-tubi. Bahkan para santrti memilih tidur bergerombol di tengah langgar, takut tusukan benda tajam yang seringkali diarahkan ke dinding gedhek. Di luar, Mbah Hasyim juga mendapatkan intimidasi agar menghentikan dakwahnya. Bahkan para santri juga mendapatkan ancaman agar meninggalkan Mbah Hasyim.


Melihat gangguan yang semakin kuat, Mbah Hasyim akhirnya meminta bantuan dari para sahabatnya yang berasal dari Banten, antara lain Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Sansuri Wanantara, dan Kiai Abbas Abdul Jamil Buntet, Cirebon. Mereka diundang secara khusus untuk melatih para santri pencak silat, sehingga kemampuan beladiri ini membuat para santri semakin percaya diri untuk melindungi dirinya maupun gurunya.


Tetapi pada akhirnya, setelah bertahun-tahun, langgar sederhana ini berkembang menjadi pondok pesantren dan mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Kharisma dan keilmuan Mbah Hasyim semakin diakui. Kampung yang dihuni komunitas perambah buruh tebu ini berubah lebih agamis berkat sentuhan dakwah tanpa kekerasan yang dilakukan. Bahkan, ketika salah satu anak dari pimpinan PG Tjoekir yang berkebangsaan Belanda menderita sakit parah dan dalam kondisi kritis, dia akhirnya sembuh berkat air doa (suwuk) dari Mbah Hasyim. Sebuah dakwah yang sangat indah dan penuh dengan hikmah.


Pendidikan Berkualitas; Harapan Abad Kedua
Satu abad bukanlah waktu yang sebentar melainkan waktu yang sangat lama, melebihi eksistensi (de facto) dari Dinasti Umayyah, bahkan melebihi umur dari negara kita, Indonesia. Kehadiran NU dengan pesantren mungkin tidak bisa dipisahkan. Bahkan bisa dibilang NU adalah bagian dari pesantren atau juga mungkin sebaliknya. NU telah sukses menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pesantren. Hingga hadirnya pesantren juga bisa dikaitkan dengan perjuangan kemerdekaan negara kita, Indonesia.


Tetapi pada abad kedua ini selain pesantren, NU telah memiliki madrasah atau bahkan perguruan tinggi. Dua unit tersebut secara tidak terpisahkan juga bagian dari NU. Data terbaru (2023) yang penulis peroleh dari LP Ma’arif PBNU terdapat 10.177 unit satuan pendidikan di bawah naungan Ma’arif NU. Sementara bila dibandingkan dengan data BPS tahun 2020/2021 jumlah sekolah di Indonesia mencapai 217.283 unit. Artinya bila diprosentase sekolah dalam naungan Ma’arif NU menempati angkat 4% dari sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Angka 4% sebenarnya bukan angka yang kecil sebab masih banyak sekolah-sekolah yang secara kultural berafiliasi ke NU tetapi tidak mendaftar di Ma’arif NU.


Pendidikan yang berkualitas ialah pendidikan yang merata, bermutu, SDM unggul, output lulusannya memiliki daya saing yang tinggi. Harapan saya pada abad kedua ialah kebangkitan pendidikan, selain kebangkitan ekonomi. Sebab ghirah berdirinya NU ialah Nahdlatut Tujar dan Taswirul Afkar. 1 Abad NU telah sukses menggelorakan Nahdlatul Wathan, dan sukses melakukan ekspansi organisasi hingga mendirikan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama atau PCINU hampir di semua negara. Memasuki abad kedua ini Taswirul Afkar menjadi perjuangan yang tak terelakkan, mengingat pemerataan pendidikan juga masih perlu dilakukan. Sementara ini Jawa Timur (83%) menempati angka terbesar pada kelembagaan pendidikan dalam naungan LP Ma’arif NU.


*) Wakil Ketua 1 STAI Taswirul Afkar Surabaya, Wakil Ketua Komite SDI Wahid Hasyim Sekardangan-Sidoarjo, Pengurus Aswaja NU Center PCNU Sidoarjo.


Opini Terbaru