• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Opini

Memaknai Tagline Merawat Jagat Membangun Peradaban

Memaknai Tagline Merawat Jagat Membangun Peradaban
Memaknai Tagline Merawat Jagat Membangun Peradaban. (Foto: LTN PBNU/ Suwitno)
Memaknai Tagline Merawat Jagat Membangun Peradaban. (Foto: LTN PBNU/ Suwitno)

Oleh: Musta'in Romli

 

Resepsi puncak Hari Lahir (Harlah) 1 Abad NU telah usai digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo pada 7 Februari 2023 lalu. Perhelatan akbar ini menandakan NU sudah memasuki abad kedua. Lantas, langkah apa yang akan ditempuh organisasi yang didirikan para ulama-ulama Indonesia yang kini dipimpin KH Miftachul Akhyar sebagai rais aam dan KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya sebagai ketua umum ke depan?


Tagline 'Merawat Jagat Membangun Peradaban' yang diproklamirkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmat 2022-2027 tentu bukan hanya sekadar frasa tanpa makna, akan ada langkah-langkah konkret yang tidak hanya berbicara konsep. Sebagaimana Gus Yahya dalam pidatonya saat puncak 1 Abad NU di Sidoarjo yang sangat energik serta mengandung harapan langkah ke depan NU di jagat raya ini. Ke arah mana kapal besar NU akan dilayarkan?


Berbicara perihal harapan, Erich Fromm dalam salah satu bukunya Revolusi Harapan memaknai dengan sebuah unsur penentu dalam pelbagai upaya dalam membawa perubahan sosial ke arah sifat hidup, kesadaran diri, dan akal yang besar. Tetapi, sifat asal harapan seringkali disalahpahami dan dicampuradukkan dengan sikap-sikap yang tidak ada kaitannya dengan harapan, bahkan faktanya justru bertentangan. Oleh karena itu, sosiolog kelahiran Frankfurt itu memberikan pemahaman bahwa berharap bukan hal-hal yang didasari hasrat atau keinginan, perlu dibedakan antara harapan dan keinginan.


Distingsi antara harapan dan hasrat-keinginan terletak pada sebuah tindakan yang berisikan sebuah kebebasan dari kebosanan abadi; atau –dengan menggunakan istilah teologis– demi keselamatan; atau –dengan menggunakan bahasa politis– demi revolusi; perubahan ke arah yang lebih baik serta mengandung sebuah kemaslatan umat. Tentu tidak dikatakan sebuah harapan jika tidak memiliki kualitas keaktifan dan menunggu sampai harapan itu terjadi –yang faktanya penutup kemunduran diri, sebuah ideologi belaka.


Kesarjanaan Muslim juga memiliki pemaknaan yang senafas dengan Erich Fromm dalam mendefinikasn sebuah harapan, Imam Bujairi dalam salah satu master piecenya Hasyiyah Bujairi menjelaskan, harapan ialah sebuah tindakan –timbul dari dalam hati– yang sesuai dengan langkah-langkah konkret, jika tidak ada langkah konkret itu hanyalah sebuah delusi.


Demikian pula harapan besar NU, jika ‘Membangun Peradaban’ hanya sekadar moto tanpa makna, maka hal itu bukan sebuah harapan melainkan hasrat-keinginan. Ini tugas bersama kaum Nahdliyin, bukan hanya tugas para pemangku kebijakan di PBNU; mulai warga di akar rumput hingga pejabat tinggi negara –yang mengaku NU– yang memiliki pengaruh besar terhadap arah revolusi negara menuju peradaban yang lebih baik.


Ada pemaknaan menarik tentang ‘Merawat Jagat Membangun Peradaban’ dari Gus Muhammad Al-Fayyadl selaku aktivis muda NU. Ia memberikan dua makna, Yaitu membangun peradaban iman dan ilmu. Membangun Peradaban bukan sekadar peradaban bermodal senjata, uang, dan kekuasaan yang menjadi ciri peradaban modern kapitalis. Peradaban iman dan ilmu adalah peradaban akhlak luhur yang selaras dengan pesan kenabian.


Sebagaimana yang disampaikan oleh Moh Roychan Fajar dalam bukunya Menuju Aswaja-Materialis, iman yang dimaksud tidak hanya doktrin ide-ide tentang roh, alam malakut, atau pesan-pesan suci Tuhan yang berkutat dalam pengertian abstraktif-transendental. Lebih dari itu, iman dengan pendekatan teologi materialis, menjemput yang ‘abstrak’ menuju ‘material’, dari ‘transendental’ menuju ‘materialis dunia’.


Beriman terhadap Tuhan bukan hanya membayangkan dzat yang berada di kejauhan, yang berada di puncak ketinggian kerajaan langit. Teologi materialis membayangkan Tuhan adalah dzat yang ‘membumi’, Tuhan yang melebur dengan alam dan ‘memeluk’ kaum tertindas korban ketimpangan atau ketidakadilan.


Dalam pemaknaan ini, seseorang tidak dikatakan beriman jika hanya menjalankan ibadah-ibadah ritual: bersujud di masjid, berzakat, berpuasa, haji ke Baitullah, atau sekedar menghafal sifat-sifat wajib 20, sifat-sifat mustahil 20 dan sifat jaiz bagi Allah. Keberagamaan yang demikian membuat keimanan cenderung tergoda kuat untuk menjadi fanatik bahkan jinak terhadap ketimpangan atau ketidakadilan.


Memaknai ‘Peradaban Ilmu’, pada bagian ini penulis mencoba menginventarisir dari literatur turats, salah satunya Imam as-Syatibi dalam magnum opusnya Al-Muwaafaqot, yang mengatakan bahwa orang yang berilmu harus melahirkan sebuah tindakan yang konkret dan bermanfaat, karena tindakan merupakan ruh dari ilmu. Ilmu tanpa tindakan dianalogikan seperti sesuatu yang telanjang; tanpa ada kemanfaatan, sebagaimana badan tanpa adanya ruh hanya sebagai tumpukan daging dan tulang belulang yang lambat-laun akan lekang oleh waktu.


Penulis pun menarik kesimpulan bahwa ‘Merawat Jagat Membangun Peradaban’ ingin menyikapi secara serius problem-problem kiwari yang ada di negara Indonesia, seperti ketimpangan/ketidakadilan dan krisis iklim.


Namun sekali lagi, jika membangun peradaban yang dimaksud adalah peradaban iman dan ilmu, sebagaimana penjelasan di atas, maka harus ada tindakan konkret untuk membangun peradaban bernilai keimanan. Peradaban yang bernilai keimanan akan benar-benar terbangun bila ketimpangan atau ketidakadilan mampu diberantas oleh para pemangku kebijakan, sekurangnya meminimalisir.


Membangun peradaban iman harus diiringi dengan membangun peradaban ilmu, iman dan ilmu harus berjalan paralel, keduanya tak bisa dipisahkan seperti dua mata koin; satu kesatuan. Peradaban ilmu tersebut hendaknya mewujud dengan tindakan dan menjawab problem termutakhir di negara maritim ini, salah satunya krisis iklim. Oleh karenanya, aparatur yang berstatus Nahdliyin harus mendukung dan mampu merealisasikan visi besar NU untuk membangun peradaban yang lebih baik.


*) Musta'in Romli, pengabdi di Ma'had Aly Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.


Opini Terbaru