• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Milenial Melihat Peradaban Islam dan Modern

Milenial Melihat Peradaban Islam dan Modern
Santri Tebuireng disela-sela kegiatan pondok. Foto: Istimewa
Santri Tebuireng disela-sela kegiatan pondok. Foto: Istimewa

Oleh: Mahyu An-Nafi*)

Pasca runtuhnya Dinasti Ottoman di Turki banyak sejarawan mengatakan bahwa peradaban Islam telah lebur. Turki yang begitu gagah dan hebat, lebih dari 7  abad menguasai peradaban  dunia harus takluk oleh rongrongan-rongrongan kekuatan di bawah tanah. Tak terlihat tapi begitu nyata.


Sebelumnya, kita pula tahu politik Islam diberangus di mana-mana. Upaya-upaya menyudutkan dan men-stigma gerakan Islam agar padam atau mungkin mati vulgar terlihat di segala lini.


Pasca runtuhnya Ottoman, negara-negara Islam seperti tidak memiliki taji. Satu sama lain saling membebaskan, upaya persatuan dan tulus hanya menajadi kata yang belum juga membumi.


Pada akhirnya, setiap saya ketemu aktivis muda dan berdiskusi terkait kondisi umat terkini maka tak sedikit yang skeptis dan peradaban hanya miliki--direbut Barat. Maka Umat Islam pasca bergesernya kekuatan dunia terlena di dua kekuatan: terlalu bangga pada peradaban emas lantas lalai dengan kenyataan sekarang dan ingin menyongsong peradaban baru tapi ingin meninggalkan peradaban dengan sendi Islamnya.


Keduanya, berbenturan sehingga memberi efek psikologis pada aktivis muda. Mereka bingung melihat peradaban di saat yang sama ditekan untuk bangkit meneruskan estafet perjuangan Islam. Ke mana arus yang akan mereka ikuti? Kekuatan yang mana dan dengan siapa mereka bermitra? Siapa musuh dan siapa teman sesungguhnya?


Untuk itu, saya menawarkan dua asumsi yang mudah-mudahan bermanfaat. Kita berharap milenial Islam tidak kehilangan pijakan sehingga tidak latah terhadap peradaban. Di segala zaman mereka tetap survive untuk menyongsong peradaban yang lebih baik, cerah, dan meneduhkan peradaban.


1). Peradaban Islam tidak selalu berpolitik

Di paruh tahun 70-an tulisan Cak Nur menggegerkan jagat pemikiran Nasional terkait "Islam Yes, Partai Islam No" yang dituduh tidak aspiratif dengan pemikiran Islam sehingga menjadi perdebatan panas di tengah arus pemikiran Islam. Pro-kontra pu terjadi. Padahal menurut Kuntowijoyo sendiri apa yang dicetuskan Cak Nur tidak terlalu aneh, justeru mengajak kita untuk terbuka akan tantangan baru.


Sadar atau tidak, saat kita membicarakan peradaban Islam maju atau mundur fokus kita hanya terbatas pada bidang politik-kekuasaan. Berapa tahun berkuasa, berapa negara yang dikuasai dan seperti apa kebijakan politik penguasa bukan fokus pada bidang lain yang ternyata turut membantu bangunnya peradaban Islam, itulah ilmu pengetahuan dan Kebudayaan.


Artikel Cak Nur, begitu kata Kunto, justru mengajak kita untuk menggarap bidang yang kurang menjadi perhatian pembicaraan.


Hal itu dapat kita lihat dari upaya eks-Masyumi yang tidak diberi izin untuk berpolitik praktis di masa Orde baru. Tokoh seperti Natsir mengalih gerakannya pada DDII yang fokus pada gerakan dakwah dan pendidikan Islam. NU-Muhammadiyah justeru  lebih dulu melakukannya. 


Singkatnya, milenial tidak harus rendah diri dengan peradaban sekarang, di bidang politik memang secara luas kita kehilangan kekuatan hampir di seluruh dunia. Istilah khilafah bisa dikatakan "tidak tertarik" dibicarakan kepala negara berbasis Islam, tapi kita jangan lupa peradaban dunia tidak melupakan warisan-warisan pemikiran Islam yang dicetuskan tokoh besarnya.


Barat menghargai ide-ide cemerlang Al-Khawarizmi, Imam Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Rasyid, Ibnu Sina, Ibnu Arabi, Jalaludin Rumi, Muhammad Iqbal dan tokoh lainnya. Artinya, sebagai milenial kita harus tergugah; jangan menutup mata dan harus aktif menyumbangkan pemikiran untuk bangsa juga dunia. Mewarnai dunia dengan nilai-nilai Islam yang terbuka, meneduhkan juga inspiratif.


2). Peradaban itu dinamis

Dewasa ini peradaban Barat telah mengakomodir peradaban dunia. Tidak sedikit kemajuan di pelbagai bidang memudahkan aktivitas manusia meluas ke penjuru dunia. Tidak perlu repot-repot untuk mencari ojek ke luar rumah, cukup buka handphone, buka aplikasi terus klik tombol yang dibutuhkan maka tidak lama ojek telah menunggu tepat di depan rumah. 


Itu hanya salah satu contoh bagaimana peradaban memudahkan kita, betapa penemuan terkini, sisi lain memberi kabar gembira juga menjadi angit pahit bagi sementara Umat Islam yang belum juga move-on atau terbuka pahamnya. Iya itu peradaban, tapi ingat! Itu dari barat! Sampai hari ini adagium barat sebagai biang kerusakan. Lihat Suriah, Irak, Palestina dan negara di Timur Tengah, siapa dalang di balik itu?


Menarik apa yang dikatakan Prof Dr Kuntowijoyo terkait peradaban barat  sekarang, baginya peradaban itu dinamis tidak statis. Dewasa ini Barat memang tengah manahkodai dunia, tetapi jangan lupa, sebelum barat berkuasa politik gereja begitu kuat. Di masa itu peradaban Islam yang berkuasa karena memang Islam fleksibel dan terbuka atas ilmu pengetahuan.


Tetapi kita pun jangan terlalu jumawa, sebelum Islam pun sudah ada peradaban lain, itulah Yunani, Cina dan India. Atas rekomendasi Khalifah Al-Makmun buku filasafat Yunani diterjemahkan ke bahasa Arab dimodifikasi dengan ajaran Islam maka lahirlah Filsafat Islam, ilmu kalam, ekonomi Islam dan lain-lain. Ilmuawn saat itu sadar, ilmu adalah mutiara terpendam maka cari di mana saja adanya.


Dan hari ini, karya Ibnu Sina diterjemahkan pula oleh Barat. Avecenna begitu mereka menyebutnya. Karya Imam Ghazali tentang Filsafat tidak menutup minat mereka, Ibnu Batutah pula dan masih banyak lagi. Kenyataan ini sungguh menggembirakan. Artinya, kalau Barat memegang peradaban sekarang, apa tidak mungkin Islam esok akan menajdi penerusnya?


Jawabnya sangat bisa, hanya saja yang harus diperhatiakan adalah, apa syarat-syarat menuju itu sudah kita pahami dan pegang? Kalau sudah, berbahagilah kita.  Menurut data yang ada pertumbuhan Ummat Islam di Barat makin tinggi selaras dengan ini, bukan tidak mungkin di tahun 2050 Islam akan menjadi agama mayoritas dunia.


Tetapi kita harus pula tersindir oleh hadits nabi yang mengatakan bahwa Umat Islam nanti akan macam buih di lautan. Jumlahnya banyak tapi tergoyang arus ke sana- ke mari. Oleh sebab itu, mari kita menyadari dan sama-sama merekatkan persaudaraan kita. Kita songsong masa depan menuju peradaban Islam yang makin cerah.


*) Penulis adalah pegiat dunia santri


Editor:

Opini Terbaru