Evakuasi Warga Palestina: Antara Kemanusiaan dan Jebakan Geopolitik
Sabtu, 12 April 2025 | 19:00 WIB
Zainal Arifin
Penulis
Pernyataan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang menyatakan kesiapan Indonesia menerima korban luka, anak-anak yatim piatu, serta warga Palestina yang mengalami trauma akibat konflik berkepanjangan di Gaza, telah menyentuh hati banyak orang. Sebuah respons yang tampaknya dilandasi oleh semangat kemanusiaan yang luhur. Namun, dalam lanskap konflik Palestina-Israel yang sarat intrik geopolitik, langkah tersebut perlu ditelaah secara kritis, bukan sekadar sentimentil.
Sebagai negara besar dengan sejarah panjang dalam mendukung perjuangan Palestina, Indonesia dituntut untuk bertindak tidak hanya berdasarkan simpati, tetapi juga strategi yang matang. Apalagi konflik Palestina bukan sekadar perang dua pihak, melainkan penjajahan yang telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade dengan proyek politik dan militer yang terstruktur.
Israel bukan hanya sedang membombardir Gaza. Mereka sedang menjalankan skenario pengosongan wilayah yang sudah lama dirancang. Narasi evakuasi penduduk sipil dari Gaza – apalagi bila ke luar dari Timur Tengah – seolah menjadi solusi kemanusiaan, padahal bisa jadi merupakan bagian dari agenda sistematis pendudukan total wilayah Palestina.
Strategi Pengosongan Gaza dan Proyek Israel Raya
Salah satu indikasi kuat bahwa Israel tengah menjalankan strategi pengosongan wilayah adalah pernyataan para pejabat tinggi mereka yang secara terang-terangan mengatakan bahwa Gaza harus "dibersihkan". Donald Trump dan menantunya Jared Kushner saat masih berada di lingkaran kekuasaan Gedung Putih telah mendorong kebijakan-kebijakan “deal of the century” yang membuka jalan legitimasi aneksasi wilayah Palestina oleh Israel.
Bagi rakyat Palestina, Gaza bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah simbol perlawanan, tanah suci, dan akar sejarah. Mengeluarkan mereka dari sana, apalagi secara permanen, berarti memutus tali sejarah dan mempercepat hilangnya identitas nasional Palestina. Inilah yang justru menjadi tujuan jangka panjang Israel.
Evakuasi massal, walaupun dibalut dengan alasan kemanusiaan, menjadi senjata ampuh untuk merampas tanah Palestina tanpa perlawanan. Ketika rakyatnya tidak lagi berada di wilayah itu, siapa yang akan mempertahankan Gaza dari klaim Israel? Bukankah itulah logika penjajahan?
Dalam konteks ini, kita harus menyadari bahwa keberadaan rakyat Palestina di tanah mereka adalah benteng terakhir dari klaim kedaulatan. Menggeser mereka dari tempatnya berarti membuka jalan legalitas de facto bagi Israel untuk mengklaim tanah itu sebagai bagian dari negaranya.
Kita harus belajar dari sejarah Nakbah 1948, ketika ratusan ribu rakyat Palestina terusir dan hingga kini masih menjadi pengungsi di negeri orang. Tak satu pun di antara mereka yang diizinkan kembali ke tanah kelahirannya. Kini, Gaza terancam mengalami hal serupa dengan cara yang lebih “halus”: evakuasi atas nama simpati.
Baca Juga
Palestina dan Keislaman Kita
Perspektif Islam dan Kehormatan Mempertahankan Tanah Air
Islam memandang bahwa mempertahankan tanah air dari penjajahan adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Para ulama menyepakati bahwa siapa pun yang mempertahankan wilayahnya dari penjajah adalah mujahid, dan jika gugur, ia adalah syahid. Ini bukan slogan. Ini adalah prinsip keimanan yang harus dijaga.
Allah SWT berfirman:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ
Artinya: "Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang tertindas dari kalangan laki-laki, perempuan dan anak-anak..." (QS. An-Nisa: 75)
Ayat ini secara jelas menuntut umat Islam untuk berpihak pada yang tertindas, namun tidak dengan cara mencabut mereka dari tanahnya, melainkan dengan membela mereka agar tetap kokoh di tempatnya.
Rasulullah SAW juga bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُونَ أَرْضِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
Artinya: "Barangsiapa terbunuh karena membela tanahnya, maka dia adalah syahid."
(HR. Abu Dawud)
Itu berarti setiap upaya mempertahankan tanah dari perampasan adalah bagian dari kehormatan yang dilindungi agama. Maka, alih-alih dievakuasi, rakyat Palestina perlu diberi kekuatan untuk bertahan, baik melalui dukungan moral, finansial, militer, maupun diplomatik.
Kemanusiaan yang benar bukan memindahkan korban dari tempatnya, tetapi menguatkan posisinya agar tidak tercerabut. Kita harus bedakan antara bantuan kemanusiaan yang menguatkan, dan bantuan yang secara tidak sadar justru melumpuhkan perjuangan.
Indonesia Harus Tegas, Jangan Terjebak Diplomasi Kosong
Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam diplomasi kosong dan narasi palsu tentang kemanusiaan. Menerima warga Palestina keluar dari negaranya adalah bentuk netralisasi perjuangan. Ini berbeda dengan bantuan medis atau logistik yang diberikan langsung ke Gaza. Salah satu langkah konkret yang benar adalah membangun rumah sakit lapangan di perbatasan Rafah, bukan membawa rakyat Gaza ke negeri yang jauh.
Evakuasi dalam jumlah besar hanya akan memperpanjang status quo dan mempercepat kehancuran Palestina sebagai entitas politik. Dalam jangka panjang, anak-anak yatim piatu itu akan tumbuh tanpa ikatan geografis dan historis terhadap Palestina. Di sinilah kehancuran identitas itu dimulai.
Indonesia harus tetap teguh pada prinsip dasar politik luar negerinya: menolak segala bentuk penjajahan. Bung Karno dengan lantang berkata:
“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”
Prinsip ini bukan sekadar retorika historis, melainkan kompas moral yang seharusnya membimbing arah kebijakan kita hari ini. Jangan sampai karena tekanan internasional atau rayuan diplomasi barat, Indonesia tergelincir menjadi alat penenang dalam proyek besar pendudukan Israel.
Menjadi tuan rumah bagi korban perang terdengar simpatik, tetapi pada konteks ini, kita harus sadar bahwa musuh utama bukanlah penderitaan sipil, melainkan agresi militer Israel yang belum berhenti hingga detik ini. Solusi terbaik adalah menghentikan agresi itu, bukan mengeluarkan korbannya.
Penutup
Tanah Palestina bukan hanya milik rakyat Palestina. Ia adalah milik umat Islam, dan menjadi tanggung jawab kolektif seluruh kaum muslimin. Maka, setiap kebijakan yang menyentuh isu Palestina harus dilihat dari kacamata perjuangan dan pembebasan, bukan sekadar belas kasih.
Evakuasi, walaupun niatnya baik, bisa berubah menjadi senjata pemusnahan kultural dan nasional. Kita harus menolak setiap langkah yang berpotensi mempercepat lenyapnya eksistensi rakyat Palestina dari tanahnya sendiri.
Indonesia seharusnya menjadi benteng diplomatik dan moral bagi Palestina. Bukan bagian dari strategi halus pendudukan. Dan bila niat kemanusiaan ingin diwujudkan, maka lakukanlah dengan menguatkan Palestina di tempatnya, bukan mencabutnya dari akarnya. Wallahu a‘lam bis shawab.
Terpopuler
1
Safari Kepulauan, Ketua Ansor Jatim Sapa Kader di Sapeken dan Kangean
2
Bupati Lukman Hakim Ditetapkan Sebagai Kasatkorcab Banser Bangkalan
3
Bot Farm: Penyesat Opini di Media Sosial
4
Dalil Kesunahan Selamatan Pulang Haji, Tak Sekadar Tradisi Lokal
5
Kesan Jamaah Haji KBIHU MWCNU Singosari Jalani Ibadah di Tanah Suci
6
Retreat Organisasi: GP Ansor Pacitan Dorong Adaptasi Aturan Baru dan Regenerasi
Terkini
Lihat Semua