Oleh: Iswahyudi *)
Baru saja, warga Nahdlatul Ulama (NU) memperingati Hari Lahir (Harlah) yang ke-102. Di usia yang tak lagi muda dalam hitungan umur manusia, apa yang bisa kita refleksikan untuk kehidupan mendatang? Tidak saja bagi warga NU, tetapi juga organisasi NU. Refleksi dan semangat aksi adalah kebiasaan dari suatu hari ulang tahun atau hari lahir. Bagi warga NU, refleksi dan semangat aksi adalah bagian dari semangat gerakan menuju arah kemajuan.
Sebagaimana makna dari kata “nahdloh” yaitu bangkit menuju ke arah kemajuan (nahwa al-taqaddum), warga NU bisa melakukan refleksi tentang gerakan apa yang dilakukan untuk menjadi “penggerak” kehidupan sosial keagamaan yang lebih baik. Kontribusi-kontribusi positif dalam kehidupan sosial keagamaan warga NU, tidak saja akan memperkuat basis-basis kultural warga NU, tetapi akan mempermudah jaringan organisasi yang dijalankan. Basis-basis kultural yang kuat berkorelasi massif dengan kekuatan organisasi yang didukungnya.
Salah satu alasan kenapa NU memiliki basis massa yang besar di Indonesia adalah karena NU memiliki “penggerak” dengan jumlah yang tidak sedikit. Di antara karakter penggerak adalah semangat perjuangan tanpa kenal lelah. Para penggerak tersebut terdiri dari para pengajar ngaji di langgar, mushala, masjid, madrasah diniyah, dan lain-lain. Mereka menggerakkan anak-anak hingga orang tua baik di bidang agama maupun kehidupan sosial.
Di ranah sosial, gerakan mereka termasuk dalam jenis social cultural movement (gerakan sosial kultural), yaitu suatu gerakan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Gerakan mereka adalah gerakan konsisten jangka panjang. Hasil dari gerakan ini tidak cepat, butuh beberapa tahun untuk mendapatkan hasil.
Anak-anak hasil dari gerakan mereka kemudian pergi belajar di luar daerah yang lebih maju atau ke kota dengan bingkai lembaga pendidikan yang sesuai dengan alur kognisi yang telah diterima. Para anak-anak ini kemudian berkumpul bersama komunitas yang sama dalam kognisi yang sama. Di kemudian hari, anak-anak ini akan menjadi penggerak pula. Begitulah gerakan sirkular ini berjalan.
Karakter lain dari penggerak adalah motivasi gerakan yang dilakukan yaitu untuk kebaikan umat. Dalam bahasa yang lebih bernilai sufistik, gerakan mereka adalah ikhlas, murni untuk mencari ridha Allah SWT. Mereka tidak memperhitungkan masalah materi atau imbalan material. Ketika ada penggerak lain yang bergerak dalam wilayah yang sama, akan dianggap bukan sebagai saingan atau kompetitor, tetapi dianggap sebagai bentuk kolaborasi produktif. Mereka saling mendukung.
Karakter ikhlas ini berkorelasi dengan karakter pertama di atas, yaitu perjuangan tanpa lelah. Ikhlas dan istiqomah (konsisten, tanpa lelah) saling terkait. Mudah putus asa dalam gerakan biasanya disebabkan oleh adanya harapan imbalan yang tidak diterima, baik dari sisi imbalan material seperti gaji dan bayaran, maupun dari sisi imbalan rekognisi seperti pujian dan sanjungan orang lain. Inilah yang bisa menjelaskan kenapa ketika seseorang menjadi pengurus semangat perjuangannya tinggi, namun setelah tidak menjadi pengurus, perjuangan itu hilang.
Karakter lain dari penggerak adalah fleksibel dalam gerakan. Mereka lebih mementingkan ghayah (tujuan) serta tidak terlalu kaku dengan wasilah (perantara untuk mendapatkan ghoyah). Inilah alasan kenapa warga NU bisa menerima budaya lokal. Budaya lokal dimodifikasi dengan model baru yang lebih sesuai dengan ajaran agama. Budaya lokal adalah pintu masuk yang paling efektif untuk suatu ghoyah.
Inilah alasan yang bisa menjelaskan kenapa para Walisongo menggunakan berbagai wasilah dalam penyebaran Islam di nusantara seperti gending, wayang dan ritual-ritual lingkaran hidup (metu, manten, mati; lahir, pengantin dan mati). Tradisi lokal tersebut dimodifikasi agar sesuai dengan akidah Islam.
Sikap fleksibel yang dilakukan bukan tidak berdasar. Mereka mengetahui bahwa akidah adalah wilayah hati dan tindakan faktual (dzahir) adalah wilayah perbuatan (fikih). Wilayah hati dijaga sesuai kaidah ilmu tauhid, sementara bidang fikih dipayungi oleh kaidah fikih. Inilah sebabnya warga NU selalu memiliki referensi dalam gerakan yang dilakukan termasuk dalam wasilah tersebut.
Karakter penggerak tersebut sejatinya adalah karakter ulama. Kata “ulama” yang menjadi mudhaf ilaih dari kata nahdlah (Nahdlatul Ulama) sesungguhnya memiliki makna yang dalam. Lihat saja surah al-Fatir ayat 28 menjelaskan bahwa yang takut kepada Allah SWT adalah ulama. Ulama adalah pribadi-pribadi yang hanya menyandarkan setiap gerakan dan perbuatannya untuk Allah SWT (ikhlas). Mereka sadar bahwa pribadi yang bertakwa (takut) akan diberi jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapi dan akan diberi kecukupan rizki (surah al-Thalaq ayat 2-3). Inilah yang menyebabkan konsistensi dalam perjuangan bisa dilakukan.
Kata “ulama” adalah bentuk plural (jama’). Dalam ilmu Nahwu, kata ulama adalah jama’ taksir yaitu suatu bentuk plural yang bisa mengubah dari bentuk tunggalnya (mufrad). Jama’ taksir bisa berkurang huruf mufradnya juga bisa bertambah. Misalnya kata kitaabun (terdiri dari empat huruf), berkurang menjadi kutubun (tiga huruf). Sedangkan kata ulama (terdiri dari 5 huruf) berasal dari alimun (empat huruf).
Dari sisi bahasa, kata ulama adalah refleksi dari karakter yang fleksibel, dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, tidak kaku. Ketika para penggerak NU, di desa-desa dengan tradisi lokal yang sangat kental, mereka mampu menyesuaikan diri. Secara perlahan social cultural movement dapat diperankan dengan baik oleh mereka.
Di sisi lain, jama’ taksir dari “ulama” mengikuti wazan atau timbangan fu’ala’u yaitu suatu wazan yang menunjukkan jama’ taksir katsrah, suatu jama’ yang jumlahnya antara tiga sampai hitungan yang tidak ada batasnya. Kata “ulama” menandakan adanya banyak hal, seperti banyak ilmunya sehingga bisa fleksibel, banyak anggotanya, banyak keahlian di dalamnya dan banyak peran-peran sosialnya.
Jama’ taksir katsrah ini memberi isyarat bahwa jika warga NU secara kultural yang banyak tersebut diorganisir dengan organisasi yang kuat pula, maka peran-peran NU dalam kancah nasional dan internasional (dunia) akan dapat dilakukan dengan mudah dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam hal agama, ekonomi, sosial, politik, budaya, dan keamanan.
*) Iswahyudi, Wakil Ketua PCNU Ponorogo, Jawa Timur.
Terpopuler
1
Inilah Beragam Keutamaan Ibadah Haji
2
Silaturahim LP Ma’arif NU dan Pergunu Jatim Bentuk Kerja Sama Strategis
3
Musyawarah Bulanan LBMNU di Lamongan Ulas Fikih Kurban Jelang Idul Adha
4
Diklatsar Banser Gabungan di Bangkalan Perkuat Kebersamaan dengan Rakyat
5
Perkuat Tata Kelola, LAZISNU di Jember Gelar Madrasah Amil
6
Prof Masdar Hilmy Apresiasi Peluncuran Ma’arif Smart School di Malang
Terkini
Lihat Semua