• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 27 April 2025

Opini

Inilah Argumentasi Perayaan Malam Nuzulul Qur’an

Inilah Argumentasi Perayaan Malam Nuzulul Qur’an
Al-Quran (Foto:NOJ/nuonline)
Al-Quran (Foto:NOJ/nuonline)

Oleh: Ma'sum Ahlul Khoir* 
 

Malam Nuzulul Qur’an merupakan salah satu momentum penting bagi umat Islam yang diperingati untuk mengenang turunnya Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Tradisi perayaan ini telah mengakar kuat dalam banyak masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, sebagai sarana refleksi, penguatan iman, dan ajang mempererat ukhuwah Islamiyah. Namun, sebagian kelompok, khususnya yang berafiliasi dengan pemikiran Wahabi, menentang perayaan ini dengan alasan tidak ada dalil eksplisit yang menganjurkannya.
 

Penentangan ini salah satunya bisa kita temukan pada pernyataan Muhammad Bin Ibrahim Bin Abd Latif Alusyaikh salah seorang ulama yang memiliki hubungan keluarga dengan Syekh Muhammad Bin Abd Wahab
 

أما " البحث الثاني " هو جواز اتخاذ يوم نزول القرآن عيدا يتكرر بتكرر الأعوام فهذا ـ وإن كان قصد صاحبه حسناً ـ إلا أنه لما لم يكن مشروعاً، ولم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أحد من خلفائه الراشدين وسائر صحابته والتابعين لهم بإحسان ولا عن أحد من الأئمة الأربعة ـ مالك وأبي حنيفة والشافعي، وأحمد بن حنبل ـ ولا عن غيرهم من الأئمة المقتدى بهم سلفاً وخلفاً فلما لم يكن مشروعاً ولا ورد عن أحد ممن ذكر تعين التنبيه على أن مثل هذا لا يجوز شرعاً، لأنه لا أصل له في الدين، ولم يكن من عمل المسلمين
 

Artinya: Adapun "pembahasan kedua" adalah mengenai kebolehan menjadikan hari turunnya Al-Qur’an sebagai hari raya yang diperingati setiap tahun. Maka hal ini meskipun maksud pelakunya baik tetap saja, karena tidak disyariatkan, tidak pernah diriwayatkan dari Nabi ﷺ, tidak pula dari salah satu khalifahnya yang empat yang mendapat petunjuk, para sahabatnya, para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, tidak juga dari salah satu dari imam empat mazhab yaitu Imam Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal ataupun dari imam-imam lain yang dijadikan panutan baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Karena hal tersebut tidak disyariatkan dan tidak ada riwayat dari siapapun yang telah disebutkan, maka perlu ditegaskan bahwa perbuatan semacam ini tidak diperbolehkan secara syariat, karena tidak memiliki dasar dalam agama dan bukan merupakan amalan umat Islam terdahulu.  
 

 

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa golongan Wahabi menolak pelaksanaan perayaan pada malam Nuzulul Qur’an dengan alasan ketiadaan dasar yang eksplisit dalam ajaran Islam yang menganjurkan bentuk perayaan semacam itu. Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa segala bentuk ibadah atau perayaan keagamaan harus memiliki landasan yang jelas dalam syariat.
 

Oleh karena itu, pelaksanaan perayaan yang tidak didukung oleh dalil khusus dipandang sebagai tindakan yang tidak diperbolehkan, karena dianggap sebagai bentuk pengada-adaan dalam agama (bid’ah) yang tidak memiliki legitimasi dari sumber-sumber hukum Islam yang otoritatif.
 

Kesalahan berpikir dalam memberikan fatwa seperti yang disebutkan di atas bukanlah hal baru dalam tradisi kaum Wahabi. Fenomena ini telah berulang kali terjadi, dengan akar permasalahan yang sama: ketergesaan dalam memutuskan suatu fatwa tanpa mempertimbangkan gambaran kasus secara menyeluruh. Ketergesa-gesaan ini sering kali mengabaikan konteks sosial dan realitas di lapangan, sehingga menghasilkan keputusan yang kurang bijak.
 

Pada kenyataannya, masyarakat yang merayakan malam Nuzulul Qur’an tidak pernah meyakini bahwa perayaan tersebut merupakan ibadah khusus seperti halnya salat Duha, Tahajud, atau ibadah-ibadah mahdhah lainnya.
 

Perayaan ini lebih dipahami sebagai bagian dari tradisi yang bertujuan mengekspresikan rasa syukur atas turunnya Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Melalui kegiatan ini, masyarakat berupaya mempererat tali ukhuwah, memperkuat keimanan, dan merenungkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci. Oleh karena itu, menilai perayaan ini sebagai bid’ah tanpa melihat tujuan dan praktiknya secara utuh merupakan bentuk penyederhanaan yang keliru dalam beragama.  
 

 

Perayaan yang dilakukan pada malam itu semata-mata untuk menampakann rasa Syukur atas diturunkannya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW dan hal ini memiliki anjuran dalam syariat, sebagaimana firman Allah dalam QS Yunus: 58
 

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58)
 

Artinya: Katakanlah (Muhammad), "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan." (QS. Yūnus: 58)
 

Ayat di atas menganjurkan umat Islam untuk berbahagia dan menampakkan rasa syukur atas karunia serta rahmat yang telah Allah berikan. Dalam tafsirnya, Al-Hafiz Ibn Jarir ath-Thabari menafsirkan kata rahmat dalam ayat tersebut sebagai Al-Qur'an.
 

Dengan demikian, kebahagiaan dan ungkapan syukur atas turunnya Al-Qur'an, khususnya pada malam Nuzulul Qur’an, memiliki dasar dalam Al-Qur'an itu sendiri. Perayaan yang biasa dilakukan umat Islam pada malam 17 Ramadhan sebagai bentuk penghormatan terhadap Nuzulul Qur’an dapat dianggap sebagai bentuk pengamalan dari anjuran dalam ayat tersebut.
 

Hal ini sekaligus membantah klaim sebagian kelompok, seperti kaum Wahabi, yang menyatakan bahwa tidak ada satu pun dalil syar'i yang menganjurkan perayaan malam tersebut. Justru, dengan memahami makna ayat ini dalam konteks tafsir ulama klasik, perayaan tersebut memiliki legitimasi dalam Islam sebagai ekspresi syukur atas turunnya petunjuk Allah kepada umat manusia.
 

Di sisi lain, para sahabat Nabi Muhammad ﷺ juga mengajarkan pentingnya menampakkan rasa syukur atas segala nikmat yang Allah berikan. Mereka sering duduk bersama, berdoa, dan memuji Allah sebagai wujud syukur atas petunjuk-Nya serta karunia besar yang diberikan melalui Rasulullah ﷺ.
 

Kebiasaan mulia ini terekam dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i berikut ini:
 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ يَعْنِي مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ: «مَا أَجْلَسَكُمْ؟» قَالُوا: جَلَسْنَا نَدْعُو اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِدِينِهِ، وَمَنَّ عَلَيْنَا بِكَ، قَالَ: «آللَّهُ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَلِكَ؟» قَالُوا: آللَّهُ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَلِكَ، قَالَ: «أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهَمَةً لَكُمْ، وَإِنَّمَا أَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمُ الْمَلَائِكَةَ»
 

Artinya: Dari Abu Sa'id Al-Khudri, ia berkata: Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu berkata:
"Rasulullah ﷺ mendatangi sebuah kelompok (lingkaran) dari para sahabatnya, lalu beliau bersabda, 'Apa yang membuat kalian duduk di sini?' Mereka menjawab, 'Kami duduk untuk berdoa kepada Allah dan memuji-Nya atas hidayah-Nya yang telah menunjuki kami kepada agama-Nya, serta atas karunia-Nya yang telah menganugerahkan engkau kepada kami.' Beliau bertanya, 'Demi Allah, apakah hanya karena itu kalian duduk di sini?' Mereka menjawab, 'Demi Allah, tidak ada yang membuat kami duduk di sini selain itu.' Beliau bersabda, 'Ketahuilah, aku tidak bersumpah kepada kalian karena curiga kepada kalian. Akan tetapi, Jibril 'alaihissalam telah datang kepadaku dan memberitahukan bahwa Allah 'azza wa jalla membanggakan kalian di hadapan para malaikat-Nya.'"  

 

Jika kita melakukan analisis mendalam terhadap hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan ibadah yang belum pernah secara eksplisit diajarkan oleh Rasulullah ﷺ tetap diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang telah ada dalam syariat.
 

Kesimpulan ini didasarkan pada peristiwa yang disebutkan dalam hadis tersebut, di mana para sahabat duduk bersama, berdzikir, dan memuji Allah sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat-Nya. Amalan tersebut tidak pernah secara khusus diperintahkan atau dicontohkan sebelumnya oleh Rasulullah ﷺ. Namun, ketika para sahabat melakukannya, Rasulullah ﷺ tidak hanya tidak melarang, tetapi justru menegaskan keikhlasan niat mereka dan mengabarkan bahwa Allah ﷻ membanggakan perbuatan mereka di hadapan para malaikat.
 

Hal ini menunjukkan bahwa amalan baru dalam ibadah, selama memiliki tujuan yang syar’i, dilandasi niat yang benar, serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, dapat diterima dan mendapatkan pujian di sisi Allah.  Hal ini sesuai dengan prinsip yang di tekankan Imam Al-Ghazzali dalam kitabnya 
 

قال الإمام الغزالي رحمه الله تعالى في كتاب آداب الأكل من «الإحياء»: ليس كل ما بعد الرسول ﷺ منهياً عنه، بل المنهي عنه بدعة تُضاد السنة الثابتة، وترفع أمراً من الشرع مع بقاء علته ، بل الابتداع قد يَجِبُ في بعض الأحوال إذا تغيرت الأسباب». اهـ.
 

Artinya: "Tidak setiap hal yang muncul setelah Rasulullah ﷺ itu dilarang. Yang terlarang adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunnah yang telah tetap (tsabit) dan menghilangkan suatu ketentuan syariat sementara sebabnya masih ada. Bahkan, dalam beberapa keadaan, melakukan sesuatu yang baru (ibtida’) bisa menjadi wajib jika faktor-faktornya berubah." 
 

Selain hadis di atas, juga ada hadis lain yang menganjurkan kita untuk mengekspresikan rasa syukur kita atas nikmat yang telah allah berikan, hadis tersebut bisa kita temukan dalam riwayat yang disampaikan Imam Bukhari
 

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَارِثِ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
 

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka beliau bertanya, "Apa ini?" Mereka menjawab, "Ini adalah hari yang baik. Pada hari ini, Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, sehingga Musa berpuasa pada hari ini." Maka Nabi ﷺ bersabda, "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian." Lalu beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari itu.  
 

Hadis di atas mengisahkan interaksi antara Rasulullah ﷺ dan sekelompok orang Yahudi yang merayakan hari Asyura. Mereka beralasan bahwa pada hari tersebut, Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka, sehingga peristiwa tersebut diperingati setiap tahun sebagai bentuk syukur.
 

Menanggapi hal ini, Rasulullah ﷺ tidak menentang perayaan mereka, tetapi justru menegaskan, "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian." Sebagai bentuk keteladanan, beliau turut berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama.
 

Menanggapi kejadian ini Al-Hafiz Ibn Hajar memberikan komentarnya bahwa Hadis ini mengajarkan bahwa bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan atau musibah yang dihindarkan pada hari tertentu merupakan sesuatu yang dianjurkan. Rasa syukur tersebut dapat diperingati setiap tahun pada hari yang sama sebagai bentuk pengingat akan karunia-Nya. Ekspresi syukur ini dapat diwujudkan melalui berbagai ibadah, seperti sujud, berpuasa, bersedekah, serta membaca Al-Qur'an.  
 

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peringatan malam Nuzulul Qur'an yang biasanya dilaksanakan pada malam 17 Ramadan memiliki landasan yang sah dalam ajaran Islam, baik dalam Al-Qur'an maupun Hadis Nabi.
 

Hal ini karena perayaan tersebut merupakan bentuk manifestasi rasa syukur atas anugerah besar berupa diturunkannya Al-Qur'an, yang menjadi petunjuk bagi umat manusia. Selain itu, praktik semacam ini memiliki dasar yang kuat dalam syariat, karena bersyukur atas nikmat Allah merupakan ajaran yang dianjurkan dalam Islam.
 

Kalangan Wahabi dalam berfatwa kerap berpegang pada argumen bahwa segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dianggap terlarang untuk dikerjakan. Pola berpikir semacam ini mencerminkan kekeliruan logika yang mendasar, karena tidak semua yang tidak dilakukan oleh Rasulullah secara otomatis menjadi hal yang dilarang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sayyid Abdullah Al-Ghumari berikut
 

التَّرْكُ وَحْدَهُ إِنْ لَمْ يَصْحَبْهُ نَصٌّ عَلَى أَنَّ الْمَتْرُوكَ مَحْظُورٌ لَا يَكُونُ حُجَّةً فِي ذَلِكَ، بَلْ غَايَةُ أَنْ يُفِيدَ أَنَّ تَرْكَ ذَلِكَ الْفِعْلِ مَشْرُوعٌ
 

Artinya: “Meninggalkannya (nabi) saja atas suatu perbuatan, jika tidak disertai dengan dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan yang ditinggalkan itu terlarang, tidak dapat dijadikan hujah dalam hal tersebut. Sebaliknya, hal itu hanya menunjukkan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut diperbolehkan.  
 

Dari pernyataan Sayyid Abdullah Al-Ghumari di atas bisa kita ambil Kesimpulan bahwa Meninggalkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi tidak secara otomatis menunjukkan bahwa perbuatan tersebut terlarang. Tanpa adanya dalil yang jelas melarangnya, sikap Nabi yang tidak melakukan suatu amalan hanya menunjukkan bahwa amalan tersebut bersifat mubah (boleh), bukan haram. Dengan kata lain, ketiadaan tindakan bukanlah dalil larangan kecuali ada penegasan syariat yang melarangnya.
 

*Ma'had Aly Tebuireng


Opini Terbaru