• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Korupsi, Buah Sistem Pendidikan yang Tidak Jujur

Korupsi, Buah Sistem Pendidikan yang Tidak Jujur
Tanpa perbaikan sistem pendidikan, tindakan korupsi tidak mungkin hilang. (Foto: NOJ)
Tanpa perbaikan sistem pendidikan, tindakan korupsi tidak mungkin hilang. (Foto: NOJ)

Kita baru saja memperingati hari anti korupsi pada 9 Desember 2020. Akan tetapi, sepertinya kasus korupsi di Indonesia tetap akan tetap terulang lagi dan entah sampai kapan akan terus terjadi. Bahkan saat bangsa ini menderita menghadapi hantaman pandemi, korupsi malah menjadi-jadi. Yang masih segar adalah kasus ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan kasus dana bantuan sosial (Bansos) di kementerian sosial.

 

Kedua kasus tersebut menjadi hantaman besar bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Di saat semua elemen bangsa terseok-seok menghadapi pandemi, ada sekelompok orang yang memanfaatkan keadaan untuk melakukan korupsi. Sebetulnya kita tidak perlu kaget dan teriak-teriak, karena kalau mau jujur dan membuka mata, akan melihat bahwa perilaku koruptif banyak dijumpai di sekitar kita.

 

Korupsi adalah kejahatan yang hampir ditemukan di semua tingkat, mulai dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Tidak hanya itu, korupsi juga bisa terjadi pada lembaga atau perusahaan swasta. Praktik korupsi seakan telah mendarah daging di tengah masyarakat kita, menjadi kultur yang secara diam-diam diamini dan mendapatkan pembenaran dari masyarakat. Bahkan koruptif itu akan kita temukan di lembaga pendidikan.

 

Dimulai dari Pendidikan

Jika kita mau melihat secara lebih dekat potret lembaga pendidikan saat ini, bisa jadi kita akan tercenung. Karena di dalam lingkungan pendidikan itu sendiri akan melihat banyak praktik ketidakjujuran. Bukankah ketidakjujuran itu awal dari praktik korupsi?

 

Perilaku tidak jujur di lingkungan lembaga pendidikan bisa ditemukan pada diri siswa/mahasiswa, guru/dosen, bahkan lembaga pendidikan itu sendiri. Contoh kecilnya adalah masalah ujian dan nilai. Bagi orang yang bekerja di lembaga pendidikan pasti tahu bahwa sistem penilaian telah ditentukan oleh pemerintah dengan memberikan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebagai contoh jika KKM sebuah mata pelajaran adalah 75, maka seorang guru tidak boleh memberikan nilai di bawah angka itu karena itu artinya siswa tersebut tidak lulus. Oleh karena itu jika seorang siswa memiliki nilai di bawah KKM, maka guru akan melakukan remidi atau pengayaan agar bisa mengatrol nilai yang bersangkutan.

 

Tetapi pada kenyataannya remidi atau pengayaan itu tidak dilakukan secara sungguh-sungguh atau sekadar formalitas belaka, sehingga nilai yang didapatkan seorang siswa biasanya lebih tinggi dari kemampuan yang sesungguhnya. Bukankah ini juga termasuk praktik ketidakjujuran?

 

Tetapi kita juga tidak bisa serta merta menyalahkan guru, karena di sisi lain terikat dengan aturan dan sistem yang ada. Bukan hanya sistem KKM, biasanya seorang guru juga memikirkan masa depan para siswanya. Ketika memberikan nilai yang kurang, siswa tersebut tidak akan bisa bersaing ketika seleksi masuk perguruan tinggi khususnya jalur Seleksi Nasioanl Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), karena kenyatannnya hampir di semua sekolah memberikan nilai yang sangat baik bahkan mendekati sempurna.

 

Himpitan sistem dan lingkungan inilah yang memaksa seorang guru melakukan tindakan yang tidak jujur. Lebih dari itu, nilai siswa juga merupakan kehormatan bagi sekolah. Demi menjaga kehormatan dan nama baik lembaga pendidikan, nilai tersebut juga harus baik. Dalam ruang lingkup yang lebih besar, sekolah juga tidak mau dipersalahkan, karena juga dihimpit aturan sistem akreditasi yang ketat dan rumit. Untuk mendapatkan nilai akreditasi yang baik, sebuah lembaga harus memiliki laporan administrasi yang baik pula walaupun itu juga hasil rekayasa.

 

Sebuah lembaga rela melakukan manipulasi data demi akreditasi yang baik, karena dengan akreditasi yang baik akan membuka kesempatan yang lebih luas bagi para siswanya untuk masuk perguruan tinggi negeri. Untuk kepentingan siswa itulah, sebuah lembaga pendidikan akhirnya melakukan tindakan manipulasi.

 

Semua ketidakjujuran itu menjadi semacam lingkaran setan yang tidak ada ujungnya. Siswa mendapatkan tekanan dan aturan ketat dari guru agar mendapat nilai yang baik, untuk memenuhi target itu memilih perbuatan tidak jujur dengan berbagai cara. Guru mendapatkan tekanan dari lembaga, sistem, aturan, bahkan lingkungan, untuk mengikuti semua autran dan sistem itu juga akhirnya melakukan tindakan tidak jujur. Lembaga pendidikan juga mendapatkan tekanan dari aturan dan sistem dari pemerintah pusat, yang juga melahirkan tindakan manipulasi.

 

Artinya semua tindakan ketidakjujuran itu berawal dari tekanan sistem yang telah dibangun. Sistem itu bisa sistem aturan atau sistem kultur sosial yang telah diamini secara bersama. Kita bisa bayangkan di tengah sistem pendidikan yang seperti itu, apakah mungkin akan melahirkan generasi bangsa yang jujur dan memiliki integritas?

 

Pendidikan adalah pondasi utama membangun karakter generasi muda. Perang melawan korupsi itu dimulai di dunia pendidikan. Jika di medan perang ini kalah melawan sikap koruptif yang membelenggu, kita tidak akan mampu melawan kejahatan korupsi yang labih besar lagi. Biarpun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap para pejabat yang melakukan korupsi, akan muncul kembali para koruptor baru. Hal ini karena akar masalahnya belum tersentuh.

 

Perlu Dukungan

Kasus korupsi itu hanyalah buah dari sistem pendidikan yang tidak jujur, yang membiarkan dan bahkan membenarkan tindakan manipulasi. Ketidakjujuran telah menjadi kultur yang melekat dan sulit dihilangkan. Untuk itu membenahi sistem pendidikan adalah langkah awal yang harus diambil untuk memulai memberantas korupsi. 

 

Tentu pendidikan bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi sebab terjadinya korupsi, tapi ada banyak faktor lain seperti kepentingan politik, ekonomi, dan bahkan hukum. Tetapi yang perlu penulis tekankan adalah bahwa pendidikan merupakan pondasi karakter generasi masa depan. Jika pendidikan mampu melahirkan generasi dengan karakter yang kuat, memiliki integritas, menjunjung tinggi sikap sejujuran dan tanggung jawab, maka akan mampu beradaptasi dengan berbagai macam lingkungan yang tidak baik. Dengan generasi yang baik, kita akan mampu memutus mata rantai tindak pidana korupsi yang sudah terlajur sistemik.

 

Tetapi lembaga pendidikan juga membutuhkan dukungan dari berbagai sektor pemangku kepentingan, terutama masyarakat. Korupsi adalah kejahatan yang bersifat sistematis, yang untuk melawannya juga harus menggunakan pendekatan sistematis. Sistem pendidikan adalah obyek pertama yang perlu segera dibenahi karena yang sudah ada memberikan ruang untuk korupsi tetap berkembang. Tanpa perbaikan sistem pendidikan, rasanya tidak mungkin korupsi akan hilang dari bumi Indonesia.

 

Ustadz Mustaufikin, alumnus pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, kini mengajar di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.


Editor:

Opini Terbaru