• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Opini

Menelusuri Masa Khidmat Hasan Gipo sebagai Ketua Umum Pertama PBNU

Menelusuri Masa Khidmat Hasan Gipo sebagai Ketua Umum Pertama PBNU
Di antara data yang menunjukkan bahwa Hasan Gipo merupakan Ketum PBNU pertama. (Foto: NOJ/Istimewa)
Di antara data yang menunjukkan bahwa Hasan Gipo merupakan Ketum PBNU pertama. (Foto: NOJ/Istimewa)

Nama Haji Hasan Gipo sebagai Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sudah tidak diragukan lagi. Setidaknya sejak muktamar pertama (1926), nama Hasan Gipo telah ditetapkan sebagai Presiden Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama – istilah pada masa itu. Namun, sampai kapankah jabatan tersebut diembannya?

 

Ensiklopedia Nahdlatul Ulama yang dirilis oleh PBNU pada 2014 memberikan jawaban tersebut. Sebagaimana dimuat pada jilid dua dalam entri Hasan Gipo (halaman 80), tertulis demikian:

 

'Hasan Gipo menjadi Ketua Tanfidziyah selama 3 tahun. Pada Muktamar ke-3 [yang benar muktamar ke-4, pen] tahun 1929 di Semarang, ia digantikan oleh K.H. Noor.'

 

Jawaban yang hampir serupa juga bisa dibaca dalam buku Nakhoda Nahdliyyin yang ditulis oleh M Solahudin. Terbit pada 2013. Pada halaman 154-155 tertulis demikian:

 

'Muktamar NU keempat yang diselenggarakan di Semarang pada 12-15 Rabiul Akhir 1348 H/ 17-20 September 1929 M… Posisi H Hasan Gipo sebagai Ketua Umum PBNU (Presiden Tanfidziyah HBNO) digantikan oleh KH Achmad Noor dari Sawahpulo, Surabaya.'

 

Tak ada catatan kaki dari mana informasi tersebut dikutip. Akan tetapi, jika merujuk pada daftar pustaka, tampaknya mengutip dari Choirul Anam dalam bukunya; ‘Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama' (1985) dan ‘Antologi Nahdlatul Ulama' (2007) yang disusun oleh H Soeleman Fadeli dan Mohammad Subhan.

 

Pada Antologi Nahdlatul Ulama terdapat entri ‘tanfidziyah’ (halaman 102-103) yang menyebutkan masa khidmat kepemimpinan Haji Hasan Gipo berlangsung pada 1926 – 1929. Kemudian disusul oleh KH Achmad Noor yang memimpin sedari 1929 – 1936. Keterangan singkat ini, kemungkinan oleh Solahudin diramu dengan keterangan yang terdapat di buku Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Pada buku yang terakhir ini, memang diulas cukup detail mengenai Muktamar ke-4 NU di Semarang tersebut. Ulasan yang juga dikutip oleh Solahudin. Sayangnya, dalam ulasan yang ditulis oleh Choirul Anam itu, tak menyebut adanya pergantian Presiden HBNO.

 

Dalam buku tersebut, Choirul Anam menulis tentang pergantian Presiden HBNO dari Haji Hasan Gipo ke KH Achmad Noor justru pada catatan kaki nomor 116. Catatan kaki ini menjelaskan tentang sosok KH Mahfudz Siddiq yang dinilai sebagai tokoh muda yang menonjol pada Muktamar IX NU di Banyuwangi (1934). Dalam catatan kaki tersebut, Choirul Anam menulis demikian:

 

Muktamar kesembilan di Banyuwangi, Mahfudz tampil sebagai orang kedua Tanfidziyah (Ketua Tanfidziyahnya KH. M. Noer Sawahpulo-Surabaya).’

 

Sayangnya, catatan kaki tersebut tak memberikan rujukan dari mana asal informasi tersebut. Akan tetapi, dari catatan kaki ini, memberikan pemahaman yang lain dibandingkan sumber-sumber di atas yang telah diuraikan. Dari catatan kaki ini bisa dipahami jika pergantian dari Hasan Gipo ke KH Noer terjadi setidaknya pada Muktamar ke-9 (1934), tidak ke-4 (1929) sebagaimana di atas.

 

Pandangan ini diperkuat pula dalam buku yang disusun oleh Aboebakar Atjeh, ‘Sedjarah Hidup KHA Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar' (1957). Dalam buku ini, Aboebakar menguraikan tentang NU dari kongres (muktamar) ke kongres. Pada saat menjelaskan Muktamar ke-9 di Banyuwangi (1934), ia menulis:

 

‘Bahagian Sjurijjah tidak banjak mengalami perobahan, begitu djuga mengenai susunan Pengurus Besar: H. Hasan Gipo diganti oleh K.H. Nur dan K.H. Mahfud Siddiq diperbantukan sebagai wakil presidenn P.B.N.U….'.

 

Meski demikian, buku yang telah menjadi klasik ini, tak menyertakan tentang rujukan yang dipergunakannya. Besar kemungkinan, ia merujuk dari ‘Siaran-Siaran NU’ sebagaimana yang termuat di daftar bahan bacaan buku tersebut. Adapun yang dimaksud siaran-siaran NU itu, tak lain adalah sejumlah majalah yang diterbitkan NU, seperti Swara Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama dan Berita Nahdlatoel Oelama. Nama-nama tersebut adalah sederet terbitan pada dua dekade pertama NU berdiri.

 

Celakanya, siaran-siaran NU di masa-masa awal itu, tak terdokumentasi dengan baik. Sejauh ini, masih belum ada edisi lengkap yang dapat diakses atas majalah-majalah tersebut. Di Perpustakaan PBNU dan Perpustakaan nasional yang menyimpan majalah-majalah itu, juga tidak lengkap. Sehingga sulit sekali untuk memastikan satu per satu dari edisi ke edisi untuk menemukan keterangan tersebut.

 

Sejauh pembacaan penulis dari majalah Swara Nahdlatoel Oelama yang ada di perpustakaan PBNU maupun di perpustakaan masional (semuanya telah penulis copy) tak menemukan keterangan tersebut. Setidaknya, edisi yang membahas tentang Muktamar ke-9 NU yang mana oleh Aboebakar Atjeh disebut-sebut sebagai tahun pergantian masa kepemimpinan Hasan Gipo.

 

Saat penulis menyusun buku Sejarah NU Banyuwangi (2016) yang mana memuat satu bab khusus tentang Muktamar ke-9 ini, juga tak menemukan verslaag (laporan)-nya. Bahkan, penulis mendatangi Museum Nahdlatul Ulama di Surabaya yang didirikan oleh Cak Anam juga tak memilikinya. Padahal, Cak Anam juga banyak membahas tentang Muktamar ke-9 ini. Mengingat ia juga menulis buku tentang sejarah GP Ansor yang didirikan di muktamar tersebut.

 

Apakah kemudian perihal ini tidak terjawab dengan pasti? Tidak juga.

 

Pada 3 September 2021, penulis berkesempatan untuk meneliti sejumlah arsip-arsip peninggalan KH Abdul Wahab, Penataban, Banyuwangi. Beliau merupakan pengurus pertama NU di Banyuwangi. Di kediaman beliau, ternyata masih tersimpan serpihan-serpihan majalah Swara Nahdlatoel Oelama. Disebut serpihan karena sudah tidak utuh. Covernya sudah terlepas, antar halaman juga terpisah. Sehingga cukup menyulitkan untuk mengidentifikasi per edisinya.

 

Namun, dari serpihan-serpihan tersebut, masih terbaca jelas sejumlah informasi. Termasuk yang berkaitan tentang masa khidmat Haji Hasan Gipo sebagai Presiden HBNO itu. Seperti halnya pada serpihan edisi laporan Muktamar VII NU di Bandung (1932). Pada akhir laporan tersebut ditandai dengan ‘Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama’ dengan aksara pegon yang ditandatangani oleh Wakil Rais Said Sholih dan Presiden Haji Hasan Gipo (cek halaman 238/ lembar ke-12 dari serpihan dari koleksi Komunitas Pegon).

 

Pada serpihan yang lain (hanya empat halaman/koleksi Komunitas Pegon) yang tak lain merupakan laporan dari hasil Muktamar ke-9 di Banyuwangi (1934) terdapat lembaran yang tertulis tentang terpilihnya kembali Haji Hasan Gipo sebagai Presiden Nahdlatoel Oelama. Berikut kutipannya:

 

‘Kongres [Muktamar] ambil keputusan tempat kedudukan Hofdbestuur tetap di Surabaya dan ‘mambenom (?)’ juga presiden dari bagian Tanfidziyah ialah presiden lama; Tuan Haji Hasan Gipo…..’.

 

Dari sini, dapat dipastikan jika hingga 1934, Haji Hasan Gipo masih terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Hal ini menganulir apa yang ditulis oleh Aboebakar Atjeh di atas. Meskipun tidak sepenuhnya salah. Karena pada tahun yang sama, Haji Hasan Gipo menghembuskan napas terakhirnya. Sehingga tampuk kepemimpinan Presiden HBNO diserahkan ke KH Noer sebagaimana disebutkan oleh Aboebakar Atjeh sendiri.

 

Dengan demikian, dapat dipastikan, jika Haji Hasan Gipo menjadi Ketua Umum PBNU atau Presiden Tanfidziyah HBNO hingga akhir hayatnya. Tak tergantikan. Sebagaimana Hadratusysyekh KH Hasyim Asy’ari menjadi rais akbar juga tak tergantikan hingga kembali keharibaan Sang Khaliq.

 

Penulis adalah Founder Komunitas Pegon Banyuwangi dan Tim Media Center PWNU Jatim.
 


Editor:

Opini Terbaru