Opini

Menjadi Nahdliyin Ber-ISI sebagai Jalan Peradaban

Selasa, 8 April 2025 | 10:00 WIB

Menjadi Nahdliyin Ber-ISI sebagai Jalan Peradaban

Ilustrasi Nahdliyin atau warga NU. (Foto: NOJ/ Istimewa)

Oleh: Abdul Wasik *)

Dalam zaman yang terus berubah —ditandai oleh percepatan teknologi, gelombang informasi, dan pergeseran nilai sosial— umat Islam Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan eksistensi dan kontribusi peradabannya.

 

Bagi warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyin), hal ini menjadi momentum muhasabah bagi warga NU pasca pelaksanaan ritual puasa di bulan Ramadhan: Bagaimana kita hadir sebagai pribadi yang tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman dengan visi keislaman yang mendalam dan bermakna sebagai bentuk implikasi dari perjalanan rohani sebulan lamanya, yaitu menjalankan ibadah puasa?

 

Di tengah gempuran era disrupsi ini, menjadi Nahdliyin tidak cukup hanya bermodalkan identitas keorganisasian atau afiliasi emosional. Kita membutuhkan bangunan karakter yang kokoh dan visioner —yakni menjadi Nahdliyin Ber-ISI, yang dimaknai sebagai pribadi yang memiliki Intelektualitas, Spiritualitas, dan Integritas. Ketiga unsur ini bukan saja relevan untuk konteks kekinian, tetapi juga merupakan warisan nilai para muassis NU kepada generasi penerus.

 

Salah satu tokoh spiritual yang mewariskan nilai-nilai itu secara utuh adalah KHR As’ad Syamsul Arifin, ulama karismatik dari Sukorejo, Situbondo yang dikenal sebagai wasilah NU. Keteguhannya dalam menjaga amanah guru, ketulusannya dalam mengabdi, dan ketajamannya dalam membaca tanda-tanda zaman, menjadi teladan penting dalam membentuk karakter Nahdliyin Ber-ISI. Kiai As’ad bukan hanya perantara berdirinya NU, tetapi penjaga ruh dan arah gerak NU agar tetap berada dalam rel khittah dan khidmah lillah serta bukan sekadar formalitas organisasi.

 

Pertama, intelektualitas menjadi pondasi utama bagi Nahdliyin dalam menjawab berbagai problematika umat dan bangsa. Kecakapan berpikir, keluasan wawasan, serta kedalaman ilmu merupakan bagian dari manifestasi iqra’ yang menjadi wahyu pertama.

 

Di tengah tantangan digitalisasi, disinformasi, dan narasi ekstremisme, Nahdliyin harus tampil sebagai pembawa ilmu yang mencerahkan. Sebagaimana pesan Kiai As’ad, “Ilmu harus disampaikan dengan cinta, bukan dengan kebencian. Karena cinta melunakkan hati dan menyelamatkan umat.”

 

Kedua, spiritualitas adalah inti dari gerakan Nahdlatul Ulama yang menjadikannya membumi. Tradisi dzikir, tahlil, dan penguatan batin bukan sekadar warisan, tapi energi yang membangun kekuatan moral dan ketenangan jiwa. Kiai As’ad adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi spiritualitas.

 

Kiai As'ad menekankan bahwa kekuatan santri dan ulama bukan pada banyaknya massa, tapi pada keikhlasan niat dan kekuatan batin yang bersandar pada Allah. Itulah sebabnya, spiritualitas menjadi kompas di tengah dunia yang sering kehilangan arah.

 

Ketiga, integritas adalah karakter utama yang melekat pada ulama dan kiai dalam sejarah perjuangan NU. Mereka tidak hanya berilmu dan beribadah, tetapi juga berakhlak luhur, amanah, dan istiqamah dalam membela kepentingan umat. Kiai As’ad menunjukkan hal ini dengan konsistensi sikap dan keteguhan prinsip, meski sering tidak populer.

 

Ketika umat terpecah karena konflik politik atau ideologi, beliau selalu menempatkan kemaslahatan dan persatuan umat di atas segalanya. Di era penuh godaan seperti hari ini, integritas Kiai As'ad menjadi cermin untuk Nahdliyin agar tetap jujur dalam kata dan teguh dalam amal.

 

Konsep Nahdliyin ber-ISI bukan semata jargon, tetapi merupakan orientasi baru dalam proses kaderisasi. Pendidikan NU di berbagai tingkatan harus menjadikan tiga pilar ini sebagai ruh pembinaan. Intelektualitas yang terbuka, spiritualitas yang mendalam, dan integritas yang teruji, adalah bekal untuk menatap masa depan Islam Indonesia yang unggul dan rahmatan lil ‘alamin.

 

Warisan para muassis NU seperti Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), dan Kiai As’ad, harus senantiasa dihadirkan dalam proses gerakan keulamaan hari ini. Mereka adalah cahaya yang menuntun arah, bukan sekadar nama yang diagungkan.

 

Kiai As’ad pernah berkata, “Santri itu harus seperti pelita. Menerangi sekelilingnya, meski harus terbakar dirinya.” Kalimat ini adalah penegasan bahwa pengabdian Nahdliyin harus dilandasi keikhlasan dan pengorbanan.

 

Maka menjadi Nahdliyin Ber-ISI adalah panggilan untuk menjadi pelita zaman —yang menerangi umat dengan ilmu, menentramkan mereka dengan zikir, dan menjaga mereka dengan akhlak. Ini adalah bentuk khidmah sejati, sebagaimana telah dicontohkan para wali dan kiai yang hidupnya hanya untuk umat.

 

Akhirnya, saatnya kita berhenti memuja simbol dan mulai menghidupkan substansi. Menjadi Nahdliyin hari ini adalah menjadi pribadi yang ber-ISI, bukan hanya dalam nama, tetapi dalam ilmu, iman, dan amal.

 

*) Dosen Institut Agama Islam (IAI) At-Taqwa Bondowoso dan Mahasiswa Program Doktoral UIN KHAS Jember.