Opini

Mempertahankan Semangat Menulis Warga NU

Kamis, 20 Februari 2025 | 20:00 WIB

Mempertahankan Semangat Menulis Warga NU

Ilustrasi menulis. (Foto: NOJ/Hidayatullah)

Para tokoh NU, tidak hanya dikenal sebagai tokoh ceramah di panggung, tetapi mereka adalah para penulis produktif. Karya-karya mereka masih kita baca sampai sekarang. Karya-karya mereka adalah bukti nyata dari dua hal sekaligus yaitu pertama, mereka adalah para ilmuan yang sejak awal telah sadar pentingnya transformasi ilmu dan sanad keilmuan dalam ajaran agama. Kedua, karya tulis mereka di kemudian hari menjadi mata rantai keilmuan yang tidak saja memperkuat organisasi NU dalam jamaah tetapi juga telah menjadikan jamaah tersebut memiliki referensi yang cukup untuk terlibat dalam adaptasi budaya lokal dan kebangsaan Indonesia. 

 

Kita bisa lihat sebagai misal pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari. Rais Akbar NU ini telah menulis banyak kitab di antaranya adalah Adabu al-‘Alim wa al-Muta’allim, Risalat Ahlis Sunnah wa al-Jama’ah, al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyidi al-Mursalin, al-Tahbihat al-Wajiban liman Yashna’u al-Maulid bi al-Munkarat dan lain-lain. Menantu KH. Hasyim, KH. Muhammad Ma’shum bin ‘Ali juga menulis kitab di antaranya yang sangat masyhur di seluruh pesantren nusantara seperti al-Amtsilat al-Tashrifiyah, Badi’atul Mitsal, Fath al-Qadir dan al-Durus al-Falakiyah. Syaikhona Kholil, tokoh spritual atas berdirinya NU juga menulis kitab seperti al-Matn Al-Syarif, Taqrirat Alfiyah Ibn Malik, Risalah fi Fiqh al-‘Ibadat dan lain-lain. 

 

Tiga ulama yang telah disebutkan hanyalah eksemplar dari para pendahulu NU yang memiliki semangat literasi terutama dalam dunia tulis menulis. Karya-karya tersebut memiliki implikasi massif bagi dunia keilmuan dan keorganisasian. Dari sisi keilmuan, karya akan memberi pengikat yang bersambung, yang kemudian dikenal dengan istilah “sanad”.  Ilmu tidak akan lekang oleh waktu dan tidak terhapus oleh sejarah. Para mujtahid dalam bidang fiqh sebagai misal, tidak hanya seperti yang masyhur kita dengar berjumlah empat, namun lebih banyak dari itu bahkan puluhan. Hanya saja, para mujtahid tersebut diseleksi oleh waktu dan diverifikasi oleh sejarah. Verifikasi yang paling kuat adalah seberapa besar para mujtahid meninggalkan karya dan memiliki murid yang meneruskan dan mengajarkan karya tersebut kepada generasi berikutnya. 

 

Suatu karya ini terkadang yang jarang terpikirkan, ikut memberi pengaruh terhadap eksistensi organisasi. Lihat saja bagaimana jaringan keilmuan antara Syaikhona Kholil dengan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, kemudian antara Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dengan KH. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri, serta lain-lain. Begitulah para penggerak-penggerak NU di masing-masing daerah. Awalnya adalah jaringan kiai dan santri. Mereka dibingkai oleh jaringan keilmuan. Jejaring inilah kekuatan NU. Oleh karena itu,spirit menulis tidak boleh hilang. Spirit menulis harus terus disuarakan karena berimplikasi massif dan terstruktur.

 

Menulis berhubungan dengan kedalaman ilmu. Kemampuan menulis tidak bisa dilepaskan dengan keilmuan yang dimiliki. Dalam masalah ilmu, NU adalah tempatnya. Artinya, untuk menulis, warga NU memiliki potensi tak tertandingi. Pesantren adalah gudang ilmu-ilmu keislaman. Lihat saja, dalam bidang fiqh sebagai misal para santri telah belajar Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Kifayat al-Akhyar, Fath al-Wahhab, I’anat al-Thalibin, Bujairomi ‘ala al-Khatib dan lain-lain. Ini artinya para santri yang serius akan memiliki banyak referensi untuk menulis karya dalam bidang fiqh. Demikian pula dalam bidang nahwu (tata bahasa Arab), para santri telah belajar al-Ajurumiyah, ‘Umrithi, Alfiyah ibn Malik, Mughni Labib, Jami’ al-Durus dan lain-lain. Dalam hal karya nahwu tentu bukan hal sulit. 

 

Di era yang serba digital dan cepat ini, tulisan bisa berupa karya buku dan tulisan-tulisan pendek atau opini tentang suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Tulisan dalam karya buku seperti yang dilakukan oleh para pendahulu NU, sangat bermanfaat bagi mereka yang ingin menjelaskan suatu masalah secara detil dan rinci. Karya buku juga berguna bagi transmisi pengetahuan, sebagai buku pegangan dalam satuan pendidikan di madrasah atau sekolah. Karya buku bisa dijadikan referensi yang dipertanggungjawabkan untuk menjawab isu-isu tertentu.  Namun, tulisan-tulisan pendek atau opini sangat bermanfaat juga untuk menjadi solusi cepat atas masalah. Dunia digital akan menjadi sarana yang paling efektif untuk menampung tulisan dalam bentuk ini. Algoritma media sosial akan mengarahkan tulisan kita kepada pembaca yang berminat pada tema-tema tertentu. Semakin banyak warga NU menulis, semakin banyak pula tulisan warga NU dibaca oleh masyarakat. Ini tentu sangat konstruktif dan produktif untuk dunia keilmuan dan keorganisasian.

 

Warga NU harus mulai sadar dengan kontestasi. Ada dua pilihan yang harus dihadapi, ikut terjun ke gelanggang kontestasi atau sebagai penonton dengan sesekali waktu ikut mengkonsumsi hasil kontestasi orang lain. Jika warga NU sadar, pilihan kedua tentu tidak dipilih. Kenapa? Para pendahulu NU tidak berpangku tangan dan hanya menunggu. Mereka bergerak dan ikut terjun dalam kontestasi. Karya-karya yang mereka susun adalah buktinya. Kesigapan KH. Wahab Chasbullah membentuk komite Hijaz tahun 1926 dan lain-lain ada bukti kuat lainnya. Bahkan kehadiran NU, harus diakui, sebagai bagian agar warga NU tidak hanya menjadi objek, tetapi menjadi subjek yang menentukan. Para pendahulu NU berkontestasi bersama-sama dengan organisasi lainnya dalam kontestasi yang produktif. 

 

Di era digital, warga NU harus melek digital dan sadar akan dunia tulis menulis. Tidak saja untuk penyebaran ilmu pengetahuan dan bagian dari keterlibatan dalam kontestasi di atas, tetapi juga melestarikan tradisi para pendahulu NU masa lalu yang menghadirkan, di antaranya, kebesaran dan kejayaan NU masa kini.

 

Ditulis oleh Iswahyudi, Wakil Ketua PCNU Ponorogo dan Dosen IAIN Ponorogo