Opini

Tadabbur Ayat Bencana: Refleksi Kisah Fir’aun atas Fenomena Krisis di Los Angeles

Sabtu, 1 Februari 2025 | 08:00 WIB

Tadabbur Ayat Bencana: Refleksi Kisah Fir’aun atas Fenomena Krisis di Los Angeles

Kebakaran di Los Angeles (Foto:NOJ/LAtimes)

Oleh: Moh Soim* 
 

Berita tentang kebakaran yang melanda Los Angeles (LA), California, Amerika Serikat, kembali menjadi perbincangan. Fenomena ini bukan hanya mengancam lingkungan, tetapi juga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang besar. Asap tebal menyelimuti kota, suhu udara meningkat drastis, dan ribuan orang terpaksa mengungsi demi keselamatan. Bencana ini mengingatkan kita pada berbagai peristiwa besar dalam sejarah, termasuk yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai bentuk ujian dan peringatan bagi umat manusia.
 

Diantara kisah tersebut, QS. Al-A’raf: 132-133 yang mana Syaikh al-Sya’rawi (Maktabah Syamilah, 7:43319) dalam menjelaskan:
 

وإذا كان الطوفان قد أصاب آل فرعون ومعهم بنو إسرائيل لدرجة أن الواحد منهم كانت المياه تبلغ التراقي فيبقى واقفًا لأنه لو جلس يموت، ويظل هكذا، وأمطرت عليهم السماء سبعة أيام، لا يعرفون فيها الليل من النهار ويرون أمامهم بيوت بني إسرائيل لا تلمسها المياه، وهذه معجزة واضحة، لقد عم الطوفان وأراد الحق أن ينجي بني إسرائيل منه دون حيلة منهم حتى لا يقال آية كونية جاءت على هيئة طوفان وانتهت المسألة، لكن الطوفان جاء لبيوتهم ولم يلمس بني إسرائيل. وقال الرواة : إن الطوفان دخل على فرعون حتى صرخ واستنجد بموسى، وقال له: كف عنا هذا ونؤمن بما جئت به، ودعا موسى ربه فكف عنهم الطوفان. لكنهم عادوا إلى الكفر. وجعل الله من آياته لمحات، وإشارات، بدأت بالطوفان، وحين يوضح ربنا: أنا عذبت بالطوفان قوم نوح، وقوم فرعون، فهو يعطينا ملامح تشعرنا بصدق القضية، فيهبط السيل في أي بلد ويهدم الديار ويغرق الزرع والحيوانات، لنرى صورة كونية، وكذلك الجراد يرسله الله على فترات فيهبط في أي وقت من الأوقات، ونقيم الحملات لمكافحته، وهذا دليل على صدق الأشياء التي حكى الله عنها، فلو لم يوجد جراد ولا طوفان لكنا عرضة ألا نصدق. وابتلاهم الله بالقمل كذلك.
 

Tafsir ini menjelaskan bahwa dalam kisah Fir’aun dan masyarakat Mesir, salah satu bentuk murka Allah Swt yang diturunkan kepada mereka adalah banjir besar yang berlangsung selama tujuh hari tanpa henti. Langit terus-menerus menurunkan hujan deras, sehingga negeri itu diselimuti kegelapan, membuat batas antara siang dan malam menjadi kabur.
 

 

Ketinggian air mencapai tulang selangka setiap orang, sehingga mereka tetap berdiri karena jika duduk, mereka akan tenggelam. Jika kita membayangkan, manusia di masa itu dikenal lebih tinggi posturnya dibandingkan manusia sekarang, sehingga jika kejadian serupa terjadi di zaman ini, hampir tidak ada manusia yang akan selamat dari tenggelam. Namun, salah satu keajaiban nyata dari peristiwa ini adalah rumah-rumah Bani Israil tetap utuh dan tidak tersentuh oleh banjir, sementara kaum Fir’aun menderita. Ini menunjukkan bahwa bencana tersebut bukan sekadar fenomena alam, melainkan tanda kekuasaan Allah yang nyata.
 

Diriwayatkan bahwa banjir bahkan masuk ke istana Fir’aun, membuatnya berteriak meminta tolong kepada Nabi Musa. Fir’aun berjanji akan beriman jika azab itu dihentikan. Nabi Musa pun berdoa kepada Allah, dan akhirnya banjir berhenti. Namun, setelah selamat, Fir’aun dan pengikutnya kembali kepada kekafiran.
 

Allah menjadikan kejadian ini sebagai peringatan bagi umat manusia, sebagaimana Dia juga pernah menimpakan banjir kepada kaum Nuh. Kisah ini menjadi bukti kebenaran Al-Qur'an, karena hingga hari ini manusia masih menyaksikan fenomena banjir, serangan belalang, dan bencana lain yang mengingatkan kita akan tanda-tanda kebesaran-Nya.
 

 

Mari kita coba melihat peristiwa ini dalam konteks kejadian yang baru-baru ini terjadi. Fenomena bencana alam, baik di masa lalu maupun sekarang, selalu mengingatkan kita akan keterbatasan manusia di hadapan kuasa Ilahi. Jika kita menilik fenomena kebakaran di Los Angeles yang berlangsung lebih dari seminggu, terlepas dari apakah itu dianggap sebagai adzab atau tidak, tentu setiap orang memiliki pandangan masing-masing. Dampak dari peristiwa ini sangatlah besar jumlah korban tewas mencapai 29 orang, dengan 12 korban terkait kebakaran Palisades dan 17 korban terkait kebakaran Eaton. Kebakaran tersebut telah menghanguskan lebih dari 40.000 hektar lahan dan menghancurkan sekitar 12.316 bangunan. Kerugian ekonomi diperkirakan melebihi $50 miliar, menjadikannya salah satu bencana paling mahal dalam sejarah Amerika Serikat.
 

Selain kerusakan fisik, kebakaran ini juga memicu dampak sosial yang signifikan, termasuk evakuasi massal lebih dari 150.000 penduduk, gangguan pada layanan listrik dan air, serta kekhawatiran akan potensi banjir dan tanah longsor akibat hujan yang diprediksi turun setelahnya. Peristiwa ini bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga pengingat akan betapa rapuhnya manusia dalam menghadapi kekuatan alam yang tak terduga.
 

Entah mengapa, ketika ayat-ayat tentang bencana dikaitkan dengan fenomena yang sedang terjadi, sebagian orang cenderung menolak keterkaitannya, mungkin dengan alasan bahwa itu hanyalah peristiwa alam biasa. Namun, jika kita perhatikan dengan saksama, berbagai indikasi (dalalah) dalam konteks kejadian tersebut—mulai dari pesta pora hingga tindakan yang dianggap sebagai penghinaan terhadap Tuhan—seolah menunjukkan adanya keterkaitan yang lebih dalam.
 

Belum lagi jika kita melihat bagaimana sikap negara tersebut terhadap negara-negara Islam, khususnya Palestina. Negara yang dianggap maju dan adidaya ini telah menunjukkan berbagai tindakan yang tidak sedikit buktinya mencerminkan sifat kejam dan licik. Namun, mengapa sulit bagi banyak orang untuk mengakui keterkaitan antara fenomena yang terjadi dengan kemungkinan adanya pesan di baliknya
 

Secara manusiawi, tentu kita semua turut prihatin atas bencana kebakaran yang melanda. Namun, di balik peristiwa tersebut, manusia seharusnya diajak untuk melakukan introspeksi. Kita perlu merenungkan apa yang melatarbelakangi kejadian ini, baik dari sisi fenomena alam maupun dari sudut pandang ajaran agama.
 

Penulis berpikir, jika ayat-ayat seperti ini tidak dianggap sebagai hujjah atas kejadian yang terjadi, lalu kapan dan dalam kondisi seperti apa ayat-ayat ini dapat dikontekstualisasikan? Di mana letak relevansinya dalam kehidupan nyata? Sayangnya, hal ini berada dalam ranah teologis yang sulit, bahkan mustahil, untuk dibuktikan secara empiris sebagai bentuk nyata dari ‘adzab Tuhan. Ataukah ayat ini dianggap sudah tidak relevan, atau cukup berlaku bagi umat Islam saja?
 

Dengan kata lain, fenomena yang terjadi di Los Angeles bukanlah alasan bagi umat Islam untuk kehilangan rasa kemanusiaan. Justru, rasa kemanusiaan ini telah lama teruji, terutama saat tragedi berkepanjangan yang menimpa Palestina. Tulisan ini lahir dari keprihatinan hati penulis yang pada awalnya bertemu dengan ayat-ayat peringatan (nadzhir) dalam Al-Qur’an, lalu merenungkan bagaimana ayat-ayat tersebut dapat ditafsirkan dalam konteks masa kini.
 

Yang jelas, hakikat dari segala sesuatu yang terjadi, yang tak dapat diketahui manusia secara pasti, hanyalah dalam pengetahuan Allah semata. Namun, manusia yang telah dikaruniai akal dan hati memiliki tanggung jawab untuk terus merenungkan dan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa.
 

*Mahasiswa Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta & Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal