Oleh: Ali Mursyid Azisi *)
Letupan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kembali menggemparkan publik dewasa ini. Beberapa waktu lalu pendukung ideologi khilafah tersebut menggelar 'kampanye hitam' berkedok merayakan Isra’ Mi’raj dari Silang Monas menuju Kedubes AS di Jakarta. Dengan mengangkat tema “Isra’ Mi’raj Umat Bersatu Bebaskan Al-Aqsha dan Palestina”, mereka menggelar aksi turun jalan dengan sejumlah orasi menggebu.
Salah satu website mereka yang masih aktif muslimahnews.net, menyebut bahwa terhitung sekitar 30 ribu umat muslim berpartisipasi dalam aksi tersebut. Partisipan tersebut rata-rata dari Jabodetabek dan memadati sepanjang jalan rute kampanye khilafah sebagai pembebasan Palestina.
Pada website yang sama, mereka menulis artikel “Palestina dan Ukhuah atas Dasar Akidah”. Di dalamnya menyebut bahwa peringatan Isra’ Mi’raj sekaligus aksi pembebasan Palestina merupakan respons murka terhadap zionis atas kekejamannya terhadap rakyat Palestina. Mereka merekomendasikan konsep negara khilafah sebagai solusi atas kekejaman Israel serta Amerika. Mereka menilai bahwa khilafah memiliki kekuatan besar yang dapat mengalahkan Israel dan AS sebagai penyokongnya.
Penilaian ini hanya mengacu pada jumlah populasi umat Islam di seluruh dunia melalui laporan Word Population Review pada 2023. Jika hanya mengukur pada aspek populasi dan meminggirkan substansi berislam sejatinya tidaklah cukup, justru mempertontonkan kedangkalan cara berpikir serta beragamanya.
Perayaan Isra’ Mi’raj dengan aksi turun ke jalan dengan membentangkan bendera khilafah (simbol HTI) merupakan problem besar. Pertama, Isra’ Mi’raj sejatinya momen mengenang kembali perjalanan Rasulullah secara horizontal dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha, lalu secara vertikal dari Masjid al-Aqsha ke Sidrat al-Muntaha.
Problem kedua adalah menghilangkan kesakralan (desacralization). Senada dengan respons Ketua PWNU Jawa Timur KH Kikin A Hakim pada awal Februari 2025, peristiwa sakral jika disalahgunakan untuk mengerahkan masa justru tidak memperkuat iman, melainkan mengandung unsur politis. Ketiga, yaitu melanggar ketentuan hukum negara tentang organisasi dan pengibaran bendera khilafah yang ilegal.
Kembalinya HTI dan Bahaya Kampanye Hitam
Problem sosial yang mengandung unsur politis ini merupakan masalah serius. Perlu selalu dikawal oleh berbagai pihak. Sebab, dengan memanfaatkan momentum keagamaan tertentu untuk dijadikan kampanye menghidup-suburkan sistem khilafah bukanlah sebuah solusi. Dengan identitasnya yang mengancam kedaulatan NKRI, aktivitas HTI dalam bentuk apapun sejatinya dilarang melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM No. AHU-30.AH.01.08. tentang Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 19 Juli 2017.
Pembubaran HTI ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017. Perppu tersebut mengubah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Lalu Perppu No. 2 Tahun 2017 memberikan kewenangan pada Kementerian Hukum dan HAM untuk menghapus izin organisasi kemasyarakatan yang menentang atau bertolak belakang dengan Pancasila.
Jika dahulu HTI mengkampanyekan ideologinya melalui dakwah konvensional di masjid, kampus, kajian keagamaan, bahkan ruang sosial secara luas, maka sekarang mereka menunggangi momen-momen tertentu untuk terus menunjukkan eksistensinya. Kini, media sosial juga menjadi sasaran ladang basah mendakwahkan ideologi khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang dinilai efektif memengaruhi masyarakat digital.
Meski legalitas ormas HTI oleh negara dihapuskan, namun bibit-bibit ideologi dan kampanye menegakkan sistem khilafah tetap berlanjut di akar rumput secara diam-diam. Mereka berupaya membranding diri dengan wajah berbeda namun dengan isi otak yang sama, yaitu berpegang teguh pada sistem khilafah dan berusaha melucuti NKRI dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menunggangi momen-momen tertentu dengan dalih membela Islam.
Maksud istilah kampanye hitam di sini mengacu pada identitas HTI. Pertama, berkaitan dengan bendera Tauhid bertuliskan la ilaha illallah yang disalahartikan dan disalahgunakan. Kedua, berkaitan dengan pemahaman terhadap substansi memahami Islam yang dangkal. Ketiga, yaitu salah kaprah memahami sistem bernegara yang ideal. Parahnya lagi, Hizbiyyin (pengikut HTI yang telah disumpah setia) menganggap mereka yang paling benar dan menyalahkan pendapat lain, radikal, melawan Pancasila dan kedaulatan Negara Indonesia.
Ainur Rofiq Al-Amin mantan Hizbiyyin yang kembali ke pangkuan NU sekaligus penulis buku Membongkar Proyek Khilafah Hizbut Tahrir ala Indonesia, menyebut bahwa “Orang Hizbut Tahrir (HT) tahu jika rumahnya itu keropos. Namun kekeroposan itu justru ditutupi dengan tembok besar untuk melindunginya agar tidak diketahui oleh pengikutnya”. Atas dasar ini, HTI acap kali salah kaprah dalam memahami teks dan konteks beragama serta melegalkan segala cara untuk mencapai kampanye hitamnya.
Beragama Maslahat, bukan Beragama Muslihat
Munculnya kembali gerakan HTI pada tahun 2025 ini bertepatan pula dengan Harlah ke-102 Nahdlatul Ulama (NU) yang mengangkat tema “Bekerja Bersama Umat untuk Indonesia Maslahat”. Ini merupakan tema menarik sebab saling bersinggungan dengan isu agama yang diusung pemerintah era Prabowo Subianto.
Dalam kitab negara UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025-2045 memperkenalkan istilah baru dalam hal keagamaan yaitu “Beragama Maslahat”. Sebagaimana tercantum dalam UU 59 2024, bahwa penguatan peran agama sebagai landasan spiritual, etika, moral, serta modal dasar pembangunan dapat diterapkan melalui upaya berikut.
Pertama, meningkatkan aktualisasi dan internalisasi nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, pembangunan kehidupan beragama yang rukun, inklusif, toleran, dan berorientasi penguatan moderasi beragama. Ketiga, pengembangan dana filantropi dan sosial keagamaan, pemberdayaan umat beragama serta peningkatan produktivitas.
Keempat, peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama secara adil dan merata. Terakhir, yaitu jaminan terhadap pemenuhan hak kebebasan berkeyakinan dan beragama. Beragama Maslahat sejatinya selaras juga dengan Asta Cita Pemerintahan Prabowo-Gibran khususnya pada visi nomor 8, yaitu memperkuat penyelarasan kehidupan harmonis dan peningkatan toleransi antar umat beragama untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Gagasan asta cita ini sejatinya sudah sejalan dengan Islam. Beragama yang sebenarnya adalah menciptakan kemaslahatan (maslahah), bukan muslihat (tipu daya). Kemaslahatan tidak hanya terbatas pada makmurnya segi ekonomi, namun juga mencakup ketentraman, jauh dari tindakan radikal dan tidak menentang negara.
Bila disandingkan dengan identitas HTI justru berbanding terbalik, bahwa ideologi yang diusungnya mengandung unsur radikal, melegalkan kekerasan, tidak menghargai perbedaan, supremasi dan melawan negara. Beragama dengan muslihat seperti mengenyampingkan sakralitas Isra’ Mi’raj sejatinya strategi licik berkedok membela Islam untuk menghidupkan wajah barunya di muka publik.
Namun, lagi-lagi perlu diakui bahwa segala bentuk ormas, gerakan, ideologi, yang berusaha menentang atau merusak negara, gemar berkonflik, mengganggu keharmonisan tidaklah dibenarkan oleh Islam itu sendiri. Lebih-lebih bertentangan dengan cita-cita dan Undang-Undang negara.
*) Peneliti, Cendekiawan Muda NU, Pengurus PW LTN NU Jatim 2024-2029, dan Anggota Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation.
Terpopuler
1
5 Keistimewaan Pelaksanaan Haji Akbar
2
Viral Grup Facebook Fantasi Sedarah, Fatayat NU Minta Pemerintah Usut Tuntas
3
Ketua PW GP Ansor Jatim Ungkap Mimpi Burdah Sebelum Lantik Pengurus Sumenep
4
GP Ansor di Bangkalan Dirikan BUMA dan Resmikan Angkringan
5
Pemberangkatan KBIHU NU An-Nahdliyah, Jamaah Haji Diminta Fokus Ibadah dan Jaga Kesehatan
6
GP Ansor Sumenep Periode 2024-2028 Resmi Dilantik, Siap Kolaborasi dengan Forkopimda
Terkini
Lihat Semua