Oleh: Kholisatul Hasanah *)
Pada dekade terakhir, dunia menyaksikan bangkitnya populisme yang menjelma sebagai kekuatan politik global. Fenomena ini bukan hanya terjadi di negara-negara Barat dengan figur seperti Donald Trump di Amerika Serikat, Jair Bolsonaro di Brasil, atau Kim Jong un di Korea Utara, tetapi juga tampak nyata di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Populisme muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan publik terhadap elit politik, ketidakadilan ekonomi, serta jarak (baca: kesenjangan) yang semakin melebar antara negara dan rakyat.
Secara teoretis, populisme mengklaim dirinya sebagai representasi ‘suara rakyat’. Akan tetapi praktiknya kerap mereduksi kompleksitas masyarakat dengan dikotomi sederhana: rakyat versus elit.
Model politik semacam ini berbahaya karena meniadakan keberagaman aspirasi, mengikis mekanisme check and balance, dan menciptakan konsentrasi kekuasaan pada figur tertentu. Demokrasi yang idealnya berlandaskan deliberasi, keterbukaan, serta penghormatan terhadap pluralitas, justru terjebak dalam logika mayoritarianisme yang dangkal.
Di Indonesia, kita bisa melihat bahwa gelombang populisme hadir melalui narasi yang memobilisasi emosi publik ketimbang argumentasi rasional. Politik berbasis simbol, identitas agama atau etnis, dan jargon kesejahteraan rakyat. Hal ini sering kali menutupi persoalan struktural yang lebih mendasar, seperti ketimpangan ekonomi, korupsi, lemahnya institusi hukum, bahkan Kurangnya ruang aman berbasis gender.
Dalam konteks ini, populisme memang memberi ruang ekspresi bagi keresahan rakyat. Namun sekaligus menyempitkan demokrasi dengan cara menyingkirkan perbedaan pandangan sebagai sesuatu yang ‘tidak autentik’ atau ‘anti-rakyat’.
Jika dilihat dari dinamika hari ini, populisme di Indonesia tidak hanya muncul dari oposisi, tetapi juga dari pemerintah yang sedang berkuasa. Retorika populis digunakan untuk memperkuat legitimasi, sementara ruang oposisi dilemahkan. Hal ini mengakibatkan demokrasi kehilangan fungsi utamanya sebagai sistem checks and balances.
Baca Juga
Bot Farm: Penyesat Opini di Media Sosial
Pada akhirnya, hemat saya, populisme akhir-akhir ini di Indonesia digunakan oleh hampir semua aktor politik. Antara lain oleh elit yang berkuasa untuk menjaga legitimasi, pihak oposisi untuk menyerang pemerintah, dari mahasiswa dan gerakan sipil untuk melawan oligarki dan memperluas ruang perlawanan, serta media sosial sebagai arena utama populisme digital. Populisme menjadi ‘bahasa politik bersama’, tetapi justru membuat demokrasi cenderung emosional, instan, dan dangkal.
Arah Gerak Demokrasi di Indonesia
Lebih jauh, situasi hari ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia bergerak ke arah yang lebih sempit. Polarisasi politik semakin tajam, perbedaan pendapat sering dianggap ancaman, ruang sipil kerap dikendalikan dengan regulasi yang membatasi, dan represifitas penegak hukum kian membabi buta. Bahkan, demokrasi Indonesia kini menghadapi tantangan digitalisasi politik.
Media sosial yang semula diharapkan menjadi ruang publik baru bagi partisipasi demokratis justru menjadi arena baru mobilisasi politik populis. Ia kerap memproduksi banjir disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian, serta penguatan politik identitas yang eksklusif.
Jika fenomena ini terus dibiarkan, demokrasi berisiko mengalami kemunduran (democratic backsliding). Demokrasi akan kehilangan substansinya dan hanya menjadi ritual prosedural pemilu, tanpa disertai dengan nilai-nilai partisipasi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Oleh karena itu, yang diperlukan hari ini adalah revitalisasi demokrasi dengan menekankan kembali pentingnya pendidikan politik, penguatan institusi, transparansi kinerja institusi pemerintahan, serta perluasan ruang publik yang sehat. Demokrasi harus mampu mengakomodasi aspirasi rakyat tanpa terjebak dalam simplifikasi populis. Dengan cara ini, demokrasi dapat kembali menjadi sistem politik yang tidak hanya memberi ruang pada mayoritas, tetapi juga melindungi minoritas serta menjamin keberlangsungan kehidupan bernegara yang adil dan inklusif.
*) Kholisatul Hasanah, Ketua Kopri PKC PMII Jawa Timur.
Terpopuler
1
Puasa Ayyamul Bidh Rabiul Awal 1447 H Dimulai 6 September 2025
2
Menjaga Hubungan Baik pada Ulama dengan Meneladani Kehidupannya
3
Latifah Irsyadia, Kader IPPNU Sidoarjo Jadi Lulusan Terbaik di Unusida
4
Sofyan Hadi, Alumnus Pesantren Annuqayah Sumenep Raih Penais Award 2025
5
Wagub Jatim: Haul Mbah Hamid Perkuat Optimisme Bangsa
6
KH Faiz Syukron Ma’mun: Haul Bukan Sekadar Doa, tapi Merawat Keislaman
Terkini
Lihat Semua