• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 18 April 2024

Opini

Muktamar NU dan Ancaman Pandemi Covid-19 Gelombang Ketiga 

Muktamar NU dan Ancaman Pandemi Covid-19 Gelombang Ketiga 
Suasana Muktamar ke-33 NU di Jombang. (Foto: NOJ/ISt)
Suasana Muktamar ke-33 NU di Jombang. (Foto: NOJ/ISt)

Muktamar adalah perhelatan tertinggi di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Selain menetapkan Rais Aam dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), muktamar juga menetapkan fatwa atas persoalan tertentu yang dibahas. Mencakup masalah keagamaan, persoalan mutakhir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan rekomendasi. Muktamar kali ini adalah muktamar yang sangat spesial karena dilaksanakan dalam kondisi pandemi, bahkan saat ini sudah bersiap masuk ke pandemi Covid-19 gelombang ketiga.

 

"Keputusan yang baik datang dari pengalaman, dan pengalaman berasal dari keputusan yang buruk." Begitulah perkataan Rita Mae Brown, pengalaman pandemi Covid-19 mulai dari gelombang pertama hingga gelombang kedua di puncak Juni-Juli tahun 2021. Hal itu mengajarkan bahwa pandemi ini ada dan bukan abal-abal apalagi setingan yang seringkali didengar dan bahkan diucapkan ulama yang sejak awal tidak percaya pandemi ada.

 

Sampai-sampai dalam hari lahir Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama (PDNU) yang kedua lewat laman zoom, KH Mustofa Bisri menyatakan: “Saat ini adalah saat paling tepat bagi dokter-dokter NU untuk berdakwah. Siapa yang didakwahi? Ya kita-kita ini yang masih belum percaya bahwa pandemi ada dan bukan abal-abal.”

 

Berkaca dari data dan timeline, puncak kasus pertama pada Januari-Februari 2021, kenaikan dari titik kasus terendah sebesar 283 persen dan sampai puncaknya dalam waktu 13 pekan. Sedangkan pada puncak kedua, kenaikan dari titik kasus terendah mencapai 381 persen atau hampir 5 kali lipat dan mencapai puncak dalam waktu 6 pekan.

 

Indonesia sempat mengalami penurunan kasus sejak puncak pertama yaitu selama 15 pekan dengan total penurunan hingga 244 persen. Faktor utama lonjakan kasus didukung aktivitas mudik dan arus balik lebaran. Juga adanya beberapa varian Covid-19 baru yang telah masuk ke Indonesia, dan diperparah dengan mobilitas lokal masyarakat yang tinggi.

 

Data terakhir Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan per 20 Juni mencatat sudah ada 211 kasus mutasi virus SARS-CoV-2 yang tergolong 'Variant of Concern'. Rinciannya, 45 varian alpha, 6 varian beta, dan 160 varian delta.

 

Awalnya kenaikan terlihat normal dan tidak terlalu signifikan. Namun memasuki pekan ke-4 pascaperiode libur, kenaikan meningkat tajam dan berlangsung selama tiga pekan hingga mencapai puncak kedua di pekan terakhir. Terdapat tiga provinsi yang menjadi kontributor terbanyak pada lonjakan kasus Covid-19 nasional, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Tiga provinsi itu konsisten menjadi penyumbang tertinggi, baik pada gelombang pertama maupun gelombang kedua pandemi di Indonesia.

 

Gelombang kedua Covid-19 di Indonesia dipicu masuknya varian delta yang mudah menular, yang pertama kali diidentifikasi di India. Akibatnya, Indonesia menjadi episentrum wabah Covid-19 di Asia, yang hal ini dibuktikan dengan pemeriksaan PCR para pekerja migran dan mahasiswa yang pulang saat liburan hari bahwa nyata mereka membawa varian baru masuk ke Indonesia. Penyebaran varian delta membuat infeksi Covid-19 di Indonesia mencapai rekor tertinggi. Dilaporkan rekor 56.757 kasus pada 15 Juli, dan rekor 2.069 kematian pada 27 Juli.

 

Indonesia telah mencatat lebih dari 3,4 juta kasus dan 95.000 kematian. Meskipun para ahli kesehatan masyarakat memperkirakan angka sebenarnya kemungkinan beberapa kali lebih tinggi dan sebagian besar dari mereka yang meninggal karena Covid-19 tidak divaksinasi.

 

Saat ini ledakan pandemi bisa dikatakan sudah terkendali. Memasuki pertengahan September 2021, kasus baru yang ditemukan di Indonesia berada di bawah 5.000 per hari, bahkan sempat menyusut ke bawah 2.000. Dari jumlah testing (pemeriksaan) lebih dari satu juta orang dalam sepekan di pekan ketiga bulan September, diperoleh angka positivity rate 2,58 persen. Ini adalah angka terendah yang pernah dicapai sejak masa awal pandemic. Kemudian diikuti dengan turunnya angka kasus baru tersebut, angka kesembuhan pun meningkat dan mencapai 95 persen. Kasus positif aktif, yakni jumlah pasien positif Covid-19 yang dirawat di rumah sakit atau menjalani isolasi, pun menyusut ke angka 52.000 dari angka 550 ribu di pertengahan Juli.

 

Kehadiran varian Delta sebagai Varian of Concern (VoC), dengan sifatnya yang sangat menular dan menimbulkan gejala klinis yang berat, tentu memberikan kontribusi besar atas parahnya pandemi. Di mana yang menentukan tren domestik adalah mobilitas dan aktivitas masyarakat lokal kita. 

 

Pandemi belum selesai, kelengahan bisa membawa kemalangan. Australia, semisal, dapat menekan pandemi dan mencatat hasus harian 10 kasus pada 24 Mei 2021, dengan positivity rate 0,26 persen. Namun, kurvanya menanjak sejak pertengah Juli dan mencapai puncak pertengahan September lalu dengan sekitar 1.700 kasus  per hari. Singapura pun sama. Lama melandai dan tiba-tiba saja melonjak di akhir Agustus lalu, serta mencapai angka harian di atas 2.000 kasus pada 21 September.

 

Tidak ada jaminan landainya kasus Covid-19 itu tidak bisa bertahan lama bila tidak benar-benar dijaga. Saat ini kita harus melakukan pengamanan berlapis untuk menjaga penularan varian baru Lambda dan Mu yang mulai menunjukkan keganasannya. Varian Mu asal Columbia sudah beredar di 49 negara, termasuk Malaysia, dan Lambda sudah menyusup ke Filipina.

 

Pemerintah mulai membatasi jumlah pintu udara hanya melalui Bandara Soekarno Hatta Tangerang serta Bandara Sam Ratulangi Manado. Pintu laut hanya dibuka di Batam dan Tanjung Pinang Riau. Pelaku perjalanan internasional harus menunjukkan dokumen bebas Covid-19, dengan pemeriksaan PCR, untuk bisa masuk ke wilayah RI. Sesudah itu, mereka harus menjalani karantina delapan hari dan lolos dari dua kali pemeriksaan PCR lanjutan. Jalur darat pun diperlakukan hal yang sama.

 

Akan tetapi bukan hanya mobilitas internasional yang perlu diwaspadai. Mobilitas domestik juga perlu diperhatikan. Mengutip hasil penelitian di 10 negara Eropa, angka penularan (reproductive number) berkolerasi lebih dekat pada mobilitas lokal ketimbang mobilitas antarnegara. Situasi landai ini perlu terus dijaga. Pemerintah terus mempercepat vaksinasi, angka testing dipatok pada level 1 juta orang setiap pekan, penyediaan ruang isolasi terpusat untuk karantina, dan menjaga kepatuhan masyarakat atas protokol kesehatan. Termasuk menjaga mobilitas tetap rendah.  Hal tersebut belajar dari ledakan gelombang kedua pada Juni hingga Juli lalu.


 

Waktu Pelaksanaan Muktamar NU

Nah, di tengah hiruk pikuknya persiapan dan kapan hajatan tertinggi NU akan dilaksanakan, kapan sebaiknya Muktamar NU dilaksanakan? Penulis berharap data ulama yang wafat tidak bertambah banyak. Data yang ada bukan sekadar angka kematian biasa, akan tetapi ini adalah data wafatnya ulama . Bahwa tercatat kurang lebih 805 para ulama yang sudah wafat selama 2 tahun pandemi terjadi. Dan ini sedikit data yang berhasil dicatat, tentu saja yang tidak terdata jauh lebih banyak lagi.

Jargon ‘Jaga Kiai Jaga Bu Nyai’ apakah masih terlintas di benak kita? Hajatan Muktamar NU tentunya yang paling banyak hadir adalah ulama-ulama kita, baik yang sudah sepuh ataupun masih muda. Dan banyak di antara mereka yang memiliki komorbid yang tidak ringan mulai darah tinggi, pasca stroke, pasca serangan jantung, Diabetes mellitus, di mana kita juga tidak tahu apakah faktor risiko komorbid dari ulama-ulama kita sudah terkontrol atau belum.

 

Berangkat dari pengalaman dan belajar dari kesalahan manajemen pandemi dan realitas di atas, memang waktu yang tepat dilakukan muktamar NU adalah sebelum bulan Desember, atau sebelum Nataru, oleh karena apa?

 

1. Para pekerja migran dan para mahasiswa yang sedang tugas belajar di luar negeri seperti Eropa, Afrika, USA di mana di sana kasus sedang tinggi-tingginya masih belum pulang ke Indonesia.
Direktur Organisasi Kesehatan Dunia Eropa Dr Hans Kluge mengatakan: Sudah terlambat untuk mencegah gelombang Covid lainnya di Eropa. Vaksin saja tidak akan cukup untuk melindungi benua itu dari gelombang baru kasus virus Corona musim dingin ini. (source CNN).

 

2. Mobilisasi warga jelang libur Natal dan tahun baru masih rendah dan belum terjadi. Hal ini patut saya kemukakan karena ada rombongan liar yang dikenal dengan sebutan romli. Ya romli yang selalu penuh riuh mewarnai hajatan muktamar di manapun dan kapan pun. Coba bayangkan para romli ini sudah menolak vaksin, tidak taat protokol kesehatan, kemudian ketemu kiainya salim sungkem. Pasti guru tidak akan menolak muridnya untuk disowani. Akan tetapi lazimnya kita sebagai murid harus juga bisa menjaga kesehatan para guru dan kiai. Opo tego kene nulari gurune awak dewe? Cubo dipikir.

 

3. Andaikan terpaksa dilaksanakan sesudah libur Nataru ya harus dipersiapkan segala kemungkinan terburuk dengan kemungkinan muncul “klaster Muktamar NU”. Tentunya ini akan menjadi sangat menyedihkan dan memprihatinkan buat jamiyah NU. Nah apakah jargon jaga kiai jaga bu nyai, jaga ulama NU masih terngiang dan terpatri di kepala kita? Ojo ribut politik ae, kesehatan dan rasa kemanusiaan dikorbankan.

 

Dokter Heri Munajib adalah Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Neuroogi Universitas Airlangga -RSUD DR. Soetomo, serta Anggota Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama.


Editor:

Opini Terbaru