Mochammad Fuad Nadjib
Penulis
Dalam konteks kepemimpinan, kehati-hatian dalam menjaga lisan adalah hal yang sangat krusial. Seorang pemimpin, baik dalam struktur pemerintahan, organisasi, maupun lembaga keagamaan, memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kedamaian, kenyamanan, dan stabilitas sosial di tengah masyarakat yang dipimpinnya. Ketika seorang pemimpin gagal menjaga lisannya, hal tersebut berpotensi menimbulkan fitnah dan merusak tatanan sosial yang telah dibangun dengan susah payah.
Pemimpin bukan sekadar sosok yang berkuasa atau memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan, tetapi juga merupakan panutan. Setiap ucapan seorang pemimpin harus dipikirkan matang-matang agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, ketidakpuasan, atau bahkan konflik. Dalam banyak kasus, kata-kata yang diucapkan dengan sembrono bisa lebih merusak daripada tindakan fisik, karena dampaknya menyebar lebih cepat dan lebih luas.
Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka hendaklah kamu tabayyun (teliti benar), agar kamu tidak menimpakan suatu kaum suatu bencana dengan tidak mengetahui, sehingga kamu menjadi menyesal atas apa yang kamu lakukan." (QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini menekankan pentingnya verifikasi dan kehati-hatian dalam menyebarkan informasi, terutama bagi seorang pemimpin. Sebab, perkataan mereka dapat membawa dampak yang luas dan mendalam bagi masyarakat banyak.
Masyarakat dapat mencapai titik jenuh dan menjadi apatis jika yang disuguhkan oleh para pemimpin adalah ujaran yang tidak bertanggung jawab, atau dikenal sebagai ucapan busuk. Ucapan yang penuh permusuhan, penghinaan, dan pembunuhan karakter, baik dalam forum formal maupun non-formal, adalah bentuk konkret dari ucapan busuk ini. Ketika seorang pemimpin sering melontarkan kata-kata kasar atau tidak pantas, hal ini menciptakan suasana penuh ketegangan dan kecurigaan, yang akhirnya menghancurkan kepercayaan masyarakat.
Dampaknya, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin yang tidak mampu menjaga lisannya, meskipun mereka berasal dari kalangan ulama atau tokoh masyarakat yang dihormati.
Proses delegitimasi terhadap pemimpin ini, yang awalnya mungkin masih samar, akan menjadi lebih jelas dan cepat jika mereka tidak segera introspeksi. Ketika kepercayaan sudah hilang, sangat sulit bagi seorang pemimpin untuk memperbaikinya, karena masyarakat akan cenderung mengingat dan menyoroti kesalahan yang telah terjadi daripada menghargai perbaikan yang dilakukan.
Pemimpin yang baik seharusnya menjadi teladan dalam moral, etika, dan akhlak. Tugas utama mereka adalah membina, melindungi, dan menjaga masyarakat, bukan memperkeruh suasana dengan ucapan tidak pantas. Kepemimpinan yang efektif tidak hanya diukur dari seberapa baik seorang pemimpin dapat memerintah, tetapi juga dari seberapa baik ia dapat memelihara harmoni dan kedamaian di tengah masyarakat.
Nasihat dari Syeikh Muhammad Abdul Aziz al-Khuli dalam karyanya Al-Adab an-Nabawi mengingatkan pentingnya menjaga lisan dalam kepemimpinan. Ia menuturkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ma'qil bin Yasar, Rasulullah SAW bersabda:
عن معقل بن يسار قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ما من عبد استرعاه الله رعية فلم يحطها نصيحة إلا لم يجد رائحة الجنة
Artinya: “Ma’qil bin Yasar berkata: saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apabila ada seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin rakyat, kemudian ia tidak menjaga nasihat (kepada rakyatnya), maka ia kelak tidak akan mampu menghirup bau surga."
Hadis ini mengingatkan kita bahwa masyarakat adalah amanah besar yang harus dijaga dengan baik oleh pemimpin. Pemimpin wajib memberikan perhatian, perlindungan, pembinaan, dan upaya kemaslahatan bagi masyarakatnya.
Seiring berjalannya waktu, tantangan yang dihadapi oleh seorang pemimpin akan semakin kompleks, terutama dalam dunia yang terus berubah dan dipenuhi dengan dinamika sosial yang cepat. Dalam situasi ini, kemampuan seorang pemimpin untuk menjaga lisan dan bertutur dengan bijak menjadi semakin penting. Kata-kata yang disampaikan dengan tepat dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi, sementara kata-kata yang tidak dipikirkan dengan baik dapat menyebabkan kebingungan, ketakutan, dan bahkan kerusuhan.
Sebagai penutup, penting untuk diingat bahwa kepemimpinan bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga soal tanggung jawab moral dan etika. Seorang pemimpin yang bijak akan selalu menjaga lisannya, karena ia sadar bahwa kata-kata yang keluar dari mulutnya memiliki dampak besar terhadap masyarakat yang dipimpinnya.
Maka dari itu, marilah kita semua, terutama para pemimpin, untuk selalu menjaga lisan. Karena dari sanalah tercermin kualitas kepemimpinan dan tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan.
*) Mochammad Fuad Nadjib, Kepala SMA Islam Sidoarjo dan Kepala Madrasah Diniyah Takmiliyah Al-Maidah Durungbedug, Sidoarjo.
Terpopuler
1
Safari Kepulauan, Ketua Ansor Jatim Sapa Kader di Sapeken dan Kangean
2
Bupati Lukman Hakim Ditetapkan Sebagai Kasatkorcab Banser Bangkalan
3
Bot Farm: Penyesat Opini di Media Sosial
4
Dalil Kesunahan Selamatan Pulang Haji, Tak Sekadar Tradisi Lokal
5
Retreat Organisasi: GP Ansor Pacitan Dorong Adaptasi Aturan Baru dan Regenerasi
6
Kesan Jamaah Haji KBIHU MWCNU Singosari Jalani Ibadah di Tanah Suci
Terkini
Lihat Semua