• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Refleksi Hari Buruh: Percepat Pengesahan RUU PPRT

Refleksi Hari Buruh: Percepat Pengesahan RUU PPRT
Aksi saat Hari Buruh Internasional yang di antaranya menuntut segera disahkannya RUU PPRT. (Foto: NOJ/ ISt)
Aksi saat Hari Buruh Internasional yang di antaranya menuntut segera disahkannya RUU PPRT. (Foto: NOJ/ ISt)

Oleh: Baijuri, ME

Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan bagian dari kelompok masyarakat. PRT selama dan sejauh ini minim mendapatkan apresiasi atas kontribusinya dari masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa PRT adalah rewang atau pembantu dengan upah rendah bahkan gajinya sering mengalami penundaan. Tidak ada batasan jam kerja yang jelas, hingga menanggung semua beban domestik. Kondisi lain seperti tidak adanya hari libur, minimnya akses bersosialisasi, tidak ada kesempatan mengembangkan diri, dan dianggap sebagai masyarakat kelas bawah.

 

Perspektif masyarakat selama ini terhadap PRT masih rendah dan menganggapnya sebagai pekerjaan yang rendah. Padahal PRT telah menjadi bagian dari pekerja formal yang dianggap sebagai profesi baku. PRT merupakan bagian dari sistem ketenagakerjaan, sebagai bagian dari penyelesaian berbagai masalah kerumahtanggaan, dan sebagai mitra kerja dari orang yang mempekerjakan.

 

Selama ini nasib PRT bergantung pada kebaikan majikannya. Jika majikannya baik, maka PRT kemungkinan akan mendapatkan kesejahteraan dan kehidupan yang layak. Jika sebaliknya, maka PRT akan mengalami ketidakadilan bahkan ketidakmanusiawian.

 

Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1) menyebutkan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal (2) menyebut “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

 

Pasal 28 D ayat (1) berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum” dan ayat (2) yang berbunyi “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

 

Oleh sebab itu, PRT membutuhkan payung hukum untuk menjamin terkait kesejahteraan, keselamatan, akses pendidikan, dan semua unsur yang memenuhi hak-hak PRT berdasarkan amanah UUD 1945.

 

PRT adalah pekerja yang berhak atas hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya. Maka, UU PPRT menjadi suatu kebutuhan mendesak dalam perlindungan pekerja karena wilayah kerja bersifat domestik dan privat sehingga tidak ada kontrol dan pengawasan pemerintah, padahal praktik rawan dan rentan terhadap diskriminasi, kekerasan, hingga eksploitasi.

 

RUU PPRT yang diusulkan sejak 2004 hingga kini masih belum disahkan, padahal setiap periodesasi DPR RI selalu masuk ke dalam Prolegnas, terhitung empat kali periode (masa bakti DPR RI 2004-2009, 2009-2014, 2014-2019, dan 2019-2024).

 

Dalam perjalanannya, RUU PPRT pernah masuk dalam pembahasan Komisi IX DPR RI di tahun 2010. Di tahun yang sama hingga tahun berikutnya, 2011, DPR RI lalu melakukan uji publik terhadap RUU ini, hingga tahun 2012 DPR RI pernah melakukan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina.

 

Kemudian, di tahun 2013 Komisi IX DPR RI menyerahkan draft RUU PPRT ke Baleg DPR RI. Sayangnya tidak ada kejelasan sampai periode baru DPR RI 2014-2019 dan persisnya terhenti sampai di Baleg DPR RI. Dan hingga sekarang, sampai detik ini, nasib RUU PPRT masih belum ada kejelasan.

 

Ada beberapa alasan mengapa RUU PPRT harus segera dibahas dan disahkan, sebagai berikut:

 
  1. Sekitar 4,2 juta jumlah PRT (tren setiap tahunnya meningkat), angka yang cukup besar untuk pekerja yang tidak diakui dan dilindungi.
  2. Dari 4,2 juta PRT, 75,5 persen adalah perempuan dan 25 persennya adalah anak-anak  yang rentan eksploitasi dan resiko terhadap human trafficking.
  3. PRT adalah kaum pekerja yang rentan, karena bekerja dalam situasi yang tidak layak seperti jam kerja panjang tidak dibatasi waktu, tidak ada istirahat, tidak ada hari libur, tidak ada jaminan sosial (kesehatan dan ketenagakerjaan).
  4. PRT rawan mendapatkan kekerasan dalam bekerja baik secara fisik, ekonomi, maupun psikis, seperti mendapatkan intimidasi dan isolasi.
  5. PRT Rawan didiskriminasi, pelecehan, dan perendahan terhadap profesi.
  6. PRT tergolong angkatan kerja tidak diakui sebagai pekerja.
  7. PRT tidak diakomodir dalam Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan.
 

Berdasarkan uraian di atas, maka dengan ini Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Jatim menuntut:

 
  1. Mendesak Gugus Tugas Percepatan RUU PPRT untuk segera melakukan langkah-langkah konkret yang efisien untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi UU.
  2. Mendesak Gugus Tugas Percepatan RUU PPRT untuk mencantumkan di dalam draf RUU PPRT mengenai penjelasan dan penegasan terhadap upah minimum regional-provinsi, perlindungan kepentingan relasi/hubungan kerja antara pemberi kerja dan PRT, hakikat PRT sebagai pekerja bukan rewang atau pembantu seperti abdi dalem, dan juga mengatur perlindungan dan jaminan terhadap pemberi kerja.
 

*) Penulis adalah Ketua Umum PKC PMII Jawa Timur masa khidmat 2022-2024.


Opini Terbaru