Malang, NU Online Jatim
Universitas Islam Malang (Unisma) menggelar acara penguatan Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) melalui kitab Al Muqtathofat li Ahlil Bidayat di Masjid Ainul Yaqin dengan menghadirkan Narasumber KH Marzuki Mustamar di bulan Ramadhan, Rabu (12/03/2025).
Kegiatan ini rutin diselenggarakan untuk meningkatkan pemahaman agama, khususnya terkait dengan konsep Aswaja yang selama ini sering menjadi perdebatan di kalangan umat Islam.
Rektor Unisma, Prof. Drs. H. Junaidi Mistar, PhD, mengatakan, acara ini merupakan upaya untuk mengajak masyarakat memperdalam pengetahuan tentang Aswaja yang sangat relevan dengan praktik keagamaan sehari-hari.
Dengan adanya penguatan Aswaja seperti ini, Unisma berharap dapat terus berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual dan pemahaman agama yang matang.
"Mari kita manfaatkan momen ini untuk meningkatkan pemahaman ilmu agama, khususnya mengenai konsep Aswaja yang akan dikaji lebih dalam oleh Kiai Marzuki,” ujarnya yang dilansir dari jatimtimes.com, Ahad (16/03/2025).
Menurut Prof Junaidi, kitab ini membahas mengenai dasar-dasar praktik amaliyah dalam tradisi Aswaja yang sering kali dianggap sebagai kebiasaan yang dibuat-buat atau tidak memiliki landasan yang jelas.
Sementara itu, dalam ceramahnya, Kiai Marzuki Mustamar mengupas salah satu topik penting dalam kitab tersebut, yakni tentang tawasul dan tabarruk yang menjadi sorotan banyak kalangan, terutama dalam perdebatan antara kelompok Nahdlatul Ulama (NU) dan Salafi.
"Pada halaman 12 kitab ini dijelaskan bahwa tawasul dan tabarruk yang dianggap haram, syirik, dan bid’ah oleh sebagian pihak, tidaklah demikian adanya," terangnya.
Kiai Marzuki menyebut, praktik tawasul yang dilakukan oleh sebagian umat Islam, terutama yang berada dalam tradisi NU sering disalahartikan sebagai bentuk penyembahan berhala oleh kelompok Salafi. Praktik tawasul ini berbeda jauh dari praktik penyembahan berhala seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.
“Mengkaitkan keduanya adalah kesalahan besar," tegasnya.
Dijelaskan, orang yang melakukan tawasul tidak meyakini adanya Tuhan selain Allah. Mereka hanya berdoa melalui perantara, seperti makam para wali agar doa mereka lebih cepat diterima oleh Allah. Orang yang musyrik adalah mereka yang meyakini adanya Tuhan selain Allah dan menyembah berhala.
“Sementara orang NU sepenuhnya meyakini Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa, dan mereka tidak pernah menyembah makam atau berhala," paparnya.
Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan toleransi dan pemahaman antar kelompok di masyarakat, serta memperkuat ukhuwah Islamiyah dalam bingkai moderasi beragama.