• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Rehat

Cerita Gus Dur tentang Pelacur, Anjing, dan Kiai

Cerita Gus Dur tentang Pelacur, Anjing, dan Kiai
Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. (Foto: NOJ)
Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. (Foto: NOJ)

Pembahasan soal pelacur dan tokoh agama yang kalau di negeri ini diwakili oleh para habib demikian menyita pembicaraan. Nyaris tidak ada yang sepi dari dua topik tersebut yang celakanya dibenturkan, sehingga terkesan tidak dapat disatukan.

 

Dalam keadaan seperti ini, media ini merindukan sosok almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid. Bagaimana Gus Dur, seperti juga tokoh agama lain senantiasa datang menyejukkan. Memberikan gambaran dan menjelaskan bagaimana seharusnya peran yang hendaknya dilakukan beragama kalangan. Tidak perlu menghakimi apalagi memberikan

 

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Pelita, 20 Juli 1988. Semoga dapat menjadi bacaan alternatif di tengah suasana negeri yang semakin runyam.

 

Mereka yang terbiasa membaca kisah-kisah para sufi, tentu langsung dapat menebak ke mana arah tulisan ini. Bagi mereka, silakan baca hal-hal lain saja, dan tulisan ini dapat ditinggalkan atau dilewatkan.

 

Bagi yang belum tahu, harap bersabar membacanya hingga selesai.

 

Alkisah, seorang pelacur tua, mungkin tinggal seonggok daging penuh dengan kuman penyakit kotor, tertatih-tatih menempuh perjalanan di padang pasir. Perbekalan tinggal air sekendi belaka, padahal perjalanan masih jauh. Tiba-tiba dilihatnya seekor anjing tergeletak begitu saja di tempat sepanas itu. Tiada harapan lagi untuk hidup, karena sudah tidak kuasa berjalan lagi. Tinggal menunggu saat kematian. Tak sampai hatinya melihat penderitaan anjing itu, pelacur tersebut lalu meminumkan airnya yang tinggal sedikit itu ke mulut makhluk sial dangkalan itu.

 

Makhluk hina itu lalu mampu meneruskan perjalanan, dan menyelamatkan diri dari kematian.

 

Menurut cerita itu, sang pelacur akhirnya mati kehausan, sang anjing selamat sampai di kota dan berhasil memelihara kelangsungan hidupnya.

 

Tetapi, kematian pelacur itu berujung pada kebahagiaan abadi, karena ia langsung masuk sorga abadi. Sorga tertinggi. Karena keibaannya yang tiada terhingga kepada makhluk lain, hingga melupakan keselamatan diri sendiri, ia memberikan darma bakti tertinggi kepada kemanusiaan. Ini yang disebut kebahagiaan tanpa batas, dan dengan itu ia bermodal cukup masuk sorga. Walaupun sebelum itu, ia sudah begitu rupa bergelimang dengan dosa.

 

Lain lagi kisahnya sang kiai.

 

Sewaktu akan bepergian ke kota lain, kiai bujangan yang berdiam seorang diri di rumahnya, samar-samar ingat akan kebutuhan burung peliharaannya kepada air minum.

 

Rasa malasnya timbul. Ah, biarkan saja, tidak apa-apa, binatang kan tahan haus. Itu pun hanya sehari. Ternyata kiai yang saleh dan berpengetahuan agama sangat mendalam itu terhambat perjalanannya, kembali ke rumah beberapa hari kemudian. Didapatinya burung tersebut sudah mati. Karena burung toh bukan makhluk berharga tinggi, ia pun segera melupakan akan hal itu. Biasanya saja, ada makhluk lahir dan ada makhluk mati, soal kehausan hanyalah sebab belaka.

 

Bagaimana nasib kiai tersebut di akhirat kelak? Menurut cerita sufi itu, ia masuk Neraka Wail, neraka terdalam. Pasalnya? Karena ia menganggap sepele keselamatan makhluk yang ada di dunia ini. Setiap makhluk, dari yang sebesar- besarnya hingga yang sekecil-kecilnya sekalipun, memiliki nilainya sendiri. Tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi bagi siklus kehidupan secara umum. Bagi kelangsungan kehidupan di muka bumi.

 

Dengan kata sederhana, sikap pak kiai saleh dan berilmu agama mendalam itu adalah sikap meremehkan pentingnya arti kehidupan secara keseluruhan. Sikap tidak menghargai keagungan dan kehebatan kreasi Allah yang sangat menakjubkan itu. Sikap meremehkan kehendak Allah akan perlunya kehidupan dilestarikan sebagai tanda pengakuan akan keagungan dan kebesaran-Nya sendiri.

 

Dua dimensi dari cinta dan kasih sayang sesama makhluk, seperti dipaparkan cerita sederhana di atas. menunjukkan dengan jelas bahwa keberagamaan secara formal semata-mata belum menjamin adanya rasa keberagamaan dalam arti sesungguhnya.

 

Masih jauh nian, jarak antara formalitas kehidupan beragama dan kedalaman kehidupan beragama itu sendiri. Masih sangat lebar jurang antara religi dan religiusitas, antara hidup beragama dan rasa keberagamaan.

 

Tuntutan bagi kita sudah tentu adalah bagaimana menjembatani antara keduanya. Semata-mata mengandalkan religi, atau formalitas keagamaan belaka; kita tidak akan mencapai religiusitas. atau rasa keberagamaan, yang cukup mendalam untuk menyelamatkan diri dari godaan melupakan kebesaran Allah dan keagungan-Nya.

 

Ternyata tidak mudah menjadi seorang beragama yang benar-benar dapat dinamakan beragama, bukan?

 


Editor:

Rehat Terbaru