• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Rehat

Ketika Gus Dur Mengisahkan “Musyawarah Burung” ke Kiai Chudlori

Ketika Gus Dur Mengisahkan “Musyawarah Burung” ke Kiai Chudlori
Kiai Chudlori
Kiai Chudlori

Suatu malam, setelah para santri selesai mengaji, Kiai Chudlori mendapati Gus Dur muda lagi khuyuk membaca sebuah buku. Gus Dur mulai tercatat sebagai santri Pesantren Tegalrejo tahun 1957. Ia hanya butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan pendidikan di bawah asuhan Kiai Chudlori, santri lainnya memerlukan waktu setidaknya empat tahun(Greg Barton: 2003/49). 


Setelah meletakkan peci hitam di atas rak, Kiai Chudlori duduk di samping santri kinasihnya itu.
“Baca apa, Dur?” tanya Kiai Chudlori.


“Ini kiai, Muntiquth Thayr,” jawab Gus Dur sembari menunjukkan buku yang sedang ia baca. 

 

 “Rapat manuk, sopo seng nulis?” 

 

“Iya kiai, Musyawarah Burung, karangan seorang sufi, Fariduddin Attar.”

 

Aguk Irawan dalam buku Peci Miring: Novel Biografi Gus Dur (2015:228) mengisahkan bagaimana Kiai Chudlori begitu antusian menyimak penjelasan Gus Dur soal buku berbentuk puisi itu.

 

Apik tenan kuwi. Lha, bukunya mengaji tentang apa, Dur?”

 

“Ini kisah tentang burung-burung yang binggung, kiai,” jawab Gus Dur. Kiai Chudlori  lalu minta  Gus Dur mengurai isi dari buku yang ia baca:

 

“Dikisahkan, segala burung di dunia, yang dikenal atau tidak dikenal, datang berkumpul. Mereka sama-sama memiliki satu pertanyaan, siapakah raja mereka? Di antara mereka ada yang berkata, “Rasanya tak mungkin negeri dunia ini tidak memiliki raja. Maka rasanya mustahil bila kerajaan burung tanpa penguasa! Jadi, kita semua memiliki raja. Ya, raja!”  

 

“Dalam keadaan serbabingung, tampillah burung Hudhud. Ia mengatakan pada semua burung bahwa memang bangsa burung memiliki raja. Namanya Simurgh. Kalau bangsa burung hendak mengenal rajanya, mereka harus menempuh perjalanan yang sangat jauh dan berat menuju Simurgh”.

 

“Mereka mau, Dur?”

 

“Iya, kiai. Dipimpin Hudhud, mereka akhirnya mencari Simurgh”.

 

“Ketemu?”

 

“Tidak kiai. Setelah hanya tersisa kurang lebih 30 jenis, mereka akhirnya menemukan diri mereka sendiri”.

 

Yo, yo...Mudeng aku”

 

“Inggih, kiai”

 

Lalu, sang kiai terdiam. Ia pandangi Ad-Dakhil, yang juga memandang ke arahnya. Tetapi Ad-Dakhil tak mampu menatap lama. Ia lantas kembali pada rangkaian-rangkaian kalimat indah dari buku Fariduddin Attar itu.
 
 


Rehat Terbaru