Ketika Gus Dur Mengisahkan “Musyawarah Burung” ke Kiai Chudlori
Kamis, 17 September 2020 | 05:30 WIB
Zen Muhammad
Penulis
Suatu malam, setelah para santri selesai mengaji, Kiai Chudlori mendapati Gus Dur muda lagi khuyuk membaca sebuah buku. Gus Dur mulai tercatat sebagai santri Pesantren Tegalrejo tahun 1957. Ia hanya butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan pendidikan di bawah asuhan Kiai Chudlori, santri lainnya memerlukan waktu setidaknya empat tahun(Greg Barton: 2003/49).
Setelah meletakkan peci hitam di atas rak, Kiai Chudlori duduk di samping santri kinasihnya itu.
“Baca apa, Dur?” tanya Kiai Chudlori.
“Ini kiai, Muntiquth Thayr,” jawab Gus Dur sembari menunjukkan buku yang sedang ia baca.
“Rapat manuk, sopo seng nulis?”
“Iya kiai, Musyawarah Burung, karangan seorang sufi, Fariduddin Attar.”
Aguk Irawan dalam buku Peci Miring: Novel Biografi Gus Dur (2015:228) mengisahkan bagaimana Kiai Chudlori begitu antusian menyimak penjelasan Gus Dur soal buku berbentuk puisi itu.
“Apik tenan kuwi. Lha, bukunya mengaji tentang apa, Dur?”
“Ini kisah tentang burung-burung yang binggung, kiai,” jawab Gus Dur. Kiai Chudlori lalu minta Gus Dur mengurai isi dari buku yang ia baca:
“Dikisahkan, segala burung di dunia, yang dikenal atau tidak dikenal, datang berkumpul. Mereka sama-sama memiliki satu pertanyaan, siapakah raja mereka? Di antara mereka ada yang berkata, “Rasanya tak mungkin negeri dunia ini tidak memiliki raja. Maka rasanya mustahil bila kerajaan burung tanpa penguasa! Jadi, kita semua memiliki raja. Ya, raja!”
“Dalam keadaan serbabingung, tampillah burung Hudhud. Ia mengatakan pada semua burung bahwa memang bangsa burung memiliki raja. Namanya Simurgh. Kalau bangsa burung hendak mengenal rajanya, mereka harus menempuh perjalanan yang sangat jauh dan berat menuju Simurgh”.
“Mereka mau, Dur?”
“Iya, kiai. Dipimpin Hudhud, mereka akhirnya mencari Simurgh”.
“Ketemu?”
“Tidak kiai. Setelah hanya tersisa kurang lebih 30 jenis, mereka akhirnya menemukan diri mereka sendiri”.
“Yo, yo...Mudeng aku”
“Inggih, kiai”
Lalu, sang kiai terdiam. Ia pandangi Ad-Dakhil, yang juga memandang ke arahnya. Tetapi Ad-Dakhil tak mampu menatap lama. Ia lantas kembali pada rangkaian-rangkaian kalimat indah dari buku Fariduddin Attar itu.
Terpopuler
1
Sound Horeg Diharamkan, Ini Penjelasannya
2
Pondok Besuk Pasuruan: Sound Horeg Hukumnya Haram
3
Di Balik Klaim NU: Membedakan Antara Cinta dan Catut
4
Sejarah dan Alasan Muharram sebagai Bulan Pertama Tahun Hijriyah
5
Pesantren Miftahul Huda Doho Madiun Ulang Tahun Ke-10, Kini Dirikan SMP
6
Holiday Pesantren Darun Nun, Tempat Liburan Edukatif yang Menyenangkan bagi Santri Cilik
Terkini
Lihat Semua