• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Rehat

Kenangan Senyum Hangat Kiai Bashori Alwi dan Rokok Surya

Kenangan Senyum Hangat Kiai Bashori Alwi dan Rokok Surya
Almaghfurlah KH Bashori Alwi, pendiri dan pengasuh PIQ Malang.
Almaghfurlah KH Bashori Alwi, pendiri dan pengasuh PIQ Malang.

Oleh: Akh Yunan Athoillah

 

Pagi itu udara Singosari tetap dingin menusuk tulang seperti biasanya, pegunungan putri tidur yang indah nampak seperti sosok putri yang tidur lelap diatas atap rumah rumah, aku cepatkan langkah kaki menuju gerbang asrama Pesantren Ilmu al-Qur’an (PIQ) I, sambil menenteng ‘telesan’ (baca: sarung khusus buat santri mandi), setelah saya baru saja mandi pagi di zawiyah (baca: tempat mandi santri PIQ, yang jaraknya 500 meter dari pondok ke arah Jalan Tumapel).

 

Saat sampai di lokal A (PIQ 1 lantai dasar), terdengar sayup-sayup suara khas murabbi arwakhina Kiai Bashori Alwi yang akan memulai pengajian rutin Tafsir Jalalain pagi di aula ‘geladak’ (lantai 2 yang terbuat dari serpihan kayu di atas lokal A, sebelum PIQ 1 direnovasi).

 

Namun entah, tanpa sadar dengan lugunya tiba tiba sudah saya ayunkan kaki lewat samping aula gladak, menyusuri tepian majelis tafsirnya kiai. Maunya sih menuju kamar di lokal b (B2) yang ada di lantai tiga.

 

Saat itulah, detik-detik murabbi arwahina nimbali (memanggil). Jujur sebagai santri baru di PIQ I ini pertama kali dipanggil oleh murobbi arwakhina. Betapa gembiranya hati ini, antara bangga, sungkan, bingung dan takut. ”Dalem kiai,” saya beranikan diri bersimpuh di di samping beliau sembari menunggu titahnya.

 

Dimulai dengan senyum yang menurut saya begitu teduh, Kiai Bashori Alwi dawuh: “Tolong, saya belikan Surya.”

 

Sontak saya langsung bergegas pamit untuk memenuhi perintah kiai.

 

Dalam hati, rasanya senang sekali menjalankan titah sang maha guru. Saat itu yang ada dalam benak saya hanyalah perasaan bahwa ini adalah kesempatan menerapkan prinsip santri sejati yang selalu dipesankan para asatidz yang mengkader kami saat di PIQ II dulu, yaitu “Qadamul khidmat ala ta'alum (dahulukan melayani guru dari menuntut ilmunya).” Inilah kesempatan itu pikir saya. Dan dengan polos tanpa pikir panjang, segera saja aku beli rokok Surya di toko kelontong di samping pesantren.

 

Nah, saat rokok Surya saya haturkan ke hadapan murobbi arwahina, saat itulah ”geeeeeeeeeer” seluruh santri senior yg mengikuti pengajian pagi itu kompak tertawa.

 

Dan murobbi arwahinapun kulihat tersenyum. Senyum hangat yang sampai kapan pun akan saya kenang. Dengan senyum itu beliau dawuh: ”Bukan rokok Surya yang saya maksud, tapi koran Surya,”

 

Looss... betapa ceroboh dan malunya saya, wahai saudara-saudara. Inilah yang saya sebut sebagai tragedi ”rokok Surya”.

 

Awalnya saya malu sampe berminggu-minggu lantaran mendahulukan kegembiraan karena diperintah sang guru terkasih. Namun ceroboh lupa tidak berpikir panjang, lupa kalo kiai tidak merokok, lupa kalo anturan pesantren dilarang merokok, loh kok malah beli rokok Surya? Hemmm malu sekali.

 

Tetapi akhirnya saya menemukan hikmah peristiwa ‘rokok Surya’ ini, sehingga tidak henti-hentinya saya syukuri peristiwa ini sebagai kecerobohan yang berkah.Yang saya maknai dari peritiwa ini adalah kenangannya. Kenangan lucu unik bersama murobbi arwakhina, bisa jadi sepanjang sejarah beliau mengasuh PIQ, baru kali ini ada santri disuruh beli koran malah beli rokok, weleh-weleh.

 

Sebagai barisan santri pinggiran, yang bukan santri berprestasi, bukan santri kesayangan kiai, bukan pula santri yang terdekat dengan beliau, sulit rasanya membuat kenangan unik bersama beliau. Tapi berkah wasilah peristiwa ‘rokok Surya’ yang tanpa sengaja itu membuat murobbi arwahina ‘tersenyum hangat’, sebuah senyuman hangat sang ahlul jannah yang saya terima dan akan terus kenang sebagai santri pinggiran ini.

 

Disapa Kiai Hamid sebagai Ahli Surga

Murobbi arwakhina sang ahlul jannah?, Yup! Begitulah status beliau. Ini bukan status kaleng-kaleng, bukan kultus saya sebagai santri kepada guru, akan tetapi ini adalah status yang disematkan langsung kepada Kiai Bashori Alwi oleh seorang aulia yang pesareannya di belakang Masjid Agung Pasuruan, yaitu almagfurlah Kiai Abdul Hamid.

 

Kejadianya dulu sekali, jauh sebelum PIQ dibanjiri ribuan santri, yang kini alumninya tersebar di setiap provinsi di Indonesia, bahkan di luar negeri.

 

Singkat cerita, waktu itu ketika awal perintisan PIQ, murobbi arwahina sowan kepada Kiai Hamid Pasuruan untuk meminta doa atas pesantren yang sedang dirintis. Saat murobbi arwakhian sampai di pekarangan ndalem, Kiai Hamid spontan menyambut beliau dengan berkata: ”Syeh Bashori Alwi ahlul jannah, Syeh Bashori alwi ahlul jannah” sampai tiga kali.

 

Kiai Hamid juga bertanya berapa hektar luas lahannya dan berdoa "linaf'i, wal qabul, wal jamal, wal kamal" untuk Pesantren Ilmu Al Quran. Konon Ada banyak saksi saat itu yang menyaksikan peristiwa ini.

 

Bagi saya, inilah karomah Kiai Hamid yang mashur seorang waliullah itu, melalui kasyaf kewaliannya mendefinisikan Kiai Basori Alwi sebagai sosok ahlul jannah. Maka betapa kenangan tentang ‘senyuman hangat’ murobbi arwakhina, yang dihadiahkan untuk saya pada tragedi ‘rokok Surya’ itu adalah kenangan kebanggaan saya sebagai santri pinggiran bersama sang kiai ahlul jannah, sebagaimana ucapan Kiai Hamid di atas.

 

Dan tidak terasa 25 tahun sudah peristiwa ‘rokok Surya’ itu berlalu, namun senyum hangat murobbi arwahina itu selalu ada dalam ingatan.

 

Tapi pada Senin (23/3/2020) tiba-tiba saja menjadi hari duka cita, seketika bergetar dada saya mendengar kabar kembalinya sang murobbi KH Basori Alwi ke haribaan ilahi. Begitu cepatnya, rasanya masih kemarin saya melihat ‘senyuman hangat’ beliau dalam tragedi ‘rokok Surya’ itu.

 

Akhirnya bersama air mata kesedihan seorang santri, saya datang ke Singosari. Kabar daerah Malang sebagai zona merah virus Covid-19 tidak menyurutkan langkah saya melakukan penghormatan kepada beliau murobbi arwahina wa sanadi ila Rasulillah, sebuah penghormatan untuk yang terakhir kalinya.

 

Saat memandang pusara beliau, tak terasa air mata ini mentes, dengan duka mendalam dan takdim saya haturkan salam pada beliau dalam hati: "Asalamualaikum ya murobbi arwahina, selamat bertemu kesejahteraan barzahi kiai kami. Selamat bertemu kembali dengan Kiai Hamid yang jauh hari telah menvonis jenengan sebagai ahlul jannah. Semoga alfakir terakui sebagai santri panjengan, alfakir Yunan Athoillah yang panjenengan suruh beli koran Surya tapi keliru rokok Surya, yang selalu berharap untuk bisa mendapatkan kembali senyum hangat murobbi arwakhina kelak di surga, amin ya rab.”

 

Adalah santri KH Bashori Alwi, dan kini dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

 


Editor:

Rehat Terbaru