Oleh: Vika Nailul R*)
Wacana keadilan gender dalam perspektif Islam kian berkembang. Perdebatan mengenai kedudukan perempuan yang dipandang sebelah mata menjadi semakin tak perlu, seiring banjirnya diskusi ilmiah yang meluruskan penafsiran narasi keislaman yang masih kabur.
Saat ini, semestinya diskursus mengenai kedudukan perempuan tak lagi dipandang pelik. Berbekal pemikiran yang telah mencapai perkembangannya sejauh ini, fondasi gagasan terkait peran dan posisi perempuan seharusnya sudah menjadi kesepakatan umum. Tentu, seiring berjalannya waktu, topik tersebut akan terus bercabang dan berkembang sehingga akan selalu muncul isu-isu baru yang terkait.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Menilik wacana tersebut, selanjutnya perlu fokus perhatian pada konstruksi sosial yang nyata terjadi saat ini. Keadilan gender yang menjadi cita-cita bersama akan tetap menjadi angan-angan jika hanya berhenti pada gagasan tanpa upaya perwujudan nyata. Pada dasarnya, perkembangan gagasan yang telah mencapai puncaknya tidak secara otomatis selalu diikuti oleh realita yang ada, terlebih jika bicara tentang sosial-budaya.
Kita perlu membuka mata lebar-lebar dan menyadari apa yang tengah terjadi. Pada era majunya pengetahuan seperti saat ini, ketimpangan tersebut sama sekali tidak sulit ditemui. Anggaplah dalam urusan domestik, masih banyak perempuan yang berencana menumpukan hidupnya secara penuh pada suaminya. Banyak calon istri yang menyambut pernikahan hanya dengan bersiap untuk berbakti pada suami. Padahal, pasal perempuan dalam pernikahan lebih dari itu.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Dalam Islam, setiap pasangan memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Jika dilihat secara objektif —bukan sebagai refleksi pribadi, keberadaan hak tidak untuk diabaikan begitu saja. Eksistensi hak dalam Islam bertujuan untuk mencapai keadilan tanpa harus menyamakan peran dan tanggung jawab dengan pasangan. Alhasil, upaya tersebut bisa diwujudkan melalui kesadaran terhadap hak dan kewajiban secara bersamaan.
Perlu digaris bawahi bahwa meskipun seorang istri diperintahkan untuk berbakti pada suami, namun tidak serta merta semua persoalan harus ditumpukan pada pasangan secara total. Beberapa persoalan perempuan tidak bisa begitu saja dititipkan pada keridaan suami, terlebih mengenai hak yang selayaknya didapatkan. Oleh karenanya, perempuan mesti berdaya, baik sebagai individu atau sebagai pasangan.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Di luar ranah domestik, ketidak adilan gender juga bukan hal yang langka. Akses terhadap pendidikan misalnya. Sebagai manusia, perempuan pun berhak memperoleh pendidikan yang layak. Faktanya, banyak forum diskusi atau bahkan pengajian atau madrasah, entah formal maupun nonformal, yang masih memarginalkan perempuan.
Dalam masyarakat, kemunculan forum ilmiah masih didominasi laki-laki. Diskusi di warung kopi hingga ruang pengambilan keputusan publik banyak dipengaruhi laki-laki. Tidak mudah bagi perempuan untuk mencoba bergabung begitu saja, sebab selain merasa tidak aman karena stereotip, ruang gerak perempuan juga seringkali terbatas karena beban ganda yang disandangnya di ranah domestik. Selain itu, hal ini juga didasarkan pada pokok bahasan yang kerap kali tidak relevan dengan pengalaman perempuan.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya narasi agama, termasuk dalam kitab-kitab klasik, yang berbicara seakan-akan dari sudut pandang laki-laki, sehingga rawan disalah pahami bahwa perempuan tak ada perspektif sendiri. Sebenarnya hal ini bukan masalah yang perlu diperdebatkan, sebab dengan berbagai pertimbangannya, mushonif suatu kitab pasti memperhitungkan ketersediaan ruang, efektivitas penyampaian gagasan, atau pertimbangan lain. Namun, untuk menghadapi tantangan zaman, semestinya masyarakat tak berhenti di sini.
Beberapa pengalaman biologis dan sosial perempuan juga berbeda dengan laki-laki. Konsekuensinya, kedudukan keduanya tidak bisa disama ratakan dalam topik tertentu. Maka dari itu, diperlukan sounding atau narasi lebih lanjut yang berpijak pada perspektif perempuan untuk memastikan bahwa perempuan bukan hanya komoditas, melainkan subjek utuh.
Selain itu, perempuan harus menghadapi tantangan tersendiri ketika membentuk wadah yang berupaya memberdayakan perempuan sendiri, termasuk forum ilmiah. Dalam beberapa kasus, hal ini terhambat oleh minimnya minat masyarakat dan nihilnya jaminan untuk menghasilkan produk yang menjanjikan kedudukan di ranah yang lebih luas. Umumnya, forum ilmiah bentukan perempuan sendiri seakan-akan hanya sebagai ajang dialog antar sesama perempuan, yang tidak begitu berarti, tidak layak dipertimbangkan, apalagi ditindak lanjuti dengan lebih serius.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Suka tak suka, kita harus mengakui bahwa dalam hal ini, posisi perempuan masih terpinggirkan. Merupakan suatu kabar gembira jika fenomena-fenomena seperti yang telah disebutkan tadi semakin menyusut seiring berjalannya waktu. Namun hingga saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena senada masih menjamur di masyarakat.
Perlu disoroti bahwa terkadang, marginalisasi perempuan tidak melulu karena dimarginalkan, tetapi bisa jadi karena memarginalkan diri. Kesempatan, ruang, dan celah yang telah tersedia tidak difungsikan secara maksimal. Maka tak heran jika dalam situasi lain perempuan tak lagi diberi celah, sebab dianggap sia-sia. Akibatnya, isu keadilan gender akan terus-menerus disuarakan, meski inti gagasannya tak perlu diperdebatkan lagi.
Pada akhirnya, subjektivitas perempuan sebagai manusia secara utuh semestinya dipahami oleh semua kalangan, baik laki-laki atau perempuan. Seperti halnya kemerdekaan, hal ini tidak semestinya murni didapatkan dengan cara “diberi”, namun perlu diperjuangkan. Oleh karena itu, selayaknya tercapainya keadilan gender ini menjadi upaya bersama.
Adakalanya seseorang perlu mencari peluang kursi sendiri dan mengucap “permisi” untuk mendapatkan tempat duduk yang lebih layak, bukan hanya menunggu orang lain menyediakan tempat tersebut untuknya. Di saat bersamaan, orang lain juga perlu mempertajam kepekaan agar mampu melihat bahwa ada seseorang yang begitu memerlukan tempat duduk. Bukan sekadar demi kenyamanannya, namun juga demi kelangsungan hidup bersama.
*) Vika Nailul R, pengajar di Tarbiyatul Muballighin Blitar sekaligus alumnus UIN Sunan Kalijaga.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND