Opini

Semarak Agustusan: Mengapa Harus Bijak?

Senin, 4 Agustus 2025 | 19:00 WIB

Semarak Agustusan: Mengapa Harus Bijak?

Ilustrasi semarak Agustusan di Indonesia. (Foto: Istimewa)

Bulan Agustus kembali tiba, dan bagi bangsa Indonesia, bulan ini bukan sekadar pergantian waktu, tetapi momentum istimewa dalam sejarah perjalanan negeri. Setiap tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia. Di bulan ini, hampir di seluruh pelosok negeri menggelar berbagai macam kegiatan bernuansa nasionalisme dan kebersamaan.

 

Mulai dari upacara bendera, lomba-lomba rakyat, pentas seni, gerak jalan, hingga karnaval budaya, menghiasi jalan-jalan utama kota maupun desa. Sayangnya, semarak itu tidak jarang membawa konsekuensi negatif bagi masyarakat lainnya, khususnya dalam bentuk kemacetan arus lalu lintas dan terganggunya akses jalan umum.

 

Fenomena ini menjadi perhatian bersama, khususnya umat Islam, untuk menakar sejauh mana aktivitas tersebut masih dalam batas maslahat dan tidak menyalahi kaidah syar’i.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Semangat Nasionalisme dalam Kegiatan HUT RI

Kegiatan-kegiatan Agustusan sejatinya lahir dari semangat cinta Tanah Air dan penghormatan terhadap para pahlawan bangsa. Gerak jalan, karnaval, dan lomba-lomba rakyat merupakan simbol ekspresi kegembiraan rakyat menyambut hari bersejarah. Kegiatan ini juga menjadi sarana mempererat ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan) antar warga, tanpa memandang suku, agama, atau status sosial.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Dalam Islam, cinta Tanah Air (hubbul wathan) merupakan bagian dari iman. Hal ini dikuatkan oleh kaidah fikih yang menyatakan:

 

حب الوطن من الإيمان

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Artinya: "Cinta tanah air adalah bagian dari iman."

 

Meskipun dalil ini tergolong sebagai perkataan ulama, bukan sabda Nabi Muhammad SAW, namun maknanya sejalan dengan semangat Islam yang menekankan pentingnya menjaga negeri dan menghargai jasa pendahulu. Allah SWT pun memuji negeri yang aman dan damai, seperti dalam firman-Nya:

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۢ بُيُوتِكُمْ سَكَنًۭا...

 

Artinya: "Dan Allah menjadikan rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal..." (QS. An-Nahl: 80)

 

Ini menunjukkan bahwa mencintai tempat tinggal, menjaga, dan merayakan kemerdekaannya, merupakan bagian dari ibadah sosial yang berdampak positif.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Etika Sosial dan Hak Umum dalam Syariat Islam

Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah, tetapi juga interaksi sosial dan penggunaan fasilitas publik. Dalam Islam, ruang jalan adalah hak milik bersama (haqqul ‘amm). Maka segala aktivitas yang mengganggu, memblokade, atau menghambat arus lalu lintas wajib dikaji ulang dari aspek maslahat dan mudaratnya.

 

Rasulullah SAW bersabda:

 

إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ فِي الطُّرُقَاتِ...

 

Artinya: "Janganlah kalian duduk di jalan-jalan umum.”

 

Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak bisa meninggalkannya karena kami biasa duduk untuk berbincang.”

 

Rasulullah SAW pun bersabda:

 

فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِسَ، فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ

 

Artinya: “Jika kalian tetap harus duduk di jalan itu, maka berikanlah haknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Hak jalan antara lain adalah: tidak mengganggu pengguna jalan lain, tidak menghalangi laju kendaraan, dan tidak menyebabkan kerusakan fasilitas umum. Jika duduk saja tidak dibolehkan tanpa memberi “hak jalan”, bagaimana halnya dengan menutup total jalan umum dalam waktu lama untuk kegiatan yang tidak darurat?

 

Apalagi jika kegiatan itu tidak memberikan ruang bagi warga lain yang sedang membawa jenazah, pasien, atau terdesak urusan penting. Dalam hal ini, Islam memprioritaskan kemaslahatan bersama di atas kegiatan seremonial, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah:

 

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

 

Artinya: "Menghindari kerusakan harus didahulukan dari meraih kemaslahatan.”

 

Lebih dari itu, Islam sangat tegas melarang tindakan yang menyulitkan sesama. Rasulullah SAW bersabda:

 

مَنْ ضَارَّ ضَارَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ

 

Artinya: "Barang siapa menyusahkan orang lain, maka Allah akan menyusahkannya. Dan barang siapa membuat kesulitan, maka Allah akan menyulitkannya." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

 

Maka jelas, kegiatan apapun yang menyebabkan kesulitan kolektif harus dikaji ulang secara jujur dan bijak.

 

Solusi Praktis dan Perspektif Fikih Sosial

Menyelaraskan antara semangat merdeka dan syariat Islam bukan perkara mustahil, justru ini adalah ladang kreativitas dan kebijakan. Pertama, perayaan HUT RI sebaiknya diarahkan pada kegiatan yang tidak mengganggu lalu lintas, misalnya: upacara terpusat di lapangan luas, lomba di halaman sekolah, atau karnaval dengan rute alternatif di jam-jam non sibuk.

 

Kedua, penyelenggara kegiatan harus mengedepankan istikhsan (kebijakan maslahat) dan maslahah mursalah (kebaikan yang tidak bertentangan dengan syariat). Jika kegiatan harus menutup jalan, maka wajib dikoordinasikan dengan kepolisian, dishub, dan masyarakat setempat untuk menyediakan jalur darurat dan informasi yang jelas.

 

Ketiga, kegiatan seperti gerak jalan bisa disesuaikan waktunya —tidak pada jam sibuk kerja atau sekolah. Bahkan bisa dibuat sistem berbasis shift atau zona, agar tidak semua peserta turun serentak.

 

Keempat, penting untuk menanamkan edukasi spiritual dalam perayaan, seperti tahlil nasional, pembacaan doa kemerdekaan, ceramah refleksi perjuangan, hingga santunan untuk veteran atau keluarga pahlawan. Dengan ini, kemerdekaan bukan hanya dikenang secara simbolik, tetapi dihayati secara ruhani.

 

Dalam kerangka fikih sosial, semua kebijakan publik harus mengacu pada prinsip raf’ul haraj (mengangkat kesulitan), jalbul mashalih (menarik kemaslahatan), dan takyif maqashid (penyesuaian dengan tujuan syariat). Imam Asy-Syatibi dalam Al-Muwafaqat menegaskan bahwa maqashid syariah adalah:

 

حفظ الدين، والنفس، والعقل، والمال، والنسل

 

Artinya: "Menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan".

 

Jika perayaan justru mengancam salah satunya, maka syariah berpihak pada penghentian atau modifikasi kegiatan tersebut.

 

Penutup

Kemerdekaan adalah anugerah besar yang wajib disyukuri. Namun bentuk syukur itu bukan hanya pada pesta dan upacara, melainkan juga dalam cara kita menjaga keteraturan sosial dan saling menghormati sesama warga. Islam bukan agama yang anti-perayaan, tetapi agama yang menuntut adab dalam ekspresi dan etika dalam euforia.

 

Merayakan Agustusan seharusnya menjadi momen reflektif: sudahkah kita menjadi warga negara yang bertanggung jawab? Sudahkah kita menghargai ruang publik sebagai amanah bersama? Sudahkah nasionalisme kita menjelma menjadi pelayanan terhadap sesama?

 

Allah SWT mengingatkan:

 

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ...

 

Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan..." (QS. An-Nahl: 90)

 

Maka marilah kita jadikan perayaan HUT RI sebagai cermin tanggung jawab spiritual dan sosial. Meriah tanpa lalai, semarak tanpa menyusahkan, nasionalisme yang beradab, dan syukur yang tak sekadar seremoni. Dengan cara ini, kemerdekaan benar-benar menjadi rahmat, bukan sekadar rutinitas tahunan yang melahirkan keluhan dari warga yang tak bersuara. Dirgahayu Republik Indonesia!

ADVERTISEMENT BY ANYMIND