• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Keislaman

Begini Keistimewaan dan Sejarah Shalat Jumat

Begini Keistimewaan dan Sejarah Shalat Jumat
Jadikan jumatan sebagai sarana silaturahim. (Foto: NOJ/HRk)
Jadikan jumatan sebagai sarana silaturahim. (Foto: NOJ/HRk)

Hari Jumat adalah sayyidul ayyam. Artinya Jumat mempunyai keistimewaan dibandingkan hari lain. Jika nama-nama hari yang lain menunjukkan urutan angka (Ahad artinya hari pertama, itsnain atau Senin adalah hari kedua, tsulatsa atau Selasa adalah hari ketiga, arbi’a atau Rabu adalah hari keempat dan khamis atau Kamis adalah hari kelima), maka Jumat adalah jumlah dari kesemuanya.

 

Menurut sebagian riwayat kata Jumat diambil dari kata jama’a yang artinya berkumpul. Yaitu hari perjumpaan atau hari bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa di Jabal Rahmah. Kata Jumat juga bisa diartikan sebagai waktu berkumpulnya umat Muslim untuk melaksanakan kebaikan –shalat Jumat-. Salah satu bukti keistimewaan hari Jumat adalah disyariatkannya shalat Jumat. Yaitu shalat Dluhur berjamaah pada hari Jumat. -Jum’atan-. Bahkan mandinya hari Jumat pun mengandung unsur ibadah, karena hukumnya sunnah.

 

Dalam Al-Hawi Kabir karya al-Mawardi, Imam Syafi’i menjelaskan sunnahnya mandi pada hari Jumat. Meskipun shalat Jumat dilaksanakan pada waktu shalat Dluhur, namun mandi Jumat boleh dilakukan semenjak dini hari, setelah terbit fajar. Salah satu hadits menerangkan bahwa siapa yang mandi pada hari Jumat dan mendengarkan khutbah Jumat, maka Allah akan mengampuni dosa di antara dua Jumat. Oleh karena itu, baiknya kita selalu menyertakan niat setiap mandi di pagi hari Jumat. Karena hal itu akan memberikan nilai ibadah pada mandi kita. Inilah yang membedakan mandi di pagi hari Jumat dengan mandi-mandi yang lain.

 

Empat Puluh Orang

Shalat Jumat -Jumatan- bisa dianggap sebagai muktamar mingguan –mu’tamar usbu’iy- yang mempunyai nilai kemasyarakatan sangat tinggi. Karena pada hari Jumat inilah umat Muslim dalam satu daerah tertentu dipertemukan. Mereka dapat saling berjumpa, bersilaturahim, bertegur sapa, saling menjalin keakraban. Dalam kehidupan desa Jumatan dapat dijadikan sebagai wahana anjangsana. Mereka yang mukim di daerah barat bisa bertemu dengan kelompok timur dan sebagainya.

 

Begitu pula dalam lingkup perkotaan, Jumatan ternyata mampu menjalin kebersamaan antar karyawan. Mereka yang setiap harinya sibuk bekerja di lantai enam, bisa bertemu sesama karyawan yang hari-harinya bekerja di lantai tiga dan seterusnya.

 

Kebersamaan dan silaturahim ini tentunya sulit terjadi jikalau Jumatan boleh dilakukan seorang diri seperti pendapat Ibnu Hazm, atau cukup dengan dua orang saja seperti qaul-nya Imam Nakho’i, atau pendapat Imam Hanafi yang memperbolehkan Jumatan dengan tiga orang saja berikut imamnya.

 

Oleh sebab itu menurut Imam Syafi’i Jumatan bisa dianggap sah jika diikuti oleh empat puluh orang lelaki. Dengan kata lain, penentuan empat puluh lelaki sebagai syarat sah shalat Jumat oleh Imam Syafi’i memiliki faedah yang luar bisa. Hal ini membuktikan betapa epistemologi Aswaja atau Ahlussunnah wal Jama’ah- yang dipraktikkan oleh Imam Syafi’i selalu mendahulukan kepentingan bersama.

 

Kebersamaan dan persatuan umat dalam pola pikir Aswaja adalah hal yang sangat penting. Tidak hanya dalam ranah akidah dan politik saja, tetapi juga dalam konteks ibadah.

 

Ustadz Ulil Hadrawi
Penulis Keislaman NU Online


Editor:

Keislaman Terbaru