Terkadang laki-laki diharuskan untuk memilih antara istri atau ibu/bapak. Ia menghadapi pilihan sulit dan dilematis. Pasalnya, diharuskan secara agama untuk memperlakukan kedua pihak secara baik.
Al-Qur’an menyebut keharusan anak memperlakukan kedua orang tuanya secara baik sebagai bentuk bakti anak kepada kedua orang tua.
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: Kami memerintahkan manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah kepayahan dan menyapihnya pada dua tahun. ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu. (Surat Luqman ayat 14).
Artikel diambil dari: Apakah Boleh Mengutamakan Nafkah Istri daripada Ibu Kandung?
Hadits Rasulullah SAW juga tidak kurang-kurang menyebut ibu sekian kali sebagai orang yang paling berhak untuk diperlakukan secara baik sebagaimana riwayat berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, ia bercerita seseorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya: Siapa yang paling berhak kuperlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa? Nabi berkata lagi: Ibumu. Terus siapa? Nabi berkata lagi: Ibumu. Siapa lagi? Bapakmu, kata Nabi. (HR Bukhari dan Muslim).
Pada saat yang sama, seseorang juga diperintahkan untuk memperlakukan secara baik istri. Surat Al-Baqarah ayat 233 mengamanahkan seseorang untuk memberikan makanan dan pakaian yang layak sebagai bentuk nafkah kepada istrinya.
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: Kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istri dengan cara yang baik. (Surat Al-Baqarah ayat 233).
Sabda Rasulullah SAW berikut ini juga kewajiban nafkah seorang suami terhadap istri. Hadits berikut ini juga mengamanahkan keharusan perlakukan yang baik suami terhadap istri sebagaimana ayat sebelumnya.
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ… وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: Takutlah kepada Allah perihal perempuan karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan farji mereka dengan kalimat-Nya… Kalian berkewajiban memberi makan dan pakaian secara baik. (HR Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Di tengah dilema ini, seseorang pada satu kondisi tertentu dihadapkan pada situasi sulit yang harus memilih. Pilihan itu akhirnya diambil dengan berat hati, dan kadang perasaan bersalah.
Lalu bagaimana sebenarnya dalam pandangan Islam? Sebenarnya amanah untuk memperlakukan ibu/orang tua dan istri dapat diamalkan sekaligus tanpa mengabaikan salah satunya. Kedua dalil ini tidak perlu dipertentangkan. Ini yang disebut tariqhatul jam‘i.
Imam an-Nawawi pernah diminta fatwanya perihal seseorang yang memiliki istri dan ibu. Apakah ia boleh mengutamakan istri daripada ibunya? Menurut Imam An-Nawawi, seseorang tidak berdosa ketika mengutamakan istri daripada ibunya sejauh ia memenuhi kewajiban nafkah bila nafkah ibunya berada di dalam tanggung jawabnya. Tetapi jika harus memilih, ia dapat mengutamakan nafkah istrinya dengan tetap menjaga perasaan ibunya.
لا يأثم بذلك إذا قام بكفاية الأم إن كانت ممن يلزمه كفايتها بالمعروف، لكن الأفضل أن يستطيب قلب الأم وأن يفضلها، وإن كان لا بد من ترجيح الزوجة فينبغي أن يخفيه عن الأم
Artinya: Seseorang tidak berdosa dengan tindakan itu ketika ia mencukupi (nafkah) ibunya jika ibunya adalah salah seorang yang wajib dinafkahi dengan baik. Tetapi yang utama adalah membahagiakan (menjaga perasaan) dan mengutamakan ibunya. Jika memang harus mengutamakan nafkah istri daripada ibu, maka seseorang suami harus menyembunyikan tindakan tersebut dari ibunya. (Al-Imam an-Nawawi, Fatawal Imamin Nawawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2018/1439], halaman 150).
Demikian penjelasan singkat ini, semoga bisa dipahami dengan baik.