• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 27 Maret 2025

Keislaman

Ini Hukum Pacaran saat Puasa Ramadhan dalam Perspektif Islam

Ini Hukum Pacaran saat Puasa Ramadhan dalam Perspektif Islam
Ilustrasi. (Foto: NOJ/Balya)
Ilustrasi. (Foto: NOJ/Balya)

Fenomena mencari takjil atau makanan untuk berbuka dengan pasangan atau biasa disebut pacar, menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat kita. Padahal mereka pagi harinya juga melaksanakan puasa seperti umat Islam pada umumnya. Lantas bagaimana hukum berpacaran di bulan Ramadhan? Berikut penjelasannya.

 

Istilah 'berpacaran' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai arti, yaitu menjalin hubungan cinta kasih dengan lawan jenis, tetapi belum atau tidak terikat perkawinan. Sementara itu, menurut Poerwodarminto mengartikan kata 'pacaran' sebagai bentuk pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, bersuka-sukaan mencapai sesuatu yang disenangi mereka. Begitu juga dengan istilah 'bergendak' yang sama artinya dengan berkencan atau berpasangan untuk berzina atau berteman dan saling menjajaki kemungkinan untuk mencari jodoh berupa suami istri.

 

Dari banyaknya definisi terkait pacaran, maka dapat disimpulkan bahwasannya pacaran dapat merujuk pada perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama dan juga bisa merujuk pada khitbah untuk melakukan pernikahan, dengan menjaga dari perbuatan-perbuatan yang mengarah pada perzinahan, seperti definisi ketiga yang dikemukakan oleh Poerwodarminto.

 

Akan tetapi, Islam tidak mengenal konsep pacaran seperti yang umum dipahami saat ini. Berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram dianggap sebagai perbuatan yang mendekati zina dan dilarang dalam Islam. Allah Swt berfirman dalam Surah al-Isra' ayat 32:

 

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا

 

Artinya: "Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk."

 

Senada dengan hadits Rasulullah Saw yang menjelaskan model tindakan yang dapat mendekatkan seseorang dalam perzinahan seperti halnya pacaran:

 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا  مَحْرَمٌ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

 

Artinya: "Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan (yang bukan mahramnya), dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya." (Hadits Riwayat Bukhari)

 

Selain itu, aktivitas seperti menatap dengan syahwat, berpegangan tangan, atau tindakan fisik lainnya yang dapat menimbulkan nafsu juga termasuk dalam kategori zina mata, tangan, dan sebagainya, yang sebaiknya dihindari.

 

Oleh karena itu, hukum berpacaran seperti halnya berduaan untuk sekedar ngabuburit, mencari takjil, atau pun buka bersama itu tidak membatalkan puasa karena tidak termasuk mufathirat (perkara yang membatalkan puasa) akan tetapi bisa melebur pahala puasa.

 

Karena hakikatnya berpuasa adalah menahan dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa dan menahan diri dari perbuatan-perbuatan haram atau maksiat. Begitu juga eorang yang berpuasa seharusnya menjaga pendengaran dan penglihatannya dari hal-hal yang haram, sebagaimana hadits Rasulullah Saw di bawah ini:

 

:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ وَالجَهْلَ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ"

 

Artinya: "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dengannya, dan kebodohan, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makanan dan minumannya." (Hadits Riwayat Bukhari)

 

Makna dari hadits tersebut adalah menekankan bahwa puasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga harus diiringi dengan menjaga perilaku, ucapan, dan sikap. Puasa yang berkualitas adalah puasa yang melibatkan seluruh anggota tubuh dalam ketaatan kepada Allah. Dengan kata lain, puasa harus menjadi sarana untuk memperbaiki diri secara menyeluruh, bukan sekadar menahan lapar dan dahaga.


Sedangkan menurut ulama salaf seperti halnya Ibnu Hazm berpendapat bahwa orang yang berpuasa akan tetapi dengan sengaja melakukan maksiat bisa menyebabkan piasanya tidak sempurna, sebagaimana keterangan dalam kitab al-Muhalla berikut:

 

فَالصَّوْمُ الَّذِي لَا يَحْجُزُ صَاحِبَهُ عَنِ المَحَرَّمَاتِ: صَوْمٌ نَاقِصٌ

 

Artinya: "Maka puasa yang tidak mampu menahan pelakunya dari hal-hal yang haram adalah puasa yang kurang sempurna."

 

Begitu juga keterangan dalam kitab Lathoiful Ma'arif karya Ibnu Rajab:

 

قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: أَهْوَنُ الصِّيَامِ تَرْكُ الشَّرَابِ وَالطَّعَامِ

 

Artinya: "Sebagian ulama salaf mengatakan: Puasa yang paling ringan adalah meninggalkan minuman dan makanan."


Maka dari itu, Ibnu Rajab menekankan bahwa puasa yang hanya sebatas meninggalkan makan dan minum tanpa menjaga anggota tubuh dari perbuatan maksiat dianggap sebagai puasa yang kurang sempurna.

 

Terkait perihal melakukan maksiat di bulan Ramadhan bisa menjadikan dosa orang yang melakukan dilipatgandakan sebagaimana pendapat Syekh Taqiyuddin dalam Lathoiful Ma'arif:

 

قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: المَعَاصِي فِي الأَيَّامِ المُعَظَّمَةِ وَالأَمْكِنَةِ المُعَظَّمَةِ تُغَلَّظُ مَعْصِيَتُهَا وَعِقَابُهَا بِقَدْرِ فَضِيلَةِ الزَّمَانِ وَالمَكَانِ

 

Artinya: "Syaikh Taqiyuddin berkata,"Maksiat yang dilakukan pada hari-hari yang dimuliakan dan di tempat-tempat yang dimuliakan, dosa dan hukumannya akan menjadi lebih berat sesuai dengan kemuliaan waktu dan tempat tersebut."

 

Dari pemaparan di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwasannya puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga harus menahan diri dari perbuatan maksiat. Sehingga puasa menjadi sarana meningkatkan kualitas keimanan dan akhlak, serta memperlihatkan perbedaan positif dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Wallahu A'lam.


Keislaman Terbaru