• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Keislaman

Jenis Ibadah yang Tidak Membutuhkan Niat

Jenis Ibadah yang Tidak Membutuhkan Niat
Ada ibadah yang tidak membutuhkan niat. (Foto: NOJ/LKw)
Ada ibadah yang tidak membutuhkan niat. (Foto: NOJ/LKw)

Niat adalah unsur penting dalam sebuah ibadah. Sah atau tidaknya ibadah bergantung pada sah atau tidaknya niat orang yang melakukan kebaikan tersebut. Oleh karena itu, pemahaman tentang niat sangatlah penting untuk diketahui setiap muslim, agar bisa melaksanakan ibadah dengan benar sesuai ketentuan syariat Islam.

 

Dalam sebuah hadits yang sangat masyhur, Rasulullah bersabda:


إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ 

 

Artinya: Segala sesuatu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang perempuan yang ingin ia nikahi, maka hijarahnya kepada apa yang ia niatkan tersebut.   

 

Hadits di atas menegaskan bahwa niat seseorang sangat berpengaruh pada hasil dari pekerjaan yang dilakukan. Hadits ini juga menjadi dasar salah satu kaidah fiqih  الأمور بمقاصدها  bahwa segala urusan bergantung maksud yang terkandung di dalamnya. 
 

Muhammad Sidqi al-Burnu menjelaskan makna dari kaidah tersebut dalam kitab Al-wajiz fii idhahi Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kulliyah: al-Muasasah al-Risalah, Riyadh, halaman:  47:


ان أعمال المكاف وتصرفاته من قولية أو فعلية تختلف نتائجها وأحكامها الشرعية التي تترتب عليها باختلاف مقصود الشخص وغايته وهدفه من وراء تلك الأعمال و التصرفات

 

Artinya: Sesungguhnya amal dan tindakan seorang mukallaf, baik berupa ucapan atau perbuatan itu akan berbeda hasil dan hukum yang dihasilkan berdasarkan perbedaan maksud dan tujuan di balik perbuatan tersebut.

 

Dari penjelasan di atas kita bisa tahu bahwa niat adalah motif di balik sebuah perbuatan, dan menjadi penentu dari hasil dan hukum dari perbuatan tersebut. Dalam hal ibadah, niat adalah bagian yang tak terpisahkan. Karena sebagian  ulama berependapat bahwa niat adalah rukun dari sebuah ibadah. Walaupun ada ulama yang mengatakan bahwa niat adalah syarat dari ibadah, tetapi entah itu rukun atau syarat, keduanya merupakan hal yang menjadi penentu sah atau tidaknya sebuah ibadah.


Pertanyaan yang perlu untuk dijawab adalah, apakah semua ibadah itu membutuhkan niat? Atau ada ibadah-ibadah tertentu yang tidak perlu niat? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita perlu terlebih dahulu mengetahui hakikat dan tujuan adanya niat, baru kemudian akan menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut.

 

Dalam kitab Idhah al-Qawaid al-Fiqhiyyah: Darul Rahamah Islamiyah, Surabaya, halaman: 13, Abdullah bin Said menjelaskan bahwa niat adalah:


  قصد الشئ مقترنا بفعله 

 

Artinya: Menyengaja melakukan sesuatu pekerjaan berbarengan dengan pekerjaan tersebut. 

 

Maknanya, niat harus dilakukan bersamaan dengan pekerjaan atau ibadah yang dilakukan. 

 

Sedangkan tujuan disyariatkannya niat, Imam al-Suyuti dalam kitab Asbah wa al-Nadzair, Darul Kutub al-Ilmiyah menjelaskan bahwa:


الْمَقْصُودُ الْأَهَمّ مِنْهَا: تَمْيِيز الْعِبَادَات مِنْ الْعَادَات، وَتَمْيِيز رُتَب الْعِبَادَات بَعْضهَا مِنْ بَعْض، كَالْوُضُوءِ وَالْغُسْل، يَتَرَدَّد بَيْن التَّنَظُّف وَالتَّبَرُّد، وَالْعِبَادَة، وَالْإِمْسَاك عَنْ الْمُفْطِرَات قَدْ يَكُون لِلْحُمِّيَّةِ وَالتَّدَاوِي، أَوْ لِعَدَمِ الْحَاجَة إلَيْهِ، وَالْجُلُوس فِي الْمَسْجِد، قَدْ يَكُون لِلِاسْتِرَاحَةِ، وَدَفْعُ الْمَال لِلْغَيْرِ، قَدْ يَكُون هِبَة أَوْ وَصْلَة لِغَرَضٍ دُنْيَوِيّ، وَقَدْ يَكُون قُرْبَة كَالزَّكَاةِ، وَالصَّدَقَة، وَالْكَفَّارَة، وَالذَّبْح قَدْ يَكُون بِقَصْدِ الْأَكْل، وَقَدْ يَكُون لِلتَّقَرُّبِ بِإِرَاقَةِ الدِّمَاء، فَشُرِعَتْ النِّيَّة لِتَمْيِيزِ الْقُرَبِ مِنْ غَيْرهَا، وَكُلٌّ مِنْ الْوُضُوء وَالْغُسْل وَالصَّلَاة وَالصَّوْم وَنَحْوهَا قَدْ يَكُون فَرْضَا وَنَذْرًا وَنَفْلًا، وَالتَّيَمُّم قَدْ يَكُون عَنْ الْحَدَث أَوْ الْجَنَابَة وَصُورَته وَاحِدَة، فَشُرِعَتْ لِتَمْيِيزِ رُتَب الْعِبَادَات بَعْضهَا مِنْ بَعْض.

 

Artinya: Tujuan penting dari niat adalah untuk membedakan ibadah dengan kebiasaan, dan membedakan tingkatan ibadah seperti wudlu, dan mandi yang apakah itu untuk membersihkan badan, menyegarkan badan, atau ibadah. Dan menahan dari hal yang membatalkan puasa (tidak makan dan minum) apakah untuk diet, pengobatan, atau hanya karena sedang tidak membutuhkan saja. Duduk di masjid, terkadang untuk istirahat. Memberikan harta kepada orang lain, kadang kala hanya sebagai hadiah, atau untuk tujuan duniawi, dan terkadang untuk tujuan ibadah seperti zakat, shadaqah dan kafarah. Menyembelih hewan terkadang untuk makan semata, terkadang untuk beribadah dengan mengalirkan darah. Maka disyariatkannya niat untuk membedakan antara ibadah dengan selain ibadah. Dan setiap dari ibadah seperti wudlu, mandi, shalat, puasa dan sebagainya, ada yang termasuk ibadah fardlu, atau sebagai nadzar, atau sunah. Tayamum, terkadang untuk menghilangkan hadas atau jinabah keduanya sama. Maka disyariatkan niat untuk membedakan tingkatan ibadah yang satu dengan yang lain.

 

Dari penjelasan tersebut, dapat kita pahami bahwa tujuan niat ada dua. Pertama, untuk membedakan ibadah dengan kebiasaan, yang kedua untuk membedakan tingkatan ibadah, apakah itu wajib atau sunah.

 

Berdasarkan penjelasan tujuan niat tersebut, Imam as-Suyuti kemudian memberikan keterangan tentang ibadah yang tidak membutuhkan niat: 


عَدَم اشْتِرَاط النِّيَّة فِي عِبَادَة لَا تَكُون عَادَة أَوْ لَا تَلْتَبِس بِغَيْرِهَا، كَالْإِيمَانِ بِاَللَّهِ تَعَالَى، وَالْمَعْرِفَة وَالْخَوْف وَالرَّجَاء، وَالنِّيَّة، وَقِرَاءَة الْقُرْآن، وَالْأَذْكَار ; لِأَنَّهَا مُتَمَيِّزَة بِصُورَتِهَا، نَعَمْ يَجِب فِي الْقِرَاءَة إذَا كَانَتْ مَنْذُورَة، لِتَمْيِيزِ الْفَرْض مِنْ غَيْره، 

 

Artinya: Tidak disyaratkan niat di dalam ibadah yang tidak serupa dengan kebiasaan, atau tidak serupa dengan ibadah yang lain, seperti iman kepada Allah, ma’rifat kepada Allah, takut kepada Allah, berharap kepada Allah, niat, membaca al-qur’an, dan berdzikir. Karena semua ibadah tersebut bisa dibedakan bentuknya. Wajib niat membaca Al-Qur’an jika itu sebuah nadzar untuk membedakan yang wajib dan selainnya.  

 

Selanjutnya juga dijelaskan bahwa:


وَأَمَّا التُّرُوكُ: كَتَرْكِ الزِّنَا وَغَيْره، فَلَمْ يَحْتَجْ إلَى نِيَّةٍ لِحُصُولِ الْمَقْصُود مِنْهَا وَهُوَ اجْتِنَاب الْمَنْهِيِّ 

 

Artinya: Sedangkan meninggalkan sesuatu yang dilarang, seperti meninggalkan zina dan lainnya, maka tiak butuh niat untuk mencapai tujuannya yaitu meninggalkan perkara yang dilarang. 
 

Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa yang tidak memerlukan niat adalah ibadah yang tidak memiliki persamaan dengan kebiasaan, atau ibadah yang tidak serupa dengan ibadah yang lain seperti contoh di atas. Selain itu meninggalkan larangan-larangan dari Allah SWT juga tidak memerlukan niat karena dengan tidak melakukan larangan itu berati kita sudah mewujudkan ibadah berupa ketaatan kepada Allah SWT.

 

Mustaufikin adalah Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dan Dosen di Institut Agama Islam Hasanuddin (IAIH) Pare, Kediri.


Editor:

Keislaman Terbaru