• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Keislaman

Jimak Sebelum Mandi Junub dari Haid, Bagaimana Hukum dan Dampaknya?

Jimak Sebelum Mandi Junub dari Haid, Bagaimana Hukum dan Dampaknya?
Ilustrasi mandi besar (Foto:NOJ/shape)
Ilustrasi mandi besar (Foto:NOJ/shape)

Oleh: Moch. Vicky Shahrul H.*


Salah satu tujuan menikah adalah menghasilkan keturunan. Begitulah Imam al-Ghazali, di dalam kitab Ihya Ulumiddin berkata. Untuk memperlancar tujuan tersebut, salah satu cara yang begitu efektif adalah dengan bersetubuh antara suami dan istri. Dan memang, secara alamiah, seseorang memang perlu dan butuh akan hal tersebut. 


Namun, dalam prakteknya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah waktu dan kondisi saat bersetubuh akan dilakukan. Jadi, di dalam kitab Fathul Muin, Imam Zainuddin al-Malibari menjelaskan:


وَإِذَا انْقَطَعَ دَمُهَا حُلَّ لَهَا قَبُلَ الغُسْلِ صَوْمٌ لَا وَطْئٌ


Artinya: “Ketika darah haid terputus, maka diperbolehkan bagi perempuan untuk berpuasa, meskipun belum mandi besar (junub">mandi junub). Namun, dia dilarang untuk bersetubuh dengan suaminya.”


Sekilas, dari penjelasan Imam Zainuddin al-Malibari di atas mempertegas bahwa ketika perempuan sedang dalam kondisi belum mandi junub sebab berhentinya darah haid, maka tidak diperkenankan untuk bersetubuh dengan suaminya. Ini jelas dan menjadi keputusan dari banyak ulama. 


Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada ulama yang berbeda mengenai hukum di atas. Salah satunya adalah Imam Suyuthi.  Mengenai hal ini, Imam Zainuddin al-Malibari menjelaskan di dalam kitab Fathul Muin sebagaimana di bawah ini:


خِلَافًا لِمَا بَحَثَهُ العَلَامَةُ الجَلَالُ السُيُوْطِيٌّ مِنْ حِلِّ الوَطْئِ أَيْضًا بِالاِنْقِطَاعِ


Artinya: Pendapat yang mengharamkan di atas sangat berbeda dengan pendapat yang diutarakan oleh Imam Suyuthi. Beliau menegaskan, perempuan belum mandi junub sebab berhentinya haid, halal baginya bersetubuh dengan suaminya.


Jadi, kalau mengikuti pendapat Imam Suyuthi di atas, seorang istri diperkenankan bersetubuh dengan suaminya di saat dia dalam kondisi belum mandi junub sebab berhentinya haid. Jelas ini berbeda dengan pendapat Imam Zainuddin al-Malibari dan beberapa ulama di atas.


Selanjutnya, mungkin muncul satu pertanyaan. Kira-kira, ketika seorang perempuan memaksa untuk bersetubuh dalam kondisi belum mandi junub sebab berhentinya darah haid, maka apa dampak yang akan muncul? Dalam hal ini, Imam al-Ghazali sudah menjelaskan dampak tersebut di dalam sebagian kitab beliau. 


Imam al-Jamal, pengarang kitab Hasyiah al-Jamal ala Syarah Manhaj, menjelaskan pernyataan Imam al-Ghazali mengenai dampak tersebut sebagaimana di bawah ini:


أَنَّ الوَطْءَ ‌قَبْلَ ‌الغَسْلِ ‌يُوْرِثُ الجَذَّامَ فِي الوَلَدِ وَقِيْلَ فِي الوَاطِئِ


Artinya: “Bersetubuh sebelum mandi junub (sebab terputusnya haid) bisa menyebabkan penyakit lepra. Ini bisa terjadi pada keturunan, atau bisa terjadi pada pelaku.”


Jadi, menurut Imam al-Ghazali, perempuan dalam kondisi masih belum mandi junub sebab darah haidnya berhenti, bersetubuh akan memberikan efek negatif. Dalam hal ini beliau menyebutkan, bahwa penyakit lepra akan menjangkiti anak keturunan yang akan lahir. Ada satu pendapat, penyakit tersebut akan menjangkit si pelaku (orang yang bersetubuh dalam kondisi masih belum mandi junub sebab terhentinya haid).


Walhasil, sebagai bentuk kehati-hatian, sebaiknya kita mengikuti pendapat mayoritas ulama yang menghukumi haram untuk menjimak istri saat terhenti darah haidnya yang belum mandi junub atau tayammum saat tidak terdapatnya air, karena Allah mengaitkan kelegalan menjimak istri yang haid dengan dua syarat, yaitu, berhenti darah haidnya dan mandi junub. 
 

*Ma'had Aly Annur II Al-Murtadlo, Malang


Keislaman Terbaru