• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Keislaman

Mana yang Harus Tunduk, Syariat atau Realita?

Mana yang Harus Tunduk, Syariat atau Realita?
Ilustrasi simbol penegakan hukum (Foto:NOJ/hukumonline)
Ilustrasi simbol penegakan hukum (Foto:NOJ/hukumonline)

Oleh: Achmad Bissri Fanani* 


Kita pasti mendapati rumusan hukum dalam kitab fikih serasa tidak relevan lagi pada zaman sekarang sehingga menuntut adanya rekonstruksi. Contohnya adalah hukum kisas. Itu akan menjadi problem jika diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya majemuk.


Meninjau hal tersebut, syariat terkesan harus menyesuaikan konteks realita yang berlaku. Namun apakah memang demikian? Jika iya, apakah berarti syariat bisa diubah sesukanya dengan menciptakan realita baru?


Untuk menjawab itu, ada beberapa poin penting yang harus dibahas. Pertama adalah pengertian hukum beserta prinsipnya. Kemudian kaidah fikih“Al-’adah Muhakkamah” meliputi makna kaidah, dalil dan syarat adat bisa dijadikan pertimbangan hukum.


Hukum dan Prinsipnya


Hukum adalah titah Allah SWT. yang sepi dari huruf, i’rab dan bina’. Hukum terklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni taklifi dan wad’i. Taklifi berarti titah Allah yang hanya berhubungan dengan pekerjaan mukallaf seperti wajib sunnah, makruh, dan haram. Sementara wad’i, kebalikan dari taklifi seperti syarat, sebab, rukhshah dan ‘azimah.


Berhubung hukum merupakan titah Allah, maka yang menjadi penentu hukum (Hakim) pada hakikatnya hanya Allah bukan akal sebagaimana pendapat kalangan Mu’tazilah.  Alhasil, menjadi keniscayaan bahwa Al-Qur'an dan hadis yang notabene manifestasi dari titah Allah SWT. menjadi sumber hukum. Begitu pula ijmak dan qiyas yang derajatnya sama dengan nas.


Selanjutnya, hukum yang berlaku memiliki dua prinsip sebagaimana keterangan Imam Al-Haramain.  Pertama adalah al-qath’iyah (Bersifat pasti). Hukum dengan prinsip ini erat kaitannya dengan konsensus ulama seperti kewajiban salat lima waktu, kewajiban zakat, haji dan puasa, keharaman zina, mencuri dan lain sebagainya 


Selain itu, hukum al-qath’iyah juga cenderung kental dengan dogma atau biasa kita kenal sebagai ta'abbudi. Ta'abbudi adalah hukum yang tidak bisa diterka ‘ilatnya. Oleh sebab itu, mayoritas hukum al-qath’iyah tidak bisa berubah (Tsawabit). Salat tetap wajib bagi siapapun di belahan bumi manapun, begitupula zakat dan sebagainya.


Kedua adalah ijtihadi (Bersifat praduga). Berbeda dengan yang pertama, hukum dengan prinsip ini erat kaitanya dengan dialektika ulama karena hasil dari ijtihad. Alhasil, dalam hukum ijtihadi perbedaan pendapat merupakan keniscayaan. Pasalnya satu mujtahid dengan mujtahid yang lain memiliki sudut pandang dan latar belakang berbeda dalam menyimpulkan hukum.


Hukum ijtihadi juga identik dengan ma’qulul makna, yaitu kebalikan dari ta'abbudi. hukum ini akan selalu berubah-ubah menyesuaikan konteks yang ada. Dalam kaidah fikih dikatakan “Al-hukmu yaduru ma’a ‘ilah wujudan wa’adaman” yang artinya hukum akan selalu dinamis sesuai dengan hilang atau tetapnya ‘ilat.


Kaidah “Al-‘Adah Muhakkamah”


Kaidah “Al-‘adah Muhakkamah” merupakan kaidah yang menyatakan bahwa tradisi dapat dipertimbangkan sebagai acuan hukum. Imam Malik misalnya, Beliau menjadikan rutinitas penduduk  Madinah sebagai salah satu acuan hukum. Pendapat Imam Syafii saat di Mesir dan Baghdad berbeda lantaran latar belakang tempat dan masyarakatnya juga berbeda.


Penerapan kaidah ini banyak sekali didapati dalam kajian fikih. Salah satu di antaranya adalah pembahasan keikut sertaan barang dalam suatu akad. Misal, menjual handphone berarti sekalian menjual chargernya. Pembahasan tersebut kemudian dikenal sebagai bab Ushul wa Simar. 


Landasan dalil kaidah ini adalah sabda Nabi Muhammad saw.:


مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ
 

Artinya: “Apa saja yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka itu baik di sisi Allah dan apa saja yang dipandang buruk oleh oleh kaum muslim maka itu buruk di sisi Allah”


Namun, kaidah ini tidak memberikan isyarat bahwa hukum harus tunduk kepada tradisi. Alasanya karena tidak semua tradisi bisa dijadikan acuan hukum, melainkan hanya tradisi yang tidak bertentangan dengan nas, baik Al-Quran atau hadis. Maka dari itu, Imam Al-Hafnawi mengatakan: 


الثابت بالعرف ثابت بدليل شرعي‎ ‎


Artinya: “Yang berlaku berdasarkan urf itu sama yang berlaku berdasarkan ‎dalil syara'.


Kemudian, adanya sifat hukum yang dinamis juga tidak bisa dipahami bahwa hukum tunduk pada tradisi. Imam As-Syathibi mengatakan dalam kitabnya:


إن اختلاف الأحكام عند إختلاف العوائد ليس في الحقيقة باختلاف في أصل الخطاب، لأن الشرع موضوع على أنه دائم أبدي لو فرض بقاء الدنيا من غير نهاية، والتكليف كذالك في الشرع لم يحتج إلى مزيد، وإنما معنى الإختلاف أن العوائد إذا احتلفت رجعت كل عادة إلى أصل شرعي يحكم به عليها


Artinya: “Sesungguhnya perbedaan hukum ketika terjadi perbedaan adat istiadat pada hakikatnya bukanlah perbedaan pada asal tuntutan(aslu khitob),  karena hukum syara’ dibentuk  pada sifat tetap dan kekal jika diasumsikan dunia akan tetap ada tanpa akhir. Dan pengukuhan itu dalam syariat  tidak memerlukan tambahan, melainkan yang dimaksud dengan perbedaannya adalah jika adat istiadat itu terpecah, maka setiap adat istiadat akan kembali kepada asal syariat yang menjadikannya pijakan hukum.”


Kesimpulan


Sesuai teori di atas, maka jawaban dari pertanyaan “Siapa yang harus tunduk, syariat atau realita?” adalah realita yang harus tunduk terhadap syariat. Benar hukum dengan prinsip  ijtihadi sifatnya dinamis menyesuaikan realita masyarakat yang ada. Namun bukan berarti hukum tunduk pada realita. Pasalnya, secara hakikat hukum tidak mengalami perubahan lantaran hukum adalah titah Allah yang bersifat Al-Baqa’ (Tidak menerima perubahan).


Melihat paparan di atas, maka perubahan hukum menyesuaikan tradisi, tempat dan kondisi manusia bukan sebuah problem dalam beragama. Justru sebagai hikmah yang patut disyukuri. Jangan dipahami agama tidak tegas dalam memberikan hukum. Terlebih lagi punya pemahaman hukum syariat bisa dipermainkan oleh kondisi umat. Sejatinya hukum berasal dari Allah hanya saja jalannya bisa melalui kitab, para utusan, para mujtahid dan adat istiadat atau tradisi umat. Wallahu A’lam.
 

*Mahasantri Ma'had Aly Annur II, Malang


Keislaman Terbaru