• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Keislaman

Mudik, Boleh Qashar dan Jamak Shalat Fardlu di Kampung Halaman?

Mudik, Boleh Qashar dan Jamak Shalat Fardlu di Kampung Halaman?
Ketika mudik, bagaimana ketentuan soal shalat jamak dan qashar? (Foto: NUJ/MId)
Ketika mudik, bagaimana ketentuan soal shalat jamak dan qashar? (Foto: NUJ/MId)

Gelombang warga yang akan mudik ke kampung halaman sudah demikian terasa. Dan jarak yang ditempuh juga demikian jauh. Masalahnya, saat mudik apakah diperkenankan melaksanakan qashar dan jamak shalat fardhu di kampung halaman?


Terlebih dahulu hendaknya dipahami pengertian dua istilah berikut yakni muqim dan mustauthin. Sebab jika ternyata kampung halaman seseorang tetap distatuskan sebagai tempat tinggal meskipun setelah pindah rumah, maka ia berstatus sebagai mustauthin. Namun jika ternyata tidak, maka ia menetap di kampung halaman hanya berstatus muqim. Lantas manakah dari dua kemungkinan tersebut yang dibenarkan secara fiqih?   


Untuk menjawabnya mari kita simak pengertian dari kedua istilah ini: 


   ضابط المقيم هو الذي نوى الإقامة في بلد أربعة أيام فأكثر غير يومي الدخول والخروج وفي نيته الرجوع لوطنه ولو بعد زمن طويل. ضابط المستوطن هو الذي لا يظعن {لا يسافر} صيفا ولا شتاء إلا لحاجة


Artinya: Batasan seseorang disebut muqim adalah orang yang niat menetap di suatu tempat selama masa empat hari atau lebih, selain hari ketika dia sampai dan hari ketika dia pulang, serta terdapat niatan untuk kembali lagi di tempat tinggalnya, meskipun setelah jeda waktu yang lama. Batasan seseorang disebut mustauthin adalah orang yang (menetap di suatu tempat) tidak bepergian, baik di musim panas ataupun di musim dingin, kecuali ada hajat. (Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, At-Taqrirat as-Sadidah, halaman: 324).   


Berdasarkan pengertian di atas, sebenarnya mustauthin lebih menitikberatkan pada tempat tinggal saat ini daripada kampung halaman yang dahulu pernah dijadikan tempat tinggal. Sehingga ketika seseorang memutuskan untuk berpindah tempat tinggal di suatu tempat yang baru dan berencana tidak kembali tinggal di tempat yang awal, maka ia hanya dapat disebut mustauthin di tempat tinggalnya yang baru, tidak pada tempat tinggalnya yang awal.

 

Kesimpulan ini berdasarkan referensi dari kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj sebagai berikut:


  والمستوطن هنا من ( لا يظعن شتاء ولا صيفا إلا لحاجة ) كتجارة وزيارة فلا تنعقد بغير المتوطن كمن أقام على عزم عوده إلى وطنه بعد مدة ولو طويلة كالمتفقهة والتجار. وأفهم قوله على عزم عوده أن من عزم على عدم العود انعقدت منه لأنها صارت وطنه


Artinya: Yang dimaksud Mustauthin pada bab ini (Shalat Jum’at) adalah orang yang tidak bepergian baik pada musim dingin ataupun musim panas kecuali karena suatu hajat. Seperti berdagang dan ziarah. Maka orang yang tidak menetap permanen tidak dapat mengesahkan shalat Jumat, seperti orang yang menetap di suatu tempat dengan rencana akan kembali ke tempat tinggalnya setelah jeda waktu, meskipun jeda waktu yang lama. Seperti orang yang menuntut ilmu dan pedagang.   Ucapan “Berencana akan kembali” memberikan pemahaman bahwa orang yang bertekad tidak kembali (ke kampung halaman), maka ia dapat mengesahkan shalat Jumat (di tempat yang baru), sebab tempat tersebut telah menjadi tempat tinggalnya. (Syihabuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz 7, halaman: 39-40)  


Jika kesimpulan ini diterapkan, maka dapat dipastikan bahwa ketika memutuskan untuk ikut istri tinggal di Kota Surabaya semisal, tidak berniat untuk kembali lagi tinggal di kampung halaman yang dalam hal ini adalah Kota Lumajang. Ketika memang demikian adanya, maka yang bersangkutan berstatus mustauthin ketika berada di rumah Surabaya. Sedangkan ketika berkunjung ke Lumajang, hanya berstatus muqim.  


Berbeda halnya ketika dalam hati kecilnya memiliki niatan pada suatu hari nanti akan kembali lagi tinggal menetap di kampung halaman yang berada di Kota Lumajang, maka dalam keadaan demikian, tetap berstatus mustauthin di kampung halaman dan berstatus muqim selama berada di Kota Surabaya, meskipun dalam jangka waktu yang sangat lama.  


Ketika berstatus sebagai orang yang muqim di suatu tempat, maka seseorang sudah tidak boleh menjamak dan mengqashar shalatnya ketika keperluannya (hajat) di tempat tersebut lebih dari empat hari (tanpa menghitung hari saat ia datang dan saat ia pulang). Berbeda halnya ketika keperluannya selesai kurang dari empat hari, maka ia tetap boleh untuk menjamak dan mengqashar shalatnya, selama tidak sampai melewati empat hari dan selama ia tidak niat iqamah (menetap/tinggal) di tempat tersebut. (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, halaman: 116).  


Keislaman Terbaru