Keislaman

Muhasabah: Pembenahan Diri bukan Pembenaran Diri

Senin, 3 Oktober 2022 | 10:30 WIB

Muhasabah: Pembenahan Diri bukan Pembenaran Diri

Muhasabah atau mengaca pada diri sendiri (Foto:NOJ/islamramah)

Manusia dibekali oleh Allah nalar dan akal untuk bisa memilah, membedakan baik dan buruk, hak dan batil, agar mereka tidak terseret dalam arus bujuk nafsu yang kerap menjerumuskan untuk melakukan sesuatu yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.


Peristiwa yang menimpa manusia siapapun itu, dalam beberapa kasus tertentu tidak bisa dilepaskan dari hukum kausalitas, sebab-musabab. Misal, perbuatan memukul itu kadang muncul akibat respon dari situasi yang mengharuskannya membela diri, teraniaya, marah meluap akibat respon dari ketidakadilan dan lain sebagainya.


Term muhasabah kerap muncul manakala terjadi sesuatu yang menimpa manusia. Muhasabah dikenal pula dengan introspeksi diri, evaluasi berbenah, bercermin akan kelemahan maupun kesalahan diri. Sahabat Umar bin Khattab meriwayatkan:


حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا وَتَزَيَّنُوْا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِى الدُّنْيَا 


Artinya: Introspeksilah diri kalian sebelum kalian diintrospeksi, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia. (HR. Tirmidzi)


Introspeksi semakna dengan evaluasi yang menitikberatkan pembenahan diri (bukan pembenaran diri) untuk kemudian menjadi lebih baik dan tidak terperosok dalam lubang kerugian yang sama. 


Sahabat Umar menganggap bahwa evaluasi diri sangat penting dan akan menguntungkan siapapun di kehidupannya kelak. Mengapa demikian? Karena dengan mengevaluasi diri sendiri, manusia akan mengenali kekurangan, kelemahannya yang diharapkan dapat diperbaiki secepat mungkin. Kondisi ini akan meminimalisir segala bentuk kesalahan yang akan timbul, sehingga tanggung jawab dalam kehidupan di dunia maupun akhirat nanti menjadi sangat ringan.


Rasulullah bersabda:


عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ 


Artinya: Dari Syaddad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang mengevaluasi (introspeksi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.' (HR Tirmidzi, hadits hasan). 


Hadits ini secara tersirat mengungkapkan bahwa akal, nalar memiliki potensi untuk menundukkan nafsu bukan sebaliknya. Memang, nafsu merupakan perangkat yang membersamai dan memenuhi kebutuhan alamiah manusia, semisal makan, minum, kawin, tidur, atau sejenisnya. Akan tetapi ketika nafsu menguasai akal sehat, maka yang terjadi adalah lupa diri, beringas,  dan berbuat sewenang-wenang. Saat itulah muhasabah dibutuhkan untuk memperbaiki diri.


Dari penjelasan ini, setidaknya ada sebuah manfaat penting yang bisa dicatat dari muhasabah. Yaitu semangat membenahi diri. Bukan membenarkan diri. Sebab muhasabah membuka mata manusia tentang kelemahan dan kekurangannya, untuk di kemudian diperbaiki. Selain itu, dari pembenahan ini akan terbiasa berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak dan tidak melakukan kesalahan yang serupa.


Bila ditarik dalam ranah institusi negara, maka perlu dibiasakan evaluasi setiap waktu; apakah system dalam lembaganya sudah beres atau masih banyak titik celah lemah; apakah pejabatnya sudah bekerja sesuai tupoksinya; sudahkah pemerintah mendengarkan saran dan kritik rakyatnya dan lain sebagainya.


Demikan pula, dalam diri manusia perlu adanya evaluasi, scan ulang, bercermin untuk mengidentifikasi titik lemahnya; mengapa mudah marah, tidak mampu menahan diri, mudah melakukan kekerasan, menyukai kata-kata kotor dan caci-maki. Semuanya itu perlu dievaluasi untuk dibenahi bukan untuk diamini bahkan dijadikan kebiasaan yang diadopsi oleh generasi mendatang.