Firdausi
Kontributor
Oleh: AbÅ« HÄiz M. Zainur Rahman Hammam
Pada dasarnya, balÄā (Ų§ŁŲØŁŲ§Ų”) secara terminologis adalah ujian (al-ikhtibÄr) yang (baik aplikasi atau implikasinya) bisa positif dan bisa pula negatif (Lihat Al-Imam Ibni Katsir ad-Dimasyqi, TafsÄ«r al-QurāÄn al-`AdzÄ«m, halaman 116). Hal ini bisa kita lihat misalnya dalam Surat al-AnbiyÄā (21) : 35 atau Surat al-AārÄf (7) : 168.
Terminologi balÄā ini menjadi sebuah wacana yang layak untuk diperbincangkan manakala kita cermati fakta di tengah sebagian masyarakat (terutama dari kalangan masyarakat tradisional), bahwa balÄā ("balad/tola", bahasa Madura-pen.; atau "kuwalat", bahasa Jawa-pen) ternyata hanya dikonotasikan pada hal-hal yang bersifat negatif semacam celaka, sial, naas dan sebagainya.
Baca Juga
Menolak Musibah dengan Sedekah
Menariknya, hal negatif tersebut selalu diyakini sebagai sebuah risiko dari perbuatan jahat terhadap seseorang yang dianggap memiliki kelebihan tertentu. Interpretasi semacam ini tentu tidak dapat serta merta dipersalahkan begitu saja. Karena, paling tidak, ada sisi-sisi kebenaran di dalamnya. Hanya, barangkali, hal-hal yang agak menyimpang perlu untuk diluruskan sehingga dapat selaras dengan konsep Islam (yang penulis pahami secara sangat terbatas) tentang balÄā itu sendiri. Untuk itulah risalah sederhana ini hadir.
Satu hal utama yang harus diyakini bahwa segala peristiwa yang menimpa kita, baik itu menyenangkan atau tidak; manis atau pahit; lunak atau keras; sejatinya adalah merupakan realisasi dari qudrah dan irÄdah Allah. Ini bisa kita simpulkan dari interpretasi tentang qadlĆ¢ā dan qadar dalam konsep ilmu kalam atau iātiqÄd tauhÄ«diy āala mazhĆ¢b al-ImĆ¢m al-Asyāariy dan al-MÄturidiy. (Lihat misalnya : Asy-Syaikh Abi al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyāari, al-IbÄnah āan UshÅ«l ad-DiyÄnah, halaman 153-199; dan: Syaikh Muhammad Nawawiy bin Umar al-JÄwi, KÄsyifah as-SajÄ, Syarh SafÄ«nah an-NajÄ, halaman 12)
Namun tentu kita tidak dapat menafikan faktor-faktor lain yang menjadi sebab bagi terealisirnya peristiwa tersebut. Di antara faktor-faktor tersebut, yang rasanya paling terkait dengan tema tulisan ini, adalah apa yang kemudian dikenal sebagai āhubungan sebab-akibatā.
Dalam al-Quran, banyak terdapat ayat yang mengindikasikan bahwa terjadinya suatu insiden terhadap seseorang atau suatu kelompok manusia adalah sebagai risiko dari perbuatan mereka sendiri. Satu diantaranya adalah firman Allah dalam surat asy-SyÅ«rÄ (42) ayat 30.
Ł Ł
Ų§ Ų£ŲµŲ§ŲØŁŁ
Ł
Ł Ł
ŲµŁŲØŲ© ŁŲØŁ
Ų§ ŁŲ³ŲØŲŖ Ų§ŁŲÆŁŁŁ
Ł ŁŲ¹ŁŁ ع٠ŁŲ«ŁŲ±Ā
Menurut Imam JalÄl ad-DÄ«n al-Mahalliy, obyek dari kata āŁŁ
ā dalam ayat di atas adalah kaum mukminin. Sedang kata āŁ
ŲµŁŲØŲ©ā diinterpretasikan sebagai ābencana dan kesengsaraan (al-baliyah wa asy-syiddah). (Lihat Imam JalÄl ad-DÄ«n Muhammad al-Mahalliy dan Imam JalÄl ad-DÄ«n Abd. Rahman as-Suyuthi, Tafsir al-JalÄlain, juz II/halaman 348).
Lebih jauh al-Mahalliy menjelaskan bahwa musibah ini adalah risiko dari perbuatan dosa seorang mukmin. Sedangkan musibah atas seorang mukmin yang tidak melakukan dosa adalah semata-mata āmediumā untuk meninggikan derajatnya kelak di akhirat)
Selanjutnya, dari ayat ini, diinterpretasikan pula bahwa ada dua jenis perbuatan dosa; pertama, dosa yang kosekuensinya diwujudkan di dunia dengan musibah sebagai realisasinya. Kedua, dosa yang diampuni. Dosa jenis kedua ini yang secara kuantitatif lebih banyak. (Lihat misalnya: Asy-Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-JÄwi, at-TafsÄ«r al-MunÄ«r, juz II/halaman 270; dan: Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-ShÄwi al-MÄlikiy, HÄsyiyah ash-ShÄwiy āalÄ TafsÄ«r al-JalÄ«lain, juz IV/halaman 50)
Sekelumit ilustrasi di atas akan terasa relevansinya jika kita mengkorelasikannya dengan perbuatan dosa āmenzolimi orang lainā. Bahkan salah satu wejangan RasÅ«lullÄh pada Sayyidina Muāadz bin JabalĀ saat beliau mengutusnya untuk menjadikannya seorang amir di Yaman adalah ātakutilah doa seseorang yang dizalimi.ā (Lihat AbÅ« AbdiLlÄh Muhammad bin IsmÄ'Ä«l al-BukhÄri, ShahÄ«h al-BukhÄriy, Bab āBaāts Abi MÅ«sÄ Wa MuāÄdz ilÄ al-YamĆ¢n Qabla Hajjah al-WadÄāā, juz V/halamam 205-206)
Terlebih jika kemudian al-madzlÅ«m (obyek perbuatan zalim)-nya adalah seseorang yang telah mencapai predikat waliyullĆ¢h, atau, paling tidak, seseorang yang, dengan ketakwaan dan keshalehannya, mendekati predikat tersebut. Bagi mereka ini, Allah telah menyatakan bahwa Dia-lah yang akan menjadi āpelindungā dan āwali ā. Pernyataan-Nya tersebut termaktub jelas dalam, misalnya, Surat al-Baqarah (2) : 285, al-AnfÄl (8) : 34, al-Hajj (22) : 38, ar-RÅ«m (30) : 48.
Ada 4 (empat) substansi dari ākesediaanā Allah menjadi wali bagi mereka yang muttaqin ini, yaitu annafāu (optimalisasi fungsi keimanan), ad-dafāu (penjagaan dan perlindungan), an-nushrah (pertolongan), dan an-najÄh (pembebasan dan pengentasan). (Lihat Asy-Syaikh Muhammad bin SÄlim BÄbashÄ«l asy-SyÄfiāie, IsāÄd ar-RafÄ«q Syarh Sullam at-TaufÄ«q, juz II/halaman 127)
Dari sini menjadi jelas bagi kita bahwa sangat wajar jika kemudian Allah Ā āmenyatakan perangā bagi siapapun yang menyakiti (dzalim) dan berbuat kesewenangan terhadap mereka yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Lihat al-ImÄm AbÄ« ZakariyyÄ YahyÄ bin Syaraf an-Nawawi , RiyÄdl ash-ShÄlihÄ«n, Bab āāAlÄmÄt Hub AllÄh TaāÄlÄ al-āAbd ā, halaman 181).
Wa AllĆ¢h Aālam bi ash-ShawĆ¢b
Karang Kapoh, Kamis, 26 Rajab 1423 H/03 Oktober 2002 M
_______________
*) Penulis adalah Wakil Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep yang juga khÄdim di Pondok Pesantren Al-Muqri, Karang Kapoh, Prenduan, Sumenep.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menata Hati dengan 7 Perbuatan
2
Mensos Gandeng PPATK Telusuri Penerima Bansos Terindikasi Main Judol
3
Garda Fatayat NU Jatim Terima 100 Bibit Tanaman dari BPBD untuk Dukung Ketahanan Pangan
4
Distribusikan Benih Padi, Langkah Ansor Jatim Perkuat Ketahanan Pangan
5
Pesantren Bebas Kekerasan: Nawaning Nusantara Siapkan Satgas dan Edukasi Seksual
6
5 Dosen UIN KHAS Jember Ikut Terlibat dalam Penyusunan Raperda MDT
Terkini
Lihat Semua