• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 19 Maret 2024

Opini

Interpretasi Bala', Musibah dan Dosa

Interpretasi Bala', Musibah dan Dosa
Tampak rumah yang terimbas musibah (Foto:NOJ/nuonlinelampung)
Tampak rumah yang terimbas musibah (Foto:NOJ/nuonlinelampung)

Oleh: Abū Hāiz M. Zainur Rahman Hammam


Pada dasarnya, balā’ (البلاء) secara terminologis adalah ujian (al-ikhtibār) yang (baik aplikasi atau implikasinya) bisa positif dan bisa pula negatif (Lihat Al-Imam Ibni Katsir ad-Dimasyqi, Tafsīr al-Qur’ān al-`Adzīm, halaman 116). Hal ini bisa kita lihat misalnya dalam Surat al-Anbiyā’ (21) : 35 atau Surat al-A’rāf (7) : 168.


Terminologi balā’ ini menjadi sebuah wacana yang layak untuk diperbincangkan manakala kita cermati fakta di tengah sebagian masyarakat (terutama dari kalangan masyarakat tradisional), bahwa balā’ ("balad/tola", bahasa Madura-pen.; atau "kuwalat", bahasa Jawa-pen) ternyata hanya dikonotasikan pada hal-hal yang bersifat negatif semacam celaka, sial, naas dan sebagainya.


Menariknya, hal negatif tersebut selalu diyakini sebagai sebuah risiko dari perbuatan jahat terhadap seseorang yang dianggap memiliki kelebihan tertentu. Interpretasi semacam ini tentu tidak dapat serta merta dipersalahkan begitu saja. Karena, paling tidak, ada sisi-sisi kebenaran di dalamnya. Hanya, barangkali, hal-hal yang agak menyimpang perlu untuk diluruskan sehingga dapat selaras dengan konsep Islam (yang penulis pahami secara sangat terbatas) tentang balā’ itu sendiri. Untuk itulah risalah sederhana ini hadir.


Satu hal utama yang harus diyakini bahwa segala peristiwa yang menimpa kita, baik itu menyenangkan atau tidak; manis atau pahit; lunak atau keras; sejatinya adalah merupakan realisasi dari qudrah dan irādah Allah. Ini bisa kita simpulkan dari interpretasi tentang qadlâ’ dan qadar dalam konsep ilmu kalam atau i’tiqād tauhīdiy ‘ala mazhâb al-Imâm al-Asy’ariy dan al-Māturidiy. (Lihat misalnya : Asy-Syaikh Abi al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, al-Ibānah ‘an Ushūl ad-Diyānah, halaman 153-199; dan: Syaikh Muhammad Nawawiy bin Umar al-Jāwi, Kāsyifah as-Sajā, Syarh Safīnah an-Najā, halaman 12)


Namun tentu kita tidak dapat menafikan faktor-faktor lain yang menjadi sebab bagi terealisirnya peristiwa tersebut. Di antara faktor-faktor tersebut, yang rasanya paling terkait dengan tema tulisan ini, adalah apa yang kemudian dikenal sebagai ‘hubungan sebab-akibat’.


Dalam al-Quran, banyak terdapat ayat yang mengindikasikan bahwa terjadinya suatu insiden terhadap seseorang atau suatu kelompok manusia adalah sebagai risiko dari perbuatan mereka sendiri. Satu diantaranya adalah firman Allah dalam surat asy-Syūrā (42) ayat 30.


و ما أصابكم من مصيبة فبما كسبت ايديكم و يعفو عن كثير 


Menurut Imam Jalāl ad-Dīn al-Mahalliy, obyek dari kata “كم“ dalam ayat di atas adalah kaum mukminin. Sedang kata “مصيبة“ diinterpretasikan sebagai ‘bencana dan kesengsaraan (al-baliyah wa asy-syiddah). (Lihat Imam Jalāl ad-Dīn Muhammad al-Mahalliy dan Imam Jalāl ad-Dīn Abd. Rahman as-Suyuthi, Tafsir al-Jalālain, juz II/halaman 348).


Lebih jauh al-Mahalliy menjelaskan bahwa musibah ini adalah risiko dari perbuatan dosa seorang mukmin. Sedangkan musibah atas seorang mukmin yang tidak melakukan dosa adalah semata-mata ‘medium’ untuk meninggikan derajatnya kelak di akhirat)


Selanjutnya, dari ayat ini, diinterpretasikan pula bahwa ada dua jenis perbuatan dosa; pertama, dosa yang kosekuensinya diwujudkan di dunia dengan musibah sebagai realisasinya. Kedua, dosa yang diampuni. Dosa jenis kedua ini yang secara kuantitatif lebih banyak. (Lihat misalnya: Asy-Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jāwi, at-Tafsīr al-Munīr, juz II/halaman 270; dan: Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shāwi al-Mālikiy, Hāsyiyah ash-Shāwiy ‘alā Tafsīr al-Jalīlain, juz IV/halaman 50)


Sekelumit ilustrasi di atas akan terasa relevansinya jika kita mengkorelasikannya dengan perbuatan dosa ‘menzolimi orang lain’. Bahkan salah satu wejangan Rasūlullāh pada Sayyidina Mu’adz bin Jabal saat beliau mengutusnya untuk menjadikannya seorang amir di Yaman adalah “takutilah doa seseorang yang dizalimi.” (Lihat Abū AbdiLlāh Muhammad bin Ismā'īl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāriy, Bab “Ba’ts Abi Mūsā Wa Mu’ādz ilā al-Yamân Qabla Hajjah al-Wadā’”, juz V/halamam 205-206)


Terlebih jika kemudian al-madzlūm (obyek perbuatan zalim)-nya adalah seseorang yang telah mencapai predikat waliyullâh, atau, paling tidak, seseorang yang, dengan ketakwaan dan keshalehannya, mendekati predikat tersebut. Bagi mereka ini, Allah telah menyatakan bahwa Dia-lah yang akan menjadi ‘pelindung’ dan ‘wali ‘. Pernyataan-Nya tersebut termaktub jelas dalam, misalnya, Surat al-Baqarah (2) : 285, al-Anfāl (8) : 34, al-Hajj (22) : 38, ar-Rūm (30) : 48.


Ada 4 (empat) substansi dari ‘kesediaan’ Allah menjadi wali bagi mereka yang muttaqin ini, yaitu annaf’u (optimalisasi fungsi keimanan), ad-daf’u (penjagaan dan perlindungan), an-nushrah (pertolongan), dan an-najāh (pembebasan dan pengentasan). (Lihat Asy-Syaikh Muhammad bin Sālim Bābashīl asy-Syāfi’ie, Is’ād ar-Rafīq Syarh Sullam at-Taufīq, juz II/halaman 127)


Dari sini menjadi jelas bagi kita bahwa sangat wajar jika kemudian Allah  ‘menyatakan perang’ bagi siapapun yang menyakiti (dzalim) dan berbuat kesewenangan terhadap mereka yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Lihat al-Imām Abī Zakariyyā Yahyā bin Syaraf an-Nawawi , Riyādl ash-Shālihīn, Bab “’Alāmāt Hub Allāh Ta’ālā al-‘Abd ”, halaman 181).


Wa Allâh A’lam bi ash-Shawâb

Karang Kapoh, Kamis, 26 Rajab 1423 H/03 Oktober 2002 M
_______________
*) Penulis adalah Wakil Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep yang juga khādim di Pondok Pesantren Al-Muqri, Karang Kapoh, Prenduan, Sumenep.


Opini Terbaru