• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 5 Mei 2024

Keislaman

Pandangan Fikih Syafi’i terhadap Penampilan dan Perilaku Banci

Pandangan Fikih Syafi’i terhadap Penampilan dan Perilaku Banci
Ilustrasi pria yang berpenampilan seperti wanita (Foto:NOJ/projectmakeitwork)
Ilustrasi pria yang berpenampilan seperti wanita (Foto:NOJ/projectmakeitwork)

Oleh: Dicky Feryansyah*


Banci atau waria merupakan sebutan bagi laki-laki yang bertingkah laku dan berpenampilan seperti wanita. Secara fisik mereka adalah laki-laki, namun mereka mengekspresikan identitasnya sebagai perempuan.


Mereka lebih suka memakai busana perempuan dibanding memakai busana laki-laki, seperti rok, daster, jilbab, dan lain-lain. Tidak hanya itu, mereka juga lebih suka menggunakan kosmetik perempuan dibanding kosmetik laki-laki, seperti menggunakan lipstik, bulu mata pasangan, dan lain-lain.


Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang dilakukan oleh seorang banci sebagaimana di atas diperbolehkan dalam agama Islam?


Dalam ilmu fikih perbuatan tersebut merupakan salah satu dari bentuk tasyabbuh. Secara umum tasyabbuh adalah upaya seseorang untuk menyerupai orang lain dengan melakukan atau memakai sesuatu yang sudah menjadi ciri khasnya.


Secara jelas mazhab Syafi’i menghukumi tasyabbuh, yang dilakukan oleh orang laki-laki dengan tujuan supaya menyerupai orang perempuan, atau sebaliknya adalah haram. Sebagaimana yang dijelaskan oleh imam An Nawawi dalam kitab Raudhatu Talibin:
 

الصَّوَابُ أَنَّ تَشَبُّهَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ وَعَكْسَهُ حَرَامٌ


Artinya: “Pendapat yang benar adalah hukum menyerupai laki-laki bagi perempuan, atau sebaliknya adalah haram.” (Abu Zakariya Muhyiddin Bin Syaraf An Nawawi, Roudhatut Talibin, [Beirut: Al Maktab Al Islami, 1991], jilid 2, halaman 263).


Imam Ala’uddin dalam kitab Al Insaf Fi Ma’rifatir Rajih Minal Khilaf juga menjelaskan:


هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ وَهِيَ تَشَبُّهُ الرَّجُلِ بِالْمَرْأَةِ، وَالْمَرْأَةِ بِالرَّجُلِ فِي اللِّبَاسِ وَغَيْرِهِ يَحْرُمُ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ


Artinya: “Menurut qaul sahih dalam mazhab, hukum permasalahan menyerupai perempuan bagi laki-laki dan menyerupai laki-laki bagi perempuan, baik dari sisi berpakaian atau selainnya, adalah haram.” (Ala’uddin Abu Al Hasan Ali Bin Sulaiman Bin Ahmad Al Mardawi, Al Insaf Fi Ma’rifati Rajih Minal Khilaf, [Mesir: Jumhuriyatu Misro Al Arabiyah, 1995], jilid 8, halaman 49).


Landasan hukum keharaman di atas adalah hadis:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ،  عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: أَنَّهُ لَعَنَ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ، وَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ


Artinya: “Dari Ibnu Abbas, dari nabi Muhammad Saw: Sesungguhnya Allah Swt melaknat para perempuan yang menyerupai laki-laki, dan para laki-laki yang menyerupai perempuan.” (H.R. Bukhari)


Hukum keharaman di atas baru berlaku ketika yang dilakukan atau dipakai oleh seorang laki-laki merupakan sesuatu yang sudah menjadi ciri khas bagi perempuan, atau memang dikhususkan untuk perempuan, begitupun sebaliknya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Ar Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj:


وَقَدْ ضَبَطَ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ مَا يَحْرُمُ التَّشَبُّهُ بِهِنَّ فِيهِ بِأَنَّهُ مَا كَانَ مَخْصُوصًا بِهِنَّ فِي جِنْسِهِ وَهَيْئَتِهِ أَوْ غَالِبًا فِي زِيِّهِنَّ، وَكَذَا يُقَالُ فِي عَكْسِهِ


Artinya: “Ibnu Daqiq Al-Id menjelaskan batasan keharaman menyerupai perempuan bagi laki-laki, yakni hanya pada sesuatu yang sudah menjadi ciri khas bagi perempuan, atau memang dikhususkan untuk perempuan, dalam model dan sifatnya, atau umumnya sesuatu tersebut digunakan sebagai perhiasan oleh perempuan. Begitupun sebaliknya, yakni keharaman menyerupai laki-laki bagi perempuan.” (Syamsuddin Muhammad Bin Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Syihabuddin Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj, [Beirut: Darul Fikri, 1984], jilid 2, halaman 374).


Keharaman tasyabbuh di atas itu bergantung pada adat yang berlaku di suatu daerah. Artinya, pakaian yang umumnya hanya dipakai oleh perempuan di satu daerah, bisa jadi tidak masalah jika dipakai oleh laki-laki di daerah lain, karena adatnya berbeda.


Hal ini karena adat istiadat yang berlaku pada setiap daerah berbeda-beda, sehingga hukumnya pun bisa berbeda. Sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj:


وَمَا أَفَادَهُ مِنْ أَنَّ الْعِبْرَةَ فِي لِبَاسِ وَزِيِّ كُلٍّ مِنْ النَّوْعَيْنِ حَتَّى يَحْرُمَ التَّشَبُّهُ بِهِ فِيهِ بِعُرْفِ كُلِّ نَاحِيَةٍ حَسَنٌ


Artinya: “Sedangkan yang dijelaskan oleh imam Al Isnawi merupakan pendapat yang baik, yakni sesungguhnya tinjauan terhadap pakaian dan perhiasan laki-laki dan perempuan, sehingga dapat mengakibatkan hukum keharaman tasyabbuh, adalah dengan melihat adat yang berlaku pada suatu daerah.” (Ahmad Bin Muhammad Bin Ali Bin Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtaj Fi Syarhil Minhaj, [Markazunnur Liddirasat Wal Abhats, 2008], jilid 1, halaman 353).


Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum perbuatan seorang banci sebagaimana di atas adalah haram, karena termasuk salah satu dari bentuk tasyabbuh yang dilarang oleh syariat. Dan hukum keharaman tasyabbuh seperti di atas bisa berlaku ketika sudah memenuhi batasan-batasan tertentu.
 

*Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang


Keislaman Terbaru