• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 30 April 2024

Keislaman

Hukum Membaca Qunut Nazilah saat Shalat Jumat

Hukum Membaca Qunut Nazilah saat Shalat Jumat
Bolehkah membaca qunut nazilah saat shalat Jumat? (Foto: NOJ/ISt)
Bolehkah membaca qunut nazilah saat shalat Jumat? (Foto: NOJ/ISt)

Dalam situasi keprihatinan seperti pandemi Covid-19, qunut nazilah menjadi salah satu amaliah yang sangat dianjurkan dalam shalat maktubah yaitu zuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh. Dan hal yang sama juga dianjurkan saat terjadi penyerangan oleh tentara Israel di Jalur Gaza Palestina. Apalagi akibat serangan tersebut banyak fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit rusak berat dan mengakibatkan warga meninggal.


Dari sini kemudian muncul pertanyaan kritis ketika qunut nazilah juga diamalkan saat shalat Jumat. Lalu ditanyakan apakah dalam mazhab Syafi’i memang dianjurkan pula mengamalkan qunut nazilah saat shalat Jumat?


Imam As-Syafi’i sendiri sebagai shahibul mazhab, telah membuat subbab khusus tentang permasalahan ini. Dalam kitab Al-Umm dijelaskan sebagai berikut: 


 اَلْقُنُوتُ في الْجُمُعَةِ. قَالَ: الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: حَكَى عَدَدَ صَلَاةِ النِّبِيِّصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعَةَ، فَمَا عَلِمْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ حَكَى أَنَّهُ قَنَتَ فِيهَا، إلَّا أَنْ تَكُونَ دَخَلَتْ في جُمْلَةِ قُنُوتِهِ في الصَّلَوَاتِ كُلِّهِنَّ حين قَنَتَ على قَتَلَةِ أَهْلِ بِئْرِ مَعُونَةَ. وَلَا قُنُوتَ في شَيْءٍ مِنَ الصَّلَوَاتِ إِلَّا الصُّبْحَ، إلَّا أَنْ تَنْزِلَ نَازِلَةٌ، فَيَقْنُتُ في الصَّلَوَاتِ كُلِّهِنَّ إنْ شَاءَ الْإِمَامُ 

 

Artinya: Qunut dalam shalat Jumat. Imam As-Syafi’i RA berkata: Sejumlah ulama menghikayatkan bilangan (jumlah) shalat Jumat yang dilakukan oleh Nabi SAW, lalu aku tidak mengetahui satu pun dari mereka yang menghikayatkan bahwa Nabi SAW melakukan qunut di dalam shalat Jumat. Hanya saja (qunut dalam) shalat Jumat tersebut masuk dalam sejumlah qunut yang dilakukan oleh Nabi SAW dalam seluruh shalat maktubah saat beliau mengamalkan qunut atas pembunuhan para utusan beliau di Bi’r Ma’unah. Dan tidak ada anjuran qunut dalam shalat apapun kecuali shalat subuh, kecuali bila terjadi tragedi (bagi kaum muslimin atau sebagiannya), maka orang boleh qunut dalam seluruh shalat (maktubah) bila imam menghendaki. (Lihat: As-Syafi’i, Al-Umm, [Mansoura: Darul Wafa’: 1422 H/2001 M], juz II, halaman: 424).


Dari sini menjadi jelas, menurut Imam as-Syafi’i tidak ditemukan riwayat yang terang-terangan menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengamalkan doa qunut saat shalat Jumat. Namun demikian, secara prinsip tergantung adakah nazilah atau tragedi keprihatinan yang dialami kaum muslimin atau sebagiannya, atau tidak. Bila ada, maka pada shalat Jumat kita dianjurkan membaca qunut nazilah. Bila tidak, maka tidak ada kesunahan qunut padanya.


Dalam konteks inilah pendapat Imam Ibnul Mundzir (242-319 H/856-931 M), mujtahid generasi ketiga di kalangan ulama Syafi’iyyah—bahkan bersama dengan Muhammad bin Nashr, Muhammad bin Jarir, Ibnu Khuzaimah yang terkenal dengan sebutan Al-Muhammaddun al-Arba’ah (empat ulama Syafi’iyah bernama Muhammad), dinilai telah mencapai derajat mujtahid mutlak oleh Imam As-Subki—, yang menyatakan bahwa Imam as-Syafi’i termasuk dari barisan ulama yang tidak mengamalkan qunut saat shalat Jumat harus dipahami. (Muhammad al-Mundzir an-Naisaburi, [Riyadh, Daru Thaibah: 1412 H/1991 M], juz IV, halaman: 123-124) dan (Tajuddin As-Subki, Thabaqatus Syafi’iyyah al-Kubra, [Kairo: Daru Ihya’il Kutubil ‘Arabiyyah: 1918 M], juz III, halaman: 102).


Di kemudian hari, Imam an-Nawawi menegaskan pendapat shahih dalam mazhab Syafi’i menyatakan, jika terjadi tragedi keprihatinan yang dialami kaum muslimin seperti ketakutan (karena diserang musuh), paceklik, wabah, dan semisalnya, maka pembacaan qunut sunah dilakukan yang kemudian populer disebut qunut nazilah.


Bila tidak ada keprihatinan seperti itu, maka tidak ada sunah. 


 وَأَمَّا غَيْرُ الصُّبْحِ مِنَ الْمَكْتُوبَاتِ فَهَلْ يَقْنُتُ فِيهَا؟ فِيهِ ثَلَاثَةُأَقْوَالٍ حَكَاهَا إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ وَآخَرُونَ. اَلصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ الَّذِي قَطَعَ بِهِ الْجُمْهُورُ:إِنْ نَزَلَتْ بِالْمُسْمِلِينَ نَازِلَةٌ كَخَوْفٍ أَوْ قَحْطٍ أَوْ وَبَاءٍ أَوْ جَرَادٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ قَنَتُوا فِي جَمِيعِهَا، وَإِلَّا فَلَا... وَمِنْهُمْ مَنْ يُشْعِرُ كَلَامُهُ بِالْاِسْحِبْابِ. قُلْتُ وَهَذَا أَقْرَبُ إِلَى السُّنَّةِ. فَإِنَّهُ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُنُوتُ لِلنَّازِلَةِ، فَاقْتَضَى أَنْيَكُونَ سُنَّةً. وَمِمَّنْ صَرَّحَ بِأَنَّ الْخِلَافَ فِي الْاِسْتِحْبَابِ صَاحِبُ الْعُدَّةِ

 

Artinya: Adapun selain shalat subuh dari berbagai shalat maktubah, apakah orang melakukan qunut di dalamnya? Dalam hal ini ada tiga pendapat yang dihikayatkan oleh Imamul Haramain, Al-Ghazali, dan ulama lainnya. Pendapat shahih dan masyhur yang telah diambil sebagai keputusan oleh Jumhur adalah, bila terjadi tragedi keprihatinan pada kaum muslimin seperti ketakutan, paceklik, wabah, wabah belalang dan semisalnya, maka orang melakukan qunut dalam semua shalat maktubah. Bila tidak ada keprihatinan maka tidak qunut… Di antara ulama ada yang pernyataannya mengarah pada kesunnahan. Aku katakan, ‘Ini lebih dekat pada sunah. Sebab tetap nyata diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau melakukan qunut karena nazilah atau tragedi keprihatinan yang menimpa kaum muslimin. Termasuk ulama yang terang-terangan menyatakan bahwa perbedaan pendapat tentang qunut dalam selain shalat subuh berkisar pada kesunahan (atau tidaknya), adalah penulis kitab Al-‘Uddah yaitu Al-Imam al-Qadhi Abu Nashr ar-Ruyani (w 505 H/1112 M). (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut: Darul Fikr: tth.], juz III, halaman: 494).


Dengan bahasa yang lebih lugas, Syekh Wahbah az-Zuhaili menegaskan bahwa qunut nazilah memang disyariatkan namun tidak secara mutlak. Qunut dibaca dalam shalat jahriyyah (yang disunahkan dengan suara keras: maghrib, isya dan subuh) menurut ulama Hanafiyyah; dalam seluruh shalat maktubah oleh ulama Syafi’iyah; dan dalam seluruh shalat maktubah kecuali shalat Jumat menurut ulama Hanabilah, karena mencukupkan doa nazilah dalam khutbahnya. (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Damaskus: Darul Fikr: tth], juz II, halaman: 179).


Pernyataan Syekh Wahbah yang mengomparasikan pendapat lintas mazhab semakin memperjelas, dalam mazhab Syafi’i hukum qunut nazilah saat shalat Jumat adalah sunah. Wallahu a’lam.


Editor:

Keislaman Terbaru