M Rufait Balya B
Kontributor
“Kita bukan pewaris bumi dari leluhur, tapi peminjam dari generasi mendatang.” Ungkapan ini sering terdengar dalam gerakan pelestarian lingkungan. Namun jauh sebelum slogan-slogan modern itu muncul, Al-Qur’an telah menanamkan nilai-nilai kuat tentang pentingnya menjaga bumi. Dalam pandangan Islam, lingkungan bukan hanya latar tempat tinggal manusia, tapi juga bagian dari ciptaan Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dirawat.
Dalam berbagai ayat, Al-Qur’an menyebut langit, bumi, lautan, angin, dan segala bentuk makhluk hidup sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya. Alam menjadi semacam kitab terbuka yang menunjukkan keagungan Sang Pencipta. Sebagaimana ditegaskan dalam Surah Ali 'Imran ayat 190:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
Artinya: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah Swt) bagi orang-orang yang berakal." (QS. Ali 'Imran [3]: 190).
Ayat ini memperlihatkan bahwa alam bukan sekadar eksistensi fisik, tetapi juga mengandung pesan spiritual yang mendalam bagi mereka yang mau berpikir.
Selain menunjukkan keagungan Allah Ta'ala, Al-Qur’an juga secara eksplisit melarang perusakan terhadap bumi. Dalam Surah Al-A’raf ayat 56 disebutkan:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya Rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S Al-A’raf [7]: 56).
Kata “fasad” dalam ayat ini dipahami oleh para ulama sebagai bentuk kerusakan yang mencakup berbagai dimensi: sosial, moral, dan juga ekologis. Menebang hutan sembarangan, mencemari sungai, merusak tanah, dan membuang sampah sembarangan bisa termasuk dalam kategori fasad yang dilarang oleh Islam.
Lebih jauh, Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsir Mafatihul Ghaib
مَعْنَاهُ وَلَا تُفْسِدُوا شَيْئًا فِي الْأَرْضِ، فَيَدْخُلُ فِيهِ الْمَنْعُ مِنْ إِفْسَادِ النُّفُوسِ بِالْقَتْلِ وَبِقَطْعِ الْأَعْضَاءِ، وَإِفْسَادِ الْأَمْوَالِ بِالْغَصْبِ وَالسَّرِقَةِ وَوُجُوهِ الْحِيَلِ، وَإِفْسَادِ الْأَدْيَانِ بِالْكَفْرِ وَالْبِدْعَةِ، وَإِفْسَادِ الْأَنْسَابِ بِسَبَبِ الْإِقْدَامِ عَلَى الزِّنَا وَالْلِّوَاطَةِ وَسَبَبِ الْقَذْفِ، وَإِفْسَادِ الْعُقُولِ بسبب شرب المكسرات، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَصَالِحَ الْمُعْتَبَرَةَ فِي الدُّنْيَا هِيَ هَذِهِ الْخَمْسَةُ: النُّفُوسُ وَالْأَمْوَالُ وَالْأَنْسَابُ وَالْأَدْيَانُ وَالْعُقُولُ
Artinya: "Makna ayat adalah janganlah merusak apapun di muka bumi. Ini mencakup larangan merusak jiwa dengan membunuh dan mencabik-cabik tubuh, merusak harta dengan melakukan ghasab, pencurian, dan berbagai bentuk penipuan. Merusak agama dengan kufur dan bid'ah, merusak keturunan dengan melakukan zina, homo seksual [anal], dan sebab-sebab qadhaf. Termasuk merusak akal pikiran dengan mengkonsumsi berbagai minuman keras. Hal ini dikarenakan lima maslahat yang diperhatikan dalam dunia ini adalah jiwa, harta, keturunan, agama, dan akal pikiran." (Fakhruddin Ar Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut; Dar Ihya al Arabi, 1420 H], halaman 283).
Tidak sampai di situ, Al-Qur’an juga menegaskan, bahwa semua kerusakan lingkungan hidup tidak lain merupakan akibat sifat kerakusan manusia, sehingga menjadikan lingkungan sebagai objek eksploitasi. Oleh karenanya, sejak awal Allah memperingatkan dalam surat Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِما كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum [30]: 41).
Berkaitan dengan ayat ini, Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan,
(ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ) أَي تَبَيَّنَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ كَالْجَدْبِ وَكَثْرَةِ الْحَرِيقِ وَالْغَرَقِ، وَمَوْتِ دَوَابِّ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، وَقِلَّةِ اللُّؤْلُؤِ بِسَبَبِ كَسْبِ النَّاسِ الْمَعَاصِي
Artinya: "(Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia), yakni telah jelas kerusakan di darat dan di laut berupa kekeringan, banyaknya kebakaran dan tenggelamnya (kapal-kapal), matinya binatang darat dan laut, serta berkurangnya mutiara disebabkan oleh kemaksiatan manusia". (Syekh Nawawi Al-Bantani, Marah Labid, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1417 H], juz 2, halaman 231).
Dari berbagai penjelasan terkait larangan melakukan perusakan di muka bumi, ternyata Rasulullah Saw telah memberikan contoh konkret tentang bagaimana memperlakukan alam. Sebagaimana dalam hadits berikut:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ
Artinya: "Dari sahabat Jabir ra, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, "Tiada seorang muslim yang menanam pohon kecuali apa yang dimakan bernilai sedekah, apa yang dicuri juga bernilai sedekah. Tiada pula seseorang yang mengurangi buah (dari pohon-)nya melainkan akan bernilai sedekah bagi penanamnya sampai hari Kiamat," (Imam Zakiyuddin Abdul Azhim Al-Mundziri, At-Targhib wat Tarhib minal Haditsisy Syarif, [Beirut, Darul Fikr: 1998 M/1418 H], juz III, halaman 304).
Hadits di atas bukan hanya motivasi untuk terus berbuat baik, tetapi juga menunjukkan bahwa menjaga lingkungan adalah bentuk ibadah yang tidak boleh terhenti dan senantiasa dilakukan. Aksi sekecil menanam satu pohon pun bisa menjadi bagian dari warisan kebaikan yang panjang.
Oleh karena itu, begitu pentingnya kita menjaga lingkungan sebagai gerakan eco-Islam. Karena sejatinya krisis lingkungan saat ini adalah krisis spiritual. Semuanya berawal dari cara pandang materialistik yang melupakan dimensi ruhani dari bumi, sehingga melahirkan gaya hidup konsumtif dan tidak ramah lingkungan.
Maka dapat kita simpulakan, bahwa menjaga lingkungan hidup bukan sekadar tuntutan zaman atau agenda global, melainkan bagian dari ajaran agama. Islam tidak memisahkan spiritualitas dari tanggung jawab sosial dan ekologis. Maka, ketika kita mengurangi sampah plastik, menanam pohon, atau menghindari pemborosan energi, sesungguhnya kita sedang menjalankan nilai-nilai Al-Qur’an dan sunnah. Dengan begitu, iman kita bukan hanya terasa dalam hati dan ibadah, tapi juga terlihat dalam cara kita memperlakukan bumi ini. Wallahu a'lam.
Terpopuler
1
Innalillahi, KH M Syafi’ Misbah Pengasuh Pesantren Al Hidayah Tanggulangin Sidoarjo Wafat di Makkah
2
Amalan-amalan Sunnah Hari Tasyrik, di Antaranya Makan dan Minum
3
MI Aswaja Besole Tulungagung Juara Favorit Festival Balon Udara
4
Hukum Shalat Makmum di Depan Imam, Sahkah?
5
PCINU Rusia dan Lazawa Darul Hikam Sinergi Adakan Kurban di Moskow-Kazan
6
LAZISNU Nganjuk Tebar Manfaat Kurban pada 1.100 Penerima
Terkini
Lihat Semua