• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Keislaman

Shalat Ghaib, Berikut Pandangan dari Sejumlah Ulama

Shalat Ghaib, Berikut Pandangan dari Sejumlah Ulama
Sejumlah ulama memberikan penjelasan soal pelaksanaan shalat ghaib. (Foto: NOJ/NU Network)
Sejumlah ulama memberikan penjelasan soal pelaksanaan shalat ghaib. (Foto: NOJ/NU Network)

Sejumah kalangan menyampaikan duka cita mendalam karena Emmeril Kahn Mumtadz atau Eril, meninggal. Almarhum adalah putra sulung dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan dinyatakan wafat setelah hanyut di Sungai Aare, Bern, Swiss, pekan lalu dan jenazahnya belum ditemukan.


Sebagai sesama Muslim, sudah selayaknya turut bersedih atas musibah ini. Dan salah satu kewajiban sesama Muslim adalah melakukan shalat ghaib.


Ghaib artinya tidak ada. Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan seseorang ketika jasad si mayit sudah dimakamkan, atau shalat yang dilakukan dari jarak yang jauh dari si mayit. 


Shalat Ghaib ini termasuk shalat yang unik. Pada Muktamar ke-11 NU di Banjarmasin tahun 1936, telah diambil keputusan lewat pendapat Imam Ibnu Hajar yang menyatakan: Tak perlu shalat ghaib bagi seorang yang meninggal di dalam satu negeri. 


Sementara fakta yang berlaku di masyarakat NU, biasanya pada hari Jumat sebelum khatbah ada pengumuman untuk mengerjakannya secara bersama; seorang imam berdiri dan diikuti jamaah untuk mengerjakan shalat ghaib. 


Dua kubu tadi tampil dengan argumen masing-masing. Bagi kubu yang tidak perlu shalat ghaib (Keputusan Muktamar ke 11) dalilnya adalah: Bahwa tak sah shalat jenazah atas mayit yang ghaib yang tidak berada di tempal seorang yang hendak menyalatinya, sementara ia berada di negeri (daerah) di mana mayit itu berada walaupun negeri tersebut luas karena dimungkinkan untuk bisa mendatanginya. 


Para ulama menyamakannya dengan qadha atas seorang yang berada di suatu negeri sementara ia bisa menghadirinya. Yang menjadi pedoman adalah ada tidaknya kesulitan untuk mendatangi tempat si mayit. Jika sekiranya sulit untuk mendatanginya walaupun berada di negerinya, misalnya karena sudah tua atau sebab lain, maka shalat ghaibnya sah. Sedangkan jika tidak ada kesulitan maka shalatnya tidak sah walau berada di luar batas negeri yang bersangkutan. (Lihat: I’anatut Thalibin


Dalil kedua: Keterangan yang ada di dalam kitab Tuhfah dapat dijadikan pedoman bahwa seseorang tidak boleh melakukan shalat ghaib atas mayit yang meninggal dalam satu negeri, sedang ia tidak hadir karena sakit atau ditahan. 

 

Artikel diambil dariShalat Ghaib

 


Sedangkan dari kubu yang membolehkan dilakukan shalat ghaib dalilnya adalah:


1. Shalat ghaib boleh diselenggarakan karena lain negara. Rasulullah pernah menyalati seorang muslim Najasyi yang meninggal sewaktu berada di Madinah (HR Bukhari dan Muslim). 


Jika seorang menyalati jenazah di hari meninggalnya setelah dimandikan, hukumnya adalah sah, sebagaimana pendapat Imam Ar-Rayani. Juga menyalati jenazah yang telah dimakamkan, hukumnya juga sah karena Rasulullah pernah menyalati jenasah yang sudah dikubur. (HR Bukhari dan Muslim dan Imam Darul-Quthni). (Lihat: Kifayatul Ahyar I halaman: 103-104) 


2. Jelas tertera dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim bahwa ada seorang Najasi meninggal Rasulullah segera memberi tahu para sahabatnya. Kemudian Nabi bersabda: Saudara kita di negeri Habasyah telah meninggal, shalatlah kalian untuknya. Mereka pun keluar menuju lapangan, membuat barisan, dan mengerjakan shalat untuknya. (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir I, halaman: 443) 


3. Boleh menyalati beberapa jenazah dengan sekali shalat dan niat untuk semua secara global. Disebutkan juga boleh dengan niat ‘ijmal’ artinya seperti dalam kalimat: Saya niat shalat untuk para jenazah Muslim... atau, berniat shalat seperti sang imam menyalati saja. (Lihat: Fathul Mu’in, juga Ianatut Thalibin II, halaman: 132-135). 


4. Batasan ‘ghaib’' adalah bila seseorang berada di sebuah tempat di mana panggilan adzan sudah tak terdengar. Di dalam kitab Tuhfah disebutkan: Jika sudah di luar jangkauan pertolongan. (Bughyatul Musytarsyidin, halaman: 95) 


5. Keputusan bahtsul masail syuriah NU se-Jateng 1984. Ketentuan jarak untuk shalat ghaib ada tiga versi: (1) Jarak 44 meter, (2) Jarak 1666 meter (1 mil), (3) Jarak 2000 - 3000 meter.


Keislaman Terbaru