• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Keislaman

Wali Mujbir dan Persetujuan Perempuan dalam Pernikahan

Wali Mujbir dan Persetujuan Perempuan dalam Pernikahan
Keberadaan wali mujbir diperdebatkan sejumlah ulama. (Foto: NOJ/Liputan6)
Keberadaan wali mujbir diperdebatkan sejumlah ulama. (Foto: NOJ/Liputan6)

Salah satu istilah fiqih yang sering menimbulkan perdebatan karena dianggap mendiskriminasi perempuan, yakni wali mujbir. Dalam kajian fiqih munakahat, wali adalah unsur sangat penting, karena keberadaannya menjadi penentu sah atau tidaknya sebuah akad nikah. Wali, dalam segi kekuasaannya untuk menikahkan seseorang terbagi menajdi dua yaitu ‘wali mujbir’ dan ‘wali ghairu mujbir’.  

 

Wali mujbir adalah orang memiliki hak menikahkan perempuan yang ada di dalam kekuasaan tanpa izin dan ridha dari perempuan tersebut. Sedangkan wali ghairu mujbir adalah orang memiliki hak menikahkan perempuan yang ada di dalam kekuasaannya tetapi harus dengan izin dan ridha dari perempuan itu. Yang menjadi perdebatan adalah kebolehan seorang wali mujbir menikahkan anak perempuan tanpa izin dan kerelaan. Bukankah itu sebuah pemaksaan dalam perkawinan?

 

Sebelum menjawab pertanyaan itu, sebaiknya telaah terlebih duhulu konsep wali mujbir dalam kajian fiqih. Untuk itu perlu dikemukakan beberapa pendapat ulama tentang wali mujbir.

 

Hal pertama yang menjadi perdebatan para ulama adalah siapa wali mujbir? Dalam kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arb’ah jilid 4, Dar al-Fikr halaman: 29-30 dijelaskan sebagai berikut. Bahwa ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wali mujbir adalah bapak dan kakek. Menurut mazhab Maliki dan Hanbali, wali mujbir adalah bapak saja, dan bapak bisa mewalikan kepada orang lain hak ijbar tersebut dengan kalimat yang jelas seperti: Saya mewalikan kepadamu untuk menikahkan putri saya. 

 

Dalam pandangan mazdhab Hanafi, semua wali adalah mujbir, sehingga tidak ada wali ghairu mujbir karena wali memiliki kekuasaan atas orang lain, ridha atau tidak. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi menurut mazhab ini hak ijbar hanya berlaku untuk anak kecil baik laki-laki, perempuan, atau orang gila baik laki-laki maupun perempuan, entah masih kecil maupun dewasa.

 

Perdebatan yang kedua adalah dalam hal siapa yang boleh dipaksa melakukan pernikahan, apakah yang sudah baligh atau belum baligh, perawan atau janda? Syaikh Abd al-Rahman al-Jaziri dalam kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arb’ah halaman: 30-35 memberikan penjelasan sebagai berikut:

 

Menurut pendapat madzhab Hanafi, hak ijbar tersebut hanya berlaku kepada anak-anak, baik laki-laki atau perempuan, masih perawan atau janda. Sedangkan untuk perempuan yang telah baligh/dewasa, baik perawan atau janda, maka tidak ada hak ijbar bagi siapa pun terhadap mereka. Dan yang bersangkutan berhak menikahkan dirinya tanpa tergantung pada wali, tapi syaratnya menikah dengan suami sepadan atau kufu. 


Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hak ijbar hanya berlaku kepada perempuan yang belum baligh dan gila baik sudah baligh atau belum. Selain itu, hak ijbar juga berlaku bagi perempuan yang telah baligh tetapi masih perawan. Ada pengecualian bagi perempuan yang sudah baligh, perawan dan ada pengakuan dari walinya bahwa yang bersangkutan adalah perempuan pintar (رشيدة) dan sudah dilepaskan semua batasan atau tanggungannya. Bagi kalangan ini tidak berlaku hak ijbar, karena dianggap seperti janda yang pernah menikah sebelumnya. Karena itu tidak sah menikahkan tanpa izin dan ridha dari mereka. 

 

Dalam pandangan ulama Syafi’iyah, hak ijbar hanya berlaku untuk menikahkan perempuan yang masih kecil dan orang gila baik masih kecil atau dewasa. Sedangkan perempuan dewasa dan perawan, maka boleh dipaksa menikah tanpa izin dan ridhanya dengan tujuh syarat yaitu: 

 

1) Tidak ada pertentangan yang nyata antara wali dengan anak. 

 

2) Tidak ada permusuhan antara anak dengan calon suami yang bersifat kekal. Hal ini bisa dilihat secara lahir dan batin dari orang yang ada di sekelilingnya. 


3) Calon suami harus sepadan/kufu. 

 

4) Calon suami mampu memberikan mahar. 

 

5) Menikahkan anaknya dengan mahar misli. 

 

6) Mahar harus merupakan barang berharga di kawasan setempat. 

 

7) Mahar wajib dibayar tunai.

 

Perbedaan pendapat di atas terjadi karena perbedaan dalam mamahami berbagai dalil yang ada. Salah satu dalil yang digunakan dalam pembahasan ini adalah hadits:

 

لا تنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستأذن, قالوا يا رسول الله وكيف اذنها ؟ قال أن تسكت

 

Hadits tersebut menyebabkan perbedaan pendapat ulama dalam hal siapa perempuan harus dimintai izin ketika wali ingin menikahkannya. Ulama sepakat bahwa wali harus meminta izin kepada janda yang baligh ketika hendak menikahkan, berdasarkan pemahaman lafadz: لا تنكح الأيم حتى تستأمر. dan didukung hadits lain: الثيب أحق بنفسها من وليها. 

 

Sedangkan perawan yang telah baligh, ulama berbeda pendapat. Imam al-Auza’i, Al-Tsauri dan  Abu Hanifah berpendapat bahwa wali harus meminta izin, sedangkan Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat wali dapat menikahkan tanpa izin. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fatkhul Bari Syarh Shahih Bhukari, Dar al-Fikr, jilid 9, halaman: 192-193).  

 

Kelompok yang memberikan hak ijbar kepada wali untuk menikahkan perawan baligh karena bersandar pada mafhum mukhalafah hadits:  الثيب أحق بنفسها من وليها (janda lebih berhak atas dirinya dibandingkan dengan walinya). Sehingga mafhum mukhalafahnya adalah wali lebih berhak dari perawan dibandingkan dirinya sendiri. 

 

Para ulama yang mengharuskan wali meminta izin kepada perawan yang baligh bersandar pada pemahaman makna umum dari hadits yang diriwayatkan Abu Daud:
 

لا تنكح اليتيمة الا باذنه 

 

Artinya: Perempuan yatim tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya

 

Juga hadits  تستأمر اليتيمة فى نفسها bahwa perempuan yatim dimintai pendapat. 

 

Secara implisit  kedua hadits tersebut memberikan mafhum mukhalafah bahwa perempuan yang tidak yatim (memiliki bapak) maka tidak perlu dimintai izin. Tetapi pemahaman ini dibantah oleh kelompok kedua, yang mana memberikan pemahaman bahwa walaupun di dalam hadits tersebut menggunakan kata yatimah, tetapi yang dimaksud adalah keumuman lafadz, yaitu semua perempuan yang masih perawan baik yatim atau tidak. Sehingga wali harus meminta izin kepada perawan baik yatim atau tidak.

 

Pemahaman ini dikuatkan oleh hadits riwayat Ibnu Abbas yang redaksinya adalah:


 والبكر يستأذنها أبوها 

 

Artinya: Dan bagi perawan, sang bapak meminta izin kepadanya. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Dar al-Fikr, Jilid 2, halaman: 5)  

 

Dari penjelasan di atas, bisa dipahami bahwa dalam menetapkan hukum wali mujbir, para ulama bersandar pada berbagai dalil, dan sangat hati-hati. Selain itu, ketentuan tentang wali mujbir sangat ketat dan ulama berbeda pendapat. Bagi yang membolehkan hak ijbar memberikan persyaratan ketat sehingga hak ijbar tidak mutlak atas kekuasaan wali, tetapi juga harus mempertimbangkan kemaslahatan perempuan tersebut.

 

Oleh karena itu dalam pelaksanaan hak ijbar, wali harus benar-benar mempertimbangkan kemaslahatan bagi perempuan. Karena jika dilihat dari sisi maqashid syariah, salah satu tujuan pernikahan adalah mendapatkan sakinah (ketenagan) dari pasangan. Ketenagan itu dapat tercipta dengan modal mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih). Untuk itu ketika menikahkan perempuan, sebaiknya meminta pendapat dan persetujuannya, sehingga tujuan pernikahan bisa tercapai.

 

Tidak hanya itu, pernikahan juga memiliki arti penting dalam membangun hubungan sosial masyarakat secara luas. Jika hubungan suami istri baik dan kuat, maka akan menjadi modal membangun keluarga yang baik dan kuat. Dan dengan keluarga seperti ini, akan menjadi pondasi masyarakat yang kuat pula.  Semua dimulai dari pernikahan yang dilandasi kasih sayang dan saling ridha antara laki-laki dan perempuan.   


Editor:

Keislaman Terbaru