• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 6 Mei 2024

Madura

Hasil Turba, LAZISNU Sumenep Bakal Bedah Rumah Nenek Hotipah

Hasil Turba, LAZISNU Sumenep Bakal Bedah Rumah Nenek Hotipah
LAZISNU Sumenep saat melakukan turba ke rumah nenek Hotipah di Dusun Brakas Daja, Desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep, Selasa (23/04/2024). (Foto: NOJ/ Firdausi)
LAZISNU Sumenep saat melakukan turba ke rumah nenek Hotipah di Dusun Brakas Daja, Desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep, Selasa (23/04/2024). (Foto: NOJ/ Firdausi)

Sumenep, NU Online Jatim

NU Care-Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Sumenep melakukan Turun ke Bawah (Turba) dan survei ke kediaman Hotipah di Dusun Brakas Daja, Desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep, Selasa (23/04/2024). Ia adalah warga kurang mampu yang tinggal di rumah gedek dan belum pernah tersentuh bantuan.

 

Setelah melakukan musyawarah dengan sejumlah pihak, diputuskan rumah nenek Hotipah akan dilakukan renovasi dengan tajuk bedah rumah. Gerakan ini dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan banyak elemen, yakni pengurus NU, Pemerintah Desa (Pemdes), dan masyarakat setempat.

 

Ketua NU Care-LAZISNU Sumenep, Kiai A Quraisy Makki menyatakan, bedah rumah layak huni dikonsep semi permanen dan kolaboratif. Untuk merealisasikannya, pengurus melibatkan banyak pihak untuk menyokong beberapa kebutuhan di lapangan.

 

"Kedatangannya kami ke sini untuk urun rembuk untuk meringankan beban Hotipah. Dari sini diputuskan bahwa panitia lokal terdiri dari pengurus ranting NU, Badan Otonom NU setempat, tokoh masyarakat dan pemerintah desa," ujarnya.

 

Dijelaskan, konsep kolaboratif ini memiliki alasan. Yakni, kondisi medan yang tidak bisa dilalui roda empat dan roda dua. Untuk mendatangkan material bangunan, bahan tersebut harus diangkut menggunakan argo dan digotong secara manual (tenaga manusia).

 

Berdasarkan struktur tanah, akses ke lokasi dan kondisi obyektif, ketersediaan sandang dan pangan, ternyata penerima manfaat memilih untuk membedah semi permanen tapi layak untuk ditempati.

 

"Jika kegiatan ini partisipatif, kolaboratif dan berbasis bahan lokal, kami menghitung dan memperkirakan biaya bedah rumah. Untuk bedah rumah ini maksimal menghabiskan biaya Rp10 juta," ucapnya.

 

Mengenal nenek Hotipah

Berdasarkan pantauan di lapangan, Hotipah merupakan perempuan kelahiran 01 Juli 1959. Ia tinggal bersama saudaranya di rumah gedek. Hotipah seorang perawan tua. Adiknya pernah menikah tapi cerai mati. Mereka hidup sebatangkara dan tidak pernah mendapatkan banyak bantuan dari pemerintah. Setelah viral di Medsos, pemerintah turun ke lokasi.

 

Hotipah berprofesi sebagai petani. Namun hasil panennya tidak sama dengan petani lainnya. Kendati hasil taninya sedikit, mereka bisa survive. Setiap haflatul imtihan di Pesantren Attarbiyah, mereka berjualan rujak.

 

Berdasarkan hasil observasi, rumah Hotipah di pelosok desa yang terpencil dan tidak memiliki tetangga. Secara geografis, kediamannya di daerah perbukitan. Untuk sampai ke kediamannya, kurang lebih 500 meter dari Pondok Pesantren Attarbiyah.

 

Dinding rumahnya terbuat dari anyaman bambu yang kondisinya bolong-bolong, genteng yang bocor, kayu mulai lapuk, dan berlantai tanah. Di dalam ruangan rumah terdapat dapur tradisional, tepatnya di sebelah tempat tidurnya.

 

Kondisi barang-barang tak tertata rapi (berserakan). Tak ada lemari dan kasur. Mereka tidur beralas sangger (sejenis alas tidur yang terbuat dari bambu). Dengan kondisi yang demikian, Hotipah mengeluh bahwa dirinya kedinginan.

 

"Di musim penghujan, lantai rumahnya becek. Saat sedang memasak di dalam rumah, saya memilih rehat di depan rumah. Jika dipaksakan, dadaku sesak. Karena asap mengepul di dalam rumah," kata Hotipah.

 

Saat dikunjungi pengurus NU, Hotipah mengaku senang dan bangga. Sebab, sejak semula dirinya berharap hidup mati bersama kiai. Ketika ditawarkan untuk pindah tempat, mereka bersikukuh untuk bertahan di rumah tersebut. Ia menegaskan tanah sangkol (warisan) harus ditempati dan dirawat.

 

“Tanah sangkol harus ditempati dan dirawat walaupun kondisi rumahnya tidak memiliki tetangga. Kelak jika ajal menjemput, saya ingin ditahlilkan di tanah ini,” pungkasnya.


Madura Terbaru