Matraman

Hukum Lomba Agustusan dalam Perspektif Syariat menurut Gus Zain Pacitan

Senin, 18 Agustus 2025 | 14:00 WIB

Hukum Lomba Agustusan dalam Perspektif Syariat menurut Gus Zain Pacitan

Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatussubban Arjowinangun Pacitan, Gus H Zain Rahmatika Murni. (Foto: NOJ/Anwar Sanusi)

Pacitan, NU Online Jatim

Momentum peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia (RI) selalu dimeriahkan dengan berbagai perlombaan mulai dari tingkat desa hingga nasional. Namun, pertanyaan seputar hukum perlombaan dalam perspektif syariat kerap muncul di tengah masyarakat.


Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatussubban Arjowinangun, Pacitan, Gus H Zain Rahmatika Murni memberikan pandangan mendalam mengenai hal ini. Menurutnya, perlombaan bukanlah hal baru. Ia merujuk pada sejarah Islam di mana Nabi Muhammad SAW sendiri menyaksikan dan bahkan berpartisipasi dalam perlombaan pacuan kuda, panah, dan lari. 


"Perlombaan ini sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW," ujarnya kepada NU Online Jatim pada Senin (18/08/2025).


Gus Zain sapaan akrabnya mengingatkan bahwa perkembangan zaman membuat perlombaan modern memiliki aspek yang lebih kompleks, mulai dari jenisnya hingga hadiah yang ditawarkan. Ia menegaskan, hukum perlombaan bisa bervariasi dari mubah (boleh), makruh (dianjurkan untuk dihindari), hingga haram (dilarang).


Sekretaris Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) Pacitan tersebut secara tegas membedakan antara lomba yang diperbolehkan dan yang dilarang, agar sebuah lomba menjadi halal dan uang pendaftaran tidak boleh digunakan sebagai hadiah. Hadiah harus berasal dari sumber lain, seperti sponsor atau donasi.


"Jika perlombaan dilaksanakan dengan membayar uang iuran atau pendaftaran, kemudian uang hasil iuran tersebut diwujudkan dalam bentuk hadiah perlombaan, maka hukumnya adalah haram. Sebab hal tersebut merupakan bentuk perjudian," jelasnya.


Selain itu, Gus Zain juga menyoroti aspek-aspek teknis dalam pelaksanaan lomba. Ia menyebut, sebuah lomba bisa menjadi haram jika memicu hal-hal yang bertentangan dengan syariat, seperti mendatangkan bahaya atau madharat, menyebabkan laki-laki berpakaian perempuan atau sebaliknya, terbukanya aurat, dan mempertontonkan hal-hal yang tabu.


“Ada kaidah fikih yakni al-hukmu yaduru ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman, yang berarti hukum itu beredar bersama dengan sebabnya. Oleh karena itu, jika sebuah lomba memiliki unsur-unsur negatif tersebut, hukumnya menjadi haram,” paparnya.


Gus Zain berharap, seluruh masyarakat bisa merayakan bulan kemerdekaan dengan gembira, namun tetap dalam koridor syariat. "Semoga kita tetap bisa bergembira dengan berbagai kegiatan dalam perayaan bulan kemerdekaan ini dalam koridor syariat yang telah digambarkan para ulama, dan selalu dalam ridho Allah SWT," pungkasnya.