• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 30 April 2024

Metropolis

Menengok Kerukunan Umat Muslim dan Non-Muslim di Mojokerto

Menengok Kerukunan Umat Muslim dan Non-Muslim di Mojokerto
Eddy Susanto, Ketua RT Desa Sarirejo, Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto. (Foto: NOJ/ Yulia Novita Hanum)
Eddy Susanto, Ketua RT Desa Sarirejo, Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto. (Foto: NOJ/ Yulia Novita Hanum)

Mojokerto, NU Online Jatim

Kerukunan umat beragama di Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto terjalin cukup kuat. Umat Islam dan non-muslim hidup damai berdampingan. Bahkan, di sejumlah kegiatan saling undang dan hadir satu sama lain karena memiliki sikap toleransi positif.

 

Ketua RT Desa Sarirejo, Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto, Eddy Susanto mengatakan, warga Mojosari terkait kerukunan umat beragama tidak ada masalah sama sekali. Mereka biasa hidup rukun dan saling mengisi pada kegiatan-kegiatan bersifat agamis maupun nasionalis.

 

“Jadi kalau ada kegiatan di Klenteng yang beralamat di Mojosari itu, tokoh-tokoh NU seperti Rais Syuriyah MWCNU MojosariGus Muhammad Ahdal Shidqullah Amin pernah datang pas acara Imlek. Di Mojosari saya kira kerukunan umat beragama bisa terjaga dengan baik,” ujarnya, Senin (25/12/2023).

 

Dirinya mengatakan pernah diundang di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) sebelah Masjid Jamik Mojosari atas nama Ketua RT. Di momen itu, ia mengaku berusaha membatasi diri agar tidak terjadi miskomunikasi.

 

“Keluarga saya natalan bukan di gereja, melainkan di restoran ataupun di rumah. Biasanya juga datang di rumah saudara saya yang beragama Nasrani. Bahkan di mertua saya yang di Lamongan itu keluarganya juga ada yang beragama Nasrani. Tetapi merayakannya tidak di gereja, melainkan di rumah seperti silaturahim dan makan-makan saja,” terangnya.

 

Tokoh masyarakat Sarirejo ini menyebutkan, kegiatan yang pernah ada di Mojosari yakni pada acara shalawatan di terminal Mojosari, teman-teman dari FKUB datang semua, tokoh-tokoh dari Hindu Klenteng Mojosari dan teman-teman Gereja menghadiri acara sholawatan yang dihadiri oleh Gubernur Khofifah beberapa tahun yang lalu.

 

“Dan mereka sangat guyub menerima undangan kami dan mereka semangat untuk hadir,” ungkapnya.

 

Pengalaman unik lainnya yaitu ketika pelantikan pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Mojosari. Saat menyanyikan Syubbanul Wathan dan Indonesia raya, warga non-muslim turut menyanyikan lagu yang digubah oleh KH Abdul Wahab Hasbullah tersebut. Bahkan, yang menjadi koor paduan suara dari GKJW Mojosari.

 

“Kagetnya dari NU itu mereka heran dengan GKJW yang menyanyikan lagu Syubbanul Wathan dengan fasih. Jika timbul masalah itu dianggap biasa saja, soalnya di kalangan Nahdliyin itu kerukunan umat beragama sudah terbangun sejak dulu, ini bukan dalam rangka peribadatan melainkan untuk wawasan kebangsaan. Jadi memang sengaja pengurus MWCNU mengundang untuk paduan suaranya itu dari GKJW tadi,” jelasnya.

 

Adapun yang mengundang GKJW itu dari Gus Muhammad Ahdal Shidqullah Amin putranya Kiai Khusairi, selama ini beliau sangat baik komunikasinya kepada teman-teman yang di luar Islam, khususnya teman-teman Klenteng. Sehingga ia terbersit untuk mengundang teman-teman GKJW untuk jadi koor paduan suara, dan mereka sudah baris dengan seragamnya menggunakan atribut seperti layaknya orang muslim.

 

Termasuk di Gusdurian itu banyak umat-umat Nasrani, Hindu, Konghucu, dan Budha. Padahal mereka tahu ketika haulnya Gus Dur itu doanya tahlil, dan mereka tidak segan-segan untuk hadir, jadi dia berdoa sesuai dengan keyakinannya.

 

Ia menjelaskan, umat Islam setempat juga pernah diundang pada perayaan Imlek di Klenteng. Kegiatannya terkadang pagelaran wayang kulit dan wayang cici. Hal tersebut tidak jadi masalah karena tidak ada kaitannya dengan ritual agama lain.

 

“Imlek sendiri itu sebenarnya bukan upacara keagamaan, jadi seperti tahun baru Hijriyah kalau di agama Islam. Kalau orang China, Jepang, Taiwan tahun barunya itu hari raya Imlek,” ucap Eddy Susanto.

 

“Saya kira kalau di Mojosari antara masjid jami’ dan gereja itu tidak pernah ada gesekan apa-apa. Jadi kalau ngomong Nahdliyin masalah toleransi dan wawasan kebangsaan sudah tidak diragukan lagi, berbicara kemerdekaan Indonesia itu juga ada unsur dari tokoh-tokoh dari Katholik, Kristen, Budha dan Hindu semua mempunyai kontribusi walaupun tidak besar,” imbuhnya.

 

Hal lumrah terjadi ketika peringatan Hari Natal biasanya mengundang personil Barisan Ansor Serbaguna (Banser) mendapatkan undangan untuk menjaga keamanan. Bahkan dulu Banser Riyanto menjadi salah satu pahlawan kemanusiaan yang mengamankan Hari Natal sampai ia mengorbankan jiwanya.

 

“Golongan orang-orang yang mencemooh kenapa kok menjaga gereja, yaitu dalam rangka untuk rasa kemanusiaan. Jadi Riyanto didatangkan bukan untuk ikut mendukung kegiatan Natal, tetapi hanya sebagai pengamanan,” tegasnya.

 

Ia menyebutkan, makanan dari umat Kristen biasanya berbentuk roti atau kue. Pada perayaan Hari Natal seperti ini tetangga-tetangga yang beragama Nasrani membagikan nasi kuning ataupun kue basah dari tahun ke tahun. Ketika umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri paling mudah juga membagikan kue.

 

Eddy Susanto mengatakan, mereka melibatkan umat Islam tidak pada aspek yang berkaitan dengan akidah. Karena mereka sudah sama-sama paham tentang makna toleransi beragama.

 

“Istilahnya mereka juga tahu kalau kita diundang natalan hanya sebatas ramah tamah. Terkait upacara natalnya, di situ tidak dalam rangka untuk ibadah, melainkan hanya ramah tamah yang tidak ada atribut misalnya cuhuk dan salib, mereka juga paham bahwa kita saling menghormati itu tidak harus mengikuti ritualnya mereka,” tandasnya.


Metropolis Terbaru