• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Matraman

Beda Agama Tak Surutkan Warga Desa di Tulungagung Hidup Rukun

Beda Agama Tak Surutkan Warga Desa di Tulungagung Hidup Rukun
Warga beda agama di Desa Nglurup, Kecamatan Sendang, Tulungagung hidup rukun. (Foto: NOJ/kemenparekraf.go.id)
Warga beda agama di Desa Nglurup, Kecamatan Sendang, Tulungagung hidup rukun. (Foto: NOJ/kemenparekraf.go.id)

Tulungagung, NU Online Jatim

Desa Nglurup, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung merupakan kawasan dengan masyarakat yang beragam, utamanya dalam beragama. Mereka tidak hanya memeluk agama Islam, tetapi ada juga yang memeluk agama Kristen. Hal tersebut membuat masyarakat desa terbiasa hidup bergandengan dengan masyarakat pemeluk agama lain. Dari sisi jumlah, agama Kristen merupakan minoritas.


Kendati demikian, relasi sosial masyarakat Islam dan Kristen dalam kehidupan sehari-hari di Desa Nglurup terjalin dengan baik dan rukun. Hal tersebut terlihat dari yang terjadi antarumat beragama di sana dalam berbagai kegiatan dan kesempatan.


Hidup Bersama dengan Damai

Salah satu bentuk kebersamaan ditunjukkan dengan tradisi gotong royong, yakni kerja sama dalam kegiatan tertentu. Di Desa Nglurup, gotong royong yang dilakukan meliputi kerja bakti dan juga pembangunan tempat ibadah.


“Setiap bulan masyarakat Nglurup mengadakan kerja bakti. Jadi, seluruh warga turut membersihkan lingkungan. Tidak hanya kerja bakti membersihkan lingkungan saja, tapi juga pembangunan masjid dan gereja dikerjakan secara gotong royong antara masyarakat Islam dan Kristen,” kata Kepala Desa Nglurup, Suji beberapa waktu berselang.


Kepada media ini, tokoh pemuka agama Kristen, Mukri mengatakan selain kerja bakti di lingkungan, kebersamaan ditunjukkan dengan bergotong royong dalam pembangunan masjid dan gereja. Bahkan tidak terlalu lama, dilakukan renovasi gereja yang ternyata warga muslim tanpa diminta datang membantu.


Dari pernyataan di atas diketahui bahwa kegiatan gotong royong dalam masyarakat Desa Nglurup terjadi tanpa membedakan agama. Mereka melakukannya tidak hanya semata untuk kepentingan bersama seperti pembangunan masjid, bersih-bersih lingkungan desa, juga dalam kepentingan individu. Hal tersebut dibuktikan dengan membantu warga lain saat tertimpa musibah.


Seperti diketahui bahwa di Indonesia memiliki 6 agama resmi yang memiliki hari besar yang wajib dirayakan oleh setiap penganut. Dalam perayaan keagamaan tersebut, warga dari Desa Nglurup saling menghargai dan membantu kendati beda keyakinan. Apalagi semangat ini diajarkan oleh semua agama. Pada perayaan hari raya Idul Fitri misalnya, warga Muslim turut mengundang tetangga yang beragama Kristen untuk berkunjung untuk sekadar bertamu.


Tokoh pemuka agama Islam, Wardi menerangkan bahwa pada saat Idul Fitri umat Kristiani bersilaturahim ke rumah umat Muslim.


“Hal tersebut dimaksudkan untuk mempererat tali persaudaraan dan juga merayakan suka cita pada hari raya secara bersama, tidak memandang latar belakang yang ada,” katanya.


Pendeta di Desa Nglurup, Mukri menerangkan bahwa tidak hanya kegiatan perayaan Islam saja yang dirayakan oleh semua lapisan masyarakat, namun kegiatan perayaan Kristen juga dirayakan penuh suka cita.


Saat Natal, masyarakat Kristen membuat acara di halaman gereja. Mereka mengundang seluruh warga di Desa Nglurup dengan tujuan untuk menjalin persaudaraan antarumat beragama.


“Jadi, kami membuat acaranya di halaman gereja. Rangkaian acaranya seperti tarian serta nyanyian yang diiringi kesenian gamelan. Hampir seluruh masyarakat merasakan aroma keindahan serta kedamaian Natal,” terangnya.


Bagi masyarakat Desa Nglurup, kegiatan keagamaan merupakan sebuah wadah untuk menjalin relasi yang kuat, bukan untuk mencampurkan agama melainkan sebagai hubungan kerukunan yang erat antaragama. Dalam perayaan Natal, umat Kristen mengundang umat Islam untuk bergabung dalam perayaan Natal bukan pada saat Misa Natal, karena pada perayaan Natal tidak ada unsur membaptis namun hanya berisi penampilan dari jemaat gereja.


Dengan pernyataan tersebut, terlihat jelas hubungan antar kedua agama terjalin dengan sangat baik. Mereka saling membantu sesama umat beragama dengan menanamkan prinsip kemanusiaan dalam memandang keberagaman agama. Baik Islam maupun Kristen sama-sama menampilkan karakteristik masyarakat yang toleran serta tidak membedakan agama yang diyakini.

 

Kekayaan Budaya Lokal

Budaya lokal ialah kebiasaan yang sudah terbentuk dari nilai-nilai agama serta warisan dari nenek moyang. Budaya merupakan salah satu bentuk relasi yang terjadi di masyarakat Desa Nglurup. Salah satu bentuk relasi di sini adalah budaya turun menurun yaitu tradisi bulan Suro atau dalam Islam dikenal dengan bulan Muharram. Pada momentum tersebut warga yang beragama Islam dan Kristen berkumpul sekaligus doa bersama untuk kesejahteraan desa.


Murdi menjelaskan, setiap malam 1 Suro dirinya selalu mengikuti tradisi yang ada di desanya.


“Meskipun itu sebenarnya 1 Suro identik dengan tradisi Islam, tapi warga agama lain yakni Kristen memaknainya sebagai sarana berdoa kepada Tuhan dan juga untuk kemakmuran bersama,” katanya.


Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa kebiasaan Suro bukan tradisi agama Kristen, akan tetapi masyarakatnya tetap membaur mengikuti adat yang berlaku. Mereka mengambil sisi positif dari tradisi tersebut dan membuang hal negatif tanpa menghilangkan makna atau nilai dari kebudayaan itu sendiri.


Bentuk relasi antar masyarakat Islam dan Kristen di Desa Nglurup juga terjadi di saat salah satu masyarakat ada yang meninggal dunia. Di saat ada yang wafat, warga datang ke rumah duka serta mengucapkan bela sungkawa. Wujud nyata relasi antar umat itu terlihat jelas sekali pada waktu orang meninggal. Istilah dalam Islam adalah takziyah. Jadi, tidak peduli yang meninggal orang Islam atau Kristen, warga datang dengan tujuan berbela sungkawa.


Dari tradisi yang telah berlangsung lama tersebut tampak jelas bahwa kepedulian antar satu dengan lainnya demikian terjaga. Saat ada warga yang meninggal, mereka datang bertakziyah atau melayat tanpa memandang agama yang dianut. Ketika ada yang meninggal, di situlah interaksi masyarakat desa diperkuat dengan tradisi serta kegiatan sosial dan kultur dalam masyarakat yang masih sangat kuat. Hal tersebut juga diimbangi dengan tingginya rasa kemanusiaan sehingga saling menghargai dan menghormati.


Editor:

Matraman Terbaru